Tren Pengusaha di Pilkada 2020, TII Ungkap Potensi Korupsi Daerah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Momen perhelatan Pemilihan Umum Kepala Daerah ( Pilkada ) 2020 yang digelar secara serentak pada 9 Desember lalu bukan sekadar pesta demokrasi biasa. Selain paling kental akan corak politik dinasti atau kekerabatan, ada persoalan yang juga menjadi kekhawatiran.
(Baca juga: Lima Paslon di Pilkada Serentak Lakukan Perbaikan Permohonan di MK)
Pusat riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menduga terdapat hal lain yang sebenarnya tidak kalah mengkhawatirkan dari merebaknya wabah politik dinasti, yaitu soal berseminya tren calon kepala daerah yang berasal dari kalangan pengusaha.
(Baca juga: Normalisasi Jadwal Pilkada agar Kepala Daerah Tak Diisi 'Sopir Cadangan')
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII) Aulia Guzasiah mengungkapkan berdasar hasil riset Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), sebanyak 45 persen pasangan calon kepala daerah yang terdaftar dalam Pilkada 2020 merupakan seorang pengusaha. Demikian juga hasil penelusuran Tempo dan Yayasan Auriga Nusantara yang menemukan sebanyak 276 kandidat kepala dan wakil kepala daerah terafiliasi dengan 931 perusahaan.
"Apa yang kemudian tergambarkan secara jelas dalam penelusuran itu, tentu dapat dikaitkan dengan fenomena oligarki yang secara sederhana sebagai politik pertahanan kekayaan (wealth defense) yang dijalankan oleh pelaku kekayaan material. Secara teknis dapat disebut dengan istilah oligark (oligarch),” jelas Aulia dalam keterangannya secara tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (4/1/2021).
Dalam beberapa kajian, hal itu dinilainya bisa menjadi salah satu faktor pemicu korupsi di daerah. Sebab, kandidat yang terpilih akan sangat mungkin menginginkan pengembalian biaya Pilkada melalui kewenangannya sebagai kepala daerah.
Aulia menilai, bentuk korupsinya boleh jadi beragam. Namun yang paling mendekati, bisa saja dalam bentuk state capture corruption dalam skala lokal. Misalnya, melalui intervensi kegiatan belanja daerah, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas, hibah, dan bantuan sosial.
"Bisa juga melalui intervensi berupa pajak, retribusi, ataupun pendapatan daerah dari pemerintah pusat. Bisa jadi melalui intervensi perizinan berupa pemberian rekomendasi, penerbitan izin hingga pemerasan, atau penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan," urainya.
Usaha terbaik yang dapat dilakukan oleh masyarakat saat ini, lanjut Aulia, ialah memperketat pengawasan dan mendorong transparansi kinerja serta penggunaan anggaran dari masing-masing pasangan kepala daerah terpilih.
Selain itu, ikhtiar lain yang dapat dilakukan agar fenomena ini dapat dicegah dikemudian hari, ialah mendorong revisi pengaturan UU Pilkada. Khususnya, dalam hal membakukan aturan pencalonan yang setidaknya dapat menjadi standar etik dan acuan untuk memitigasi peluang terjadinya benturan kepentingan kepala daerah dengan perusahaan miliknya, juga dalam rangka mencegah langgengnya budaya-budaya koruptif yang menyebabkan biaya politik menjadi mahal.
"Termasuk dalam hal ini, mengatur kewajiban setiap calon pasangan kepala daerah untuk mengumumkan hubungannya dengan perusahaan tertentu sejak mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Apabila mereka terpilih, masyarakat paling tidak dapat lebih terbantu dalam melakukan pengawasan terhadap setiap kebijakan yang dapat berdampak terhadap perusahaan tersebut," tandasnya.
(Baca juga: Lima Paslon di Pilkada Serentak Lakukan Perbaikan Permohonan di MK)
Pusat riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menduga terdapat hal lain yang sebenarnya tidak kalah mengkhawatirkan dari merebaknya wabah politik dinasti, yaitu soal berseminya tren calon kepala daerah yang berasal dari kalangan pengusaha.
(Baca juga: Normalisasi Jadwal Pilkada agar Kepala Daerah Tak Diisi 'Sopir Cadangan')
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII) Aulia Guzasiah mengungkapkan berdasar hasil riset Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), sebanyak 45 persen pasangan calon kepala daerah yang terdaftar dalam Pilkada 2020 merupakan seorang pengusaha. Demikian juga hasil penelusuran Tempo dan Yayasan Auriga Nusantara yang menemukan sebanyak 276 kandidat kepala dan wakil kepala daerah terafiliasi dengan 931 perusahaan.
"Apa yang kemudian tergambarkan secara jelas dalam penelusuran itu, tentu dapat dikaitkan dengan fenomena oligarki yang secara sederhana sebagai politik pertahanan kekayaan (wealth defense) yang dijalankan oleh pelaku kekayaan material. Secara teknis dapat disebut dengan istilah oligark (oligarch),” jelas Aulia dalam keterangannya secara tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (4/1/2021).
Dalam beberapa kajian, hal itu dinilainya bisa menjadi salah satu faktor pemicu korupsi di daerah. Sebab, kandidat yang terpilih akan sangat mungkin menginginkan pengembalian biaya Pilkada melalui kewenangannya sebagai kepala daerah.
Aulia menilai, bentuk korupsinya boleh jadi beragam. Namun yang paling mendekati, bisa saja dalam bentuk state capture corruption dalam skala lokal. Misalnya, melalui intervensi kegiatan belanja daerah, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas, hibah, dan bantuan sosial.
"Bisa juga melalui intervensi berupa pajak, retribusi, ataupun pendapatan daerah dari pemerintah pusat. Bisa jadi melalui intervensi perizinan berupa pemberian rekomendasi, penerbitan izin hingga pemerasan, atau penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan," urainya.
Usaha terbaik yang dapat dilakukan oleh masyarakat saat ini, lanjut Aulia, ialah memperketat pengawasan dan mendorong transparansi kinerja serta penggunaan anggaran dari masing-masing pasangan kepala daerah terpilih.
Selain itu, ikhtiar lain yang dapat dilakukan agar fenomena ini dapat dicegah dikemudian hari, ialah mendorong revisi pengaturan UU Pilkada. Khususnya, dalam hal membakukan aturan pencalonan yang setidaknya dapat menjadi standar etik dan acuan untuk memitigasi peluang terjadinya benturan kepentingan kepala daerah dengan perusahaan miliknya, juga dalam rangka mencegah langgengnya budaya-budaya koruptif yang menyebabkan biaya politik menjadi mahal.
"Termasuk dalam hal ini, mengatur kewajiban setiap calon pasangan kepala daerah untuk mengumumkan hubungannya dengan perusahaan tertentu sejak mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Apabila mereka terpilih, masyarakat paling tidak dapat lebih terbantu dalam melakukan pengawasan terhadap setiap kebijakan yang dapat berdampak terhadap perusahaan tersebut," tandasnya.
(maf)