KontraS Anggap Pelaksanaan HAM dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme

Kamis, 10 Desember 2020 - 13:34 WIB
loading...
KontraS Anggap Pelaksanaan HAM dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme
Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan, selama satu tahun terakhir, pihaknya mencatat bahwa pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semakin terancam. FOTO/Kontras.org
A A A
JAKARTA - Memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh setiap 10 Desember, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( KontraS ) mengeluarkan laporan yang berisi catatan terkait situasi dan kondisi pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di Indonesia selama setahun ke belakang.

Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan, selama satu tahun terakhir, pihaknya mencatat bahwa pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semakin terancam. Ancaman tersebut hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi setiap hari di lapangan, baik hak-hak yang masuk dalam kategori Hak Sipil dan Politik (Sipol) maupun Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob).

"Legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM ini muncul dalam berbagai bentuk, baik yang sifatnya tindakan langsung (by commission) maupun pembiaran (by omission)," katanya, Kamis (10/12/2020). ( )

Dia menuturkan, dalam sektor hak-hak Sipol, kebebasan sipil semakin menyusut. Hal ini diukur dari banyaknya serangan dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, baik dalam ruang publik maupun ruang digital dengan proses penegakan hukum yang sangat minim terhadap para pelaku. Dalam beberapa peristiwa, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi ini justru dilegitimasi oleh negara misalnya melalui Surat Telegram Polri Nomor ST 1100/iv/huk.7.1/2020 yang berisi instruksi patroli siber terhadap pengkritik pemerintah.

Fenomena lain, lanjut dia, dalam konteks kebebasan sipil adalah kebebasan beragama dan beribadah yang pembatasannya juga turut dilegitimasi oleh pemerintah melalui kebijakan diskriminatif yang menyudutkan kelompok minoritas. "Masih dalam sektor hak-hak Sipol, perbaikan sistem peradilan pidana masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai, dengan masih maraknya praktik penyiksaan dalam sistem peradilan pidana serta pemberlakuan hukuman yang tidak manusiawi dan melanggar Konvensi Anti Penyiksaan seperti hukum cambuk di Aceh dan pemberlakuan hukuman mati bagi beberapa tindak pidana," paparnya.

Pada sektor hak-hak Ekosob, Fatia mengatakan, KontraS juga memberi perhatian khusus terhadap proses legislasi UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang secara substansi memundurkan agenda desentralisasi, merusak lingkungan, dan mengurangi jaminan kesejahteraan pekerja. ( aedar Nashir: Siapapun di Republik Ini Tidak Boleh Melanggar HAM )

Menurutnya, proses legislasi terhadap dua UU kontroversial ini dilakukan dengan partisipasi publik yang minim di tengah-tengah kondisi pandemi. Masih dalam sektor hak-hak Ekosob, watak developmentalis pemerintahan yang semakin menjadi-jadi, terutama dengan dalih pemulihan ekonomi pasca dampak ekonomi pandemi, menjadikan Pembela HAM, khususnya di sektor Sumber Daya Alam menjadi semakin rentan, tanpa adanya perbaikan yang substansial dalam instrumen perlindungan terhadapnya.

Berkaitan dengan isu Papua, lanjutnya, Pendekatan militeristik yang selama ini digunakan untuk menangani isu Papua sudah terbukti tidak efektif dan terus-menerus memakan korban, baik korban extrajudicial killing ataupun dalam bentuk pengungsian karena gagalnya negara dalam menjamin keamanan masyarakat Papua.

"Fenomena ini seharusnya disikapi dengan mengubah pendekatan yang digunakan dengan lebih mengedepankan pendekatan dialog yang lebih humanis. Namun, selama satu tahun terakhir militerisme di Papua justru semakin diperluas dengan pembangunan Kodim dan Koramil baru," kata Fatia.

Selain itu, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu dalam satu tahun terakhir juga mendapat berbagai hambatan dan nyaris tidak ada kemajuan. Aktor-aktor pelanggaran HAM berat justru dirangkul dan diberi jabatan di lingkungan Pemerintah sementara mekanisme penyelesaian tanpa melalui proses yudisial terus-menerus diajukan. Pemulihan korban pun tidak mendapatkan perhatian yang cukup, dengan tidak adanya upaya merevisi berbagai ketentuan yang selama ini menghambat akses korban terhadap hak pemulihan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2137 seconds (0.1#10.140)