Pengamat Nilai SKB 6 Menteri Terkait Pembubaran FPI Membingungkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menganggap, Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 menteri dan lembaga sebagai pedoman pemerintah dalam membubarkan sejumlah Ormas termasuk Front Pembela Islam (FPI) membingungkan.
"Mengapa? Pertama, poin satu menyatakan FPI sejak lama tidak terdaftar sebagai ormas. Dan karena itu, secara de jure, dinyatakan bubar. Tidak terdaftar dan karena itu dinyatakan bubar agak membingungkan," ujar Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (31/12/2020). (Baca juga: Pembubaran FPI Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum)
Ray menuturkan, satu ormas dinyatakan bubar atau tidak merupakan keputusan internal ormas itu sendiri, bukan keputusan pemerintah. Apalagi bukan karena dia terdaftar atau tidak di catatan pemerintah. Itulah hukum berorganisasi. Selain itu, dia menilai, yang mengatur pembubaran itu ada di AD/ART ormas bersangkutan bukan di keputusan pemerintah. (Baca juga: FPI Dibubarkan, Rizal Ramli: Masalah Utama Rakyat, Kemiskinan dan Keadilan)
Di sisi lain, lanjut Ray, dalam UU Keormasan, pemerintah memang diberi kewenangan untuk melarang kegiatan ormas dalam hal sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (1- 4). Tapi larangan itu jelas bukan dengan sendirinya merupakan pembubaran ormas yang dimaksud. Lagi pula, secara logika, ormas yang tidak didaftarkan, atau tidak berbadan hukum, tidak bisa dilarang melakukan aktivitas keorganisasiannya. UU Ormas hanya mengatur dua sifat ormas yakni ormas yang terdaftar dan ormas yang berbadan hukum.
"Jadi melarang satu ormas yang tidak didaftarkan apalagi berbadan hukum merupakan kewenangan baru yang nampaknya ditambah sendiri oleh pemerintah pada dirinya. Sebab, sepanjang UU Ormas dibaca, tidak ditemukan kewajiban warga negara yang mendirikan ormas untuk mendaftarkan atau mendapatkan badan hukum ormas kepada pemerintah," papar dia.
Dengan begitu, Ray menilai, pembubaran ormas ini sifatnya opsional. Boleh didaftarkan, tapi juga boleh tidak. Satu ormas yang didaftarkan atau berbadan hukum, maka harus tunduk pada aturan sesuai UU Keormasan. Antara lain dapat dicabut hak terdaftar atau bahkan badan hukumnya. Tapi ormas yang dicabut sifat terdaftar atau badan hukumnya, tidak dengan sendirinya menjadi ormas yang bubar, apalagi jadi ormas yang dilarang. Menurut Alumni UIN Jakarta ini, jika kita cermati pasal 61 ayat (1) sanksi administratif hanya berupa: a. Peringatan tertulis, b. Penghentian kegiatan; dan/atau c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
"Jelas dalam UU ini dinyatakan bahwa ormas yang diberi sanksi administratif hanya dapat dihentikan kegiatannya, tapi tidak dibubarkan organisasinya," beber mantan aktivis 98 ini menandaskan.
"Mengapa? Pertama, poin satu menyatakan FPI sejak lama tidak terdaftar sebagai ormas. Dan karena itu, secara de jure, dinyatakan bubar. Tidak terdaftar dan karena itu dinyatakan bubar agak membingungkan," ujar Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (31/12/2020). (Baca juga: Pembubaran FPI Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum)
Ray menuturkan, satu ormas dinyatakan bubar atau tidak merupakan keputusan internal ormas itu sendiri, bukan keputusan pemerintah. Apalagi bukan karena dia terdaftar atau tidak di catatan pemerintah. Itulah hukum berorganisasi. Selain itu, dia menilai, yang mengatur pembubaran itu ada di AD/ART ormas bersangkutan bukan di keputusan pemerintah. (Baca juga: FPI Dibubarkan, Rizal Ramli: Masalah Utama Rakyat, Kemiskinan dan Keadilan)
Di sisi lain, lanjut Ray, dalam UU Keormasan, pemerintah memang diberi kewenangan untuk melarang kegiatan ormas dalam hal sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (1- 4). Tapi larangan itu jelas bukan dengan sendirinya merupakan pembubaran ormas yang dimaksud. Lagi pula, secara logika, ormas yang tidak didaftarkan, atau tidak berbadan hukum, tidak bisa dilarang melakukan aktivitas keorganisasiannya. UU Ormas hanya mengatur dua sifat ormas yakni ormas yang terdaftar dan ormas yang berbadan hukum.
"Jadi melarang satu ormas yang tidak didaftarkan apalagi berbadan hukum merupakan kewenangan baru yang nampaknya ditambah sendiri oleh pemerintah pada dirinya. Sebab, sepanjang UU Ormas dibaca, tidak ditemukan kewajiban warga negara yang mendirikan ormas untuk mendaftarkan atau mendapatkan badan hukum ormas kepada pemerintah," papar dia.
Dengan begitu, Ray menilai, pembubaran ormas ini sifatnya opsional. Boleh didaftarkan, tapi juga boleh tidak. Satu ormas yang didaftarkan atau berbadan hukum, maka harus tunduk pada aturan sesuai UU Keormasan. Antara lain dapat dicabut hak terdaftar atau bahkan badan hukumnya. Tapi ormas yang dicabut sifat terdaftar atau badan hukumnya, tidak dengan sendirinya menjadi ormas yang bubar, apalagi jadi ormas yang dilarang. Menurut Alumni UIN Jakarta ini, jika kita cermati pasal 61 ayat (1) sanksi administratif hanya berupa: a. Peringatan tertulis, b. Penghentian kegiatan; dan/atau c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
"Jelas dalam UU ini dinyatakan bahwa ormas yang diberi sanksi administratif hanya dapat dihentikan kegiatannya, tapi tidak dibubarkan organisasinya," beber mantan aktivis 98 ini menandaskan.
(cip)