Sengketa Lahan di Megamendung dan Labuan Bajo, Pemerintah Standar Ganda?

Rabu, 30 Desember 2020 - 11:07 WIB
loading...
Sengketa Lahan di Megamendung...
Pemerintah dinilai bersikap standar ganda dalam penegakan hukum dua kasus sengketa lahan di Megamendung, Kabupaten Bogor, dan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. FOTO/ILUSTRASI/IST
A A A
JAKARTA - Pemerintah dinilai bersikap standar ganda dalam penegakan hukum dua kasus sengketa lahan yang menarik perhatian publik. Kasus pertama terkait sengketa lahan seluas 31,91 hektare di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung , Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan kasus kedua sengketa lahan seluas 30 hektare di Toro Lema, Labuan Bajo , Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengatakan, sikap Pemda Bogor terhadap Habib Rizieq Shihab terkait penguasaan 31,91 hektare lahan milik PTPN VIII, lebih beradab dan sesuai prosedur. Sebab, penyelesaian yang ditempuh melalui mekanisme perdata dan administratif, yakni diawali dengan somasi agar Habib Rizieq segera mengosongkan lahan di Megamendung, Bogor, dengan bukti SHGU No 299 tanggal 4 Juli 2008 a/n PTPN VIII.

Sedangkan di NTT, kata Petrus, dengan posisi kasus yang sama, sikap pemerintah berbeda. Kejaksaan Tinggi NTT menerapkan upaya hukum menuntut pertanggungjawaban Pidana Korupsi dengan dalil lahan seluas 30 hektare di Toro Lema, Batu Kalo, adalah milik Pemda Mabar, padahal Pemda Mabar tidak memiliki alas hak dan bukti peralihan hak.

( )

"Jika di Megamendung, Bogor, Jawa Barat klaim Pemerintah atas lahan 31,91 hektare yang dikuasai Rizieq Shihab adalah milik PTPN VIII melalui upaya perdata dan administratif, maka di Manggarai Barat, NTT, klaim Kejaksaan Tinggi NTT atas lahan 30 hektare sebagai milik Pemda Mabar, yang dikuasai beberapa pihak, dengan menggunakan upaya hukum pidana korupsi," kata Petrus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/12/2020).

Menurut anggota Peradi ini, sengketa lahan dan penyelesaiannya masuk ruang lingkup hukum perdata. Kejati NTT sangat diperlukan fungsinya sebagai pengacara negara, itu pun jika diminta Pemda Mabar, sehingga di sinilah penyalahgunaan wewenang terjadi. "Tidak ada korelasi antara dalil kerugian negara yang fiktif dan pemilikan Pemda Mabar juga fiktif, bahkan tidak sesuai dengan wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (KUHAP)," kata Petrus.

"Dari sejumlah dokumen yang diverifikasi dan divalidasi, terungkap fakta bahwa Pemda Mabar bukanlah pemilik lahan 30 hektare. Hal itu didasarkan testimoni dua mantan Bupati Manggarai (Gaspar Ehok dan Anton Bagul) dan satu mantan Bupati Mabar (Fidelis Pranda), serta berdasarkan pernyataan Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula, bahwa Pemda Mabar bukanlah pemilik lahan," katanya.

( )

Dalil Kejaksaan Tinggi NTT yang mengkualifikasi pemilikan 30 hektare lahan sebagai tindak pidana korupsi karena ingin melindungi masyarakat kecil, kata Petrus, merupakan pernyataan yang hanya enak didengar di telinga publik NTT, karena kasus-kasus besar selalu tidak tuntas dieksekusi.

Petrus meminta Kejati NTT transparan, Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula juga harus terbuka dan tegas, agar tidak ada yang terjebak dalam apa yang disebut kriminalisasi, yaitu menyulap perdata menjadi pidana. Petrus mempertanyakan urgensi dan itikad menuntut pertanggungjawaban pidana, padahal Pemda Mabar bukan atau belum jadi pemilik lahan tersebut.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1517 seconds (0.1#10.140)