Pembubaran FPI Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum

Kamis, 31 Desember 2020 - 05:43 WIB
loading...
Pembubaran FPI Dinilai...
Petugas Polresta Tangerang, Kodim 0510 Tangerang dan Satpol PP Kabupatan Tangerang melakukan pembersihan atribut FPI, Rabu (30/12/2020). Foto/SINDOnews/Hasan Kurniawan
A A A
JAKARTA - Pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Koalisi Masyarakat Sipil menilai larangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa selama ini ikut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Bahkan koalisi juga menuntut aparat serta negara melakukan tindakan penegakkan hukum bagi para pelaku pelanggaran. Meski sejumlah anggotanya melakukan pelanggaran hukum, tapi tidak serta merta organisasinya dapat dibubarkan begitu saja.

"Kekerasan oleh siapa pun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum," demikian siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas lembaga nonpemerintah seperti KONTRAS, LBHM, LBH Pers, PBHI, PSHK, SAFENET, YLBHI, dan YPII, Rabu (30/12/2020). ( )

Menurut koalisi, Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (SKB FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat. SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2017 (UU Ormas) yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum. UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).

Koalisi Masyarakat Sipil melihat beberapa permasalahan dalam SKB tersebut. Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan MK No 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai "organisasi yang tidak terdaftar" bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.

"Penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas. Namun kenyatannya, baik Putusan MK No 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan atau pun mengatur hal tersebut," tulis koalisi. ( )

Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, MK bahkan menyatakan: "berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum".

Permasalahan kedua, oleh karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.

"Terhadap para anggota FPI yang selama ini melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, penegak hukum seharusnya sejak awal menindak para pelaku dengan pasal-pasal dalam KUHP secara konsisten, bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu-individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI," ujar koalisi.



Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. Yang secara de facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas.

Ketiga, SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Sejak UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu No 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU No 16 Tahun 2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah. Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapa pun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga, baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum, yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah.

"Bahwa organisasi yang melakukan kekerasan, vigilantisme, provokasi kebencian, perlu diatasi untuk setiap tindakannya dengan tegas dan konsisten. Pembubaran seperti ini secara jangka panjang tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian, dsb, bahkan menggerogoti sendi-sendi demokrasi Indonesia. Mungkin justru akan membuat bom waktu," tulis koalisi.

Selain itu, ketiadaan mekanisme hukum, dalam hal ini proses pengadilan, akan memunculkan preseden dalam menindak organisasi-organisasi lain secara subjektif. Terlebih, tindakan yang diambil berangkat dari keputusan bersama 6 (enam) kementerian yang apabila merunut pada rekam jejak pembubaran berbagai hal secara sepihak oleh negara, kerap memunculkan stigmatisasi pada individu atau kelompok tertentu yang kemudian mendapat tindakan sewenang-wenang. Contoh, pembubaran diskusi (Marxisme), penangkapan orang dengan kaos bertuliskan PKI (Pecinta Kopi Indonesia) hingga stigmatisasi dan persekusi terhadap kelompok LGBT.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2088 seconds (0.1#10.140)