Mengakhiri Tahun Darurat Pendidikan

Kamis, 31 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Mengakhiri Tahun Darurat Pendidikan
Adjat Wiratma (Foto: Istimewa)
A A A
Adjat Wiratma
Doktor Manajemen Pendidikan

PANDEMI Covid-19 yang melanda sejak Maret 2020 membuat banyak hal berubah, termasuk dunia pendidikan. Saat semua diminta tinggal di rumah, proses belajar harus tetap berlangsung. Sedikit beruntung bagi kelompok masyarakat berpunya, mereka bisa memanfaatkan teknologi dengan leluasa. Namun, lain halnya dengan anak miskin, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sungguh menyiksa. PJJ menempatkan setiap anak pada kondisi yang berbeda saat belajar.

Selama PJJ, kita dapat menemukan anak yang belajar di rumah ber-AC dengan perangkat komputer canggih, ada pula anak yang harus bergantian gawai bahkan pinjam tetangga untuk bisa belajar daring. PJJ dalam praktiknya dapat mengantarkan anak yang mendapat dukungan memadai moncer mengejar asa dan di saat yang sama bagi mereka yang pas-pasan justru tertinggal jauh dari temannya. Kedaruratan pendidikan terjadi di semua jenjang, mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, baik dari sisi aspek kualitas maupun kuantitas.

Ragam persoalan ditemukan mulai dari guru, murid, dan juga orang tua. Mendadak daring yang dijalankan akhirnya harus diakui tidak semulus yang dibayangkan. Bukan hal yang mudah memang untuk beradaptasi. Orang tua dituntut melakukan pendampingan bagi anaknya, sayang tak semua sukses melakukannya. Selain tidak paham materi yang diajarkan, ditambah lagi kesibukan rumah tangga menuntut mereka harus tetap bekerja.

Didukung fasilitas ala kadarnya, orang tua juga tidak berhasil memotivasi anak untuk belajar secara mandiri. Guru pun “bermasalah”. Banyak dari guru yang lupa memperhatikan kondisi psikologis anak didiknya, tidak ada empati dan respek selama belajar berlangsung. Waktu mengajar yang sempit juga membuat guru tidak mampu mengefektifkan pembelajaran. Walau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menerbitkan kurikulum darurat, tidak semua guru paham. Mereka bahkan banyak yang gamang dengan prioritas pengajaran. Ini tidak lepas dari pengambilan keputusan pemerintah pusat yang terlambat sehingga sosialisasinya tersendat. Akhirnya, Kemendikbud sendiri menyadari jika PJJ yang berjalan selama ini tidak efektif.

Kemitraan Sekolah dan Rumah
Semua guru dituntut cepat beradaptasi, mulai dari harus melek teknologi, menyelami media sosial, dan terus menggali ilmu lewat webinar. Kesibukan itu mendera juga para orang tua, selain mengurus rumah tangga, tanggung jawab ditambah dengan harus membantu memfasilitasi anaknya agar lancar melakukan pembelajaran daring. Banyak dari mereka yang pusing. Jika dalam kondisi normal, orang tua menyerahkan semua urusan pendidikan anak pada sekolah. Kali ini, orang tua juga jadi guru di rumah.

Jika saja kemitraan sekolah dan rumah terjalin erat, ada banyak masalah yang ditemukan jalan keluarnya. Namun, karena praktik hubungan orang tua dan guru lemah membuat selama pandemi ini banyak anak yang sulit berkonsentrasi belajar selama di rumah, bosan karena belajar tidak menarik, stres, dan mengalami gangguan psikologi lain. Ironisnya, PJJ juga telah menelan korban jiwa. Terlalu banyak anak yang depresi menjalani kegiatan belajar yang penuh dengan tugas. Kondisi ini memunculkan potensi penurunan kemampuan belajar menjurus pada ancaman degradasi mutu generasi yang tampak di depan mata.

Sejatinya, pendidikan di rumah adalah pendidikan pertama dan utama. Pandemi tidak pandemi orang tua adalah guru, mereka tidak hanya menjadi teladan, tetapi dituntut mampu mewujudkan sebuah kurikulum dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Terdapat tiga pusat pendidikan yang harus berperan, yakni sekolah (guru), rumah (orang tua), dan lingkungan (masyarakat). Jika saja selama ini kita semua memahami peran masing-masing dalam pendidikan, tidak butuh adaptasi lama bagi masyarakat untuk menitipkan kegiatan sekolah di rumah di masa pandemi Covid-19 sekarang ini.

Jangan Dilupakan
Urusan pendidikan di masa pandemi semakin kompleks saat harus melakukan pemenuhan hak bagi anak-anak marjinal, termasuk anak-anak yang selama ini mengenyam pendidikan di sekolah komunitas. Hampir tidak ada kebaikan pemerintah untuk mereka. Sekolah-sekolah yang didirikan para relawan tak dianggap ada, padahal mereka turut menghidupkan suluh pendidikan di kawasan pinggiran. Sebut saja program bantuan kuota pulsa yang memakan anggaran hingga Rp7,2 triliun atau subsidi upah untuk honorer yang cair di akhir tahun, tidak ada dari anggaran besar itu yang diterima anak marjinal dan guru relawan.

Krisis akibat pandemi Covid-19 telah meningkatkan angka putus sekolah pada anak-anak warga miskin karena kendala mereka mengikuti pembelajaran jarak jauh. Dari pandemi ini pemerintah seharusnya bisa belajar menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk memasukkan anak-anak kelompok ekonomi rentan dan miskin sebagai pihak yang juga mendapat perhatian, jangan selalu berpegang pada data formal, karena banyak warga tidak terdata.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1433 seconds (0.1#10.140)