6 Anggota FPI Ditembak Mati, Kontras Ungkap 29 Dugaan Kesewenangan Polisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( Kontras ) Fatia Maulidiyanti menegaskan kembali bahwa penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
(BACA JUGA : Gabung Kabinet Jokowi, Ini Plus Minus Sandiaga Uno untuk Pilpres 2014 )
Menurut dia, disebut pelanggaran HAM karena polisi telah berlaku sewenang-wenang menembak mati enam orang yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab .
"Ini pelanggaran HAM karena adanya penembakan sewenang-wenang yang memang dilakukan oleh institusi negara melalui kepolisian," kata Fatia dalam diskusi Indonesia Leaders Talk '6 Nyawa dan Kemanusiaan Kita' di Youtube Front TV, Jumat (25/12/2020).
(Baca: Kontras Sebut Tembak Mati 6 Pengawal Habib Rizieq Terindikasi Unlawful Killing)
Fatia menjelaskan, penembakan tersebut melemahkan hukum. Sebab pada akhirnya penegakan hukum menjadi tidak berguna untuk melakukan pembuktian dugaan tindakan pidana yang dilakukan oknum polisi.
"Mengapa ini akhirnya menjadi penghinaan bagi proses hukum itu sendiru karena dengan dibunuhnya orang-orang ini tanpa ada proses hukum, maka ini mencelakai juga yang namanya praduga tak bersalah yang harusnya dimiliki terduga pelaku pelanggaran atau tindak pidana," ujarnya.
(BACA JUGA : Ahli Kecantikan Rusia Koma Diterkam 10 Anjing Liar, Wajahnya Dikunyah )
Kontras menyayangkan aksi polisi pelumpuhan tersebut. Apalagi, Polri terkesan tidak transparan dalam melakukan rekonstruksi yang berujung pada pelanggaran hak atas informasi kepada publik.
"Harusnya proses pemeriksaan, rekonstruksi, dibuka seterang-terangnya kepada publik. Dan kita harus mendukung Komnas HAM dalam menjalankan investigasinya terkait penembakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh polisi," tegas dia.
(Baca: KontraS Anggap Pelaksanaan HAM dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme)
Fatia juga mempertanyakan alasan polisi melakukan penembakan dari jarak dekat dengan target bagian tubuh vital para laskar. Menurut dia, Pekap Nomor 1 Tahun 2009 telah mengatur penggunaan kekuatan dalam tindakan di Korps Bhayangkara.
"Ini pelanggaran karena penyelewengan adanya penggunaan senjata tersebut. Yang patut dipertanyakan, ada izin penggunaan senpi yang harus dilakukan Polri. Harus ada formulir yang diisi. Apakah polisi yang menembak sudah isi formulir itu? Kita harus pertanyakan itu," tuturnya.
(BACA JUGA : Penembakan 6 Anggota FPI, PKS Dukung Komnas HAM Segera Tuntaskan Investigasi )
Ia membahkan, Kontras juga mencatat adanya 29 peristiwa penembakan yang diduga dilakukan sewenang-wenang oleh polisi selama tiga bulan terakhir.
(Baca: Keluarga Izinkan Komnas HAM Autopsi Ulang Jenazah Laskar FPI)
Fatia menyebut, selama ini Polri tidak memberikan sanksi tegas kepada oknum polisi yang melakukan penembakan sewenang-wenang tersebut. "Paling mentok kode etik atau mutasi ke daerah lain. Hal ini tidak timbulkan efek jera pada pelaku yang melakukan penyelewengan," imbuhnya.
Dia juga menyoroti Kompolnas yang harusnya menjadi salah satu lembaga pengawas dan memberikan evalusasi di Polri.
"Karena kalau terpaksa dilumpuhkan ada parameter yang harusnya diterapkan tidak di organ yang mematikan. Kita lihat tidak ada preventif polisi," tandasnya.
(BACA JUGA : Gabung Kabinet Jokowi, Ini Plus Minus Sandiaga Uno untuk Pilpres 2014 )
Menurut dia, disebut pelanggaran HAM karena polisi telah berlaku sewenang-wenang menembak mati enam orang yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab .
"Ini pelanggaran HAM karena adanya penembakan sewenang-wenang yang memang dilakukan oleh institusi negara melalui kepolisian," kata Fatia dalam diskusi Indonesia Leaders Talk '6 Nyawa dan Kemanusiaan Kita' di Youtube Front TV, Jumat (25/12/2020).
(Baca: Kontras Sebut Tembak Mati 6 Pengawal Habib Rizieq Terindikasi Unlawful Killing)
Fatia menjelaskan, penembakan tersebut melemahkan hukum. Sebab pada akhirnya penegakan hukum menjadi tidak berguna untuk melakukan pembuktian dugaan tindakan pidana yang dilakukan oknum polisi.
"Mengapa ini akhirnya menjadi penghinaan bagi proses hukum itu sendiru karena dengan dibunuhnya orang-orang ini tanpa ada proses hukum, maka ini mencelakai juga yang namanya praduga tak bersalah yang harusnya dimiliki terduga pelaku pelanggaran atau tindak pidana," ujarnya.
(BACA JUGA : Ahli Kecantikan Rusia Koma Diterkam 10 Anjing Liar, Wajahnya Dikunyah )
Kontras menyayangkan aksi polisi pelumpuhan tersebut. Apalagi, Polri terkesan tidak transparan dalam melakukan rekonstruksi yang berujung pada pelanggaran hak atas informasi kepada publik.
"Harusnya proses pemeriksaan, rekonstruksi, dibuka seterang-terangnya kepada publik. Dan kita harus mendukung Komnas HAM dalam menjalankan investigasinya terkait penembakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh polisi," tegas dia.
(Baca: KontraS Anggap Pelaksanaan HAM dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme)
Fatia juga mempertanyakan alasan polisi melakukan penembakan dari jarak dekat dengan target bagian tubuh vital para laskar. Menurut dia, Pekap Nomor 1 Tahun 2009 telah mengatur penggunaan kekuatan dalam tindakan di Korps Bhayangkara.
"Ini pelanggaran karena penyelewengan adanya penggunaan senjata tersebut. Yang patut dipertanyakan, ada izin penggunaan senpi yang harus dilakukan Polri. Harus ada formulir yang diisi. Apakah polisi yang menembak sudah isi formulir itu? Kita harus pertanyakan itu," tuturnya.
(BACA JUGA : Penembakan 6 Anggota FPI, PKS Dukung Komnas HAM Segera Tuntaskan Investigasi )
Ia membahkan, Kontras juga mencatat adanya 29 peristiwa penembakan yang diduga dilakukan sewenang-wenang oleh polisi selama tiga bulan terakhir.
(Baca: Keluarga Izinkan Komnas HAM Autopsi Ulang Jenazah Laskar FPI)
Fatia menyebut, selama ini Polri tidak memberikan sanksi tegas kepada oknum polisi yang melakukan penembakan sewenang-wenang tersebut. "Paling mentok kode etik atau mutasi ke daerah lain. Hal ini tidak timbulkan efek jera pada pelaku yang melakukan penyelewengan," imbuhnya.
Dia juga menyoroti Kompolnas yang harusnya menjadi salah satu lembaga pengawas dan memberikan evalusasi di Polri.
"Karena kalau terpaksa dilumpuhkan ada parameter yang harusnya diterapkan tidak di organ yang mematikan. Kita lihat tidak ada preventif polisi," tandasnya.
(muh)