Natal Air Mata
loading...
A
A
A
Stevanus Subagijo
Peneliti pada National Urgency Jakarta
PADA umumnya umat Kristiani menyambut Natal identik sebagai peristiwa sukacita atau kegembiraan. Bahkan sentimen sekuler yang menyusupi peringatan kelahiran Yesus ini telah mengemasnya sebagai pesta raya. Jauh dari kesedihan dan air mata. Kalaupun ada Natal di tengah kesedihan --katakanlah Natal air mata-- itu bersifat kebetulan dan kasus. Seperti Natal pada masa perang, di tengah bencana alam, pun ketika seseorang dirundung sakit, kemiskinan, dan kehancuran keluarga.
Ruang Keprihatinan
Bahkan, fakta-fakta terselip pada Natal perdana belum cukup juga untuk memaknai Natal sebagai peristiwa kesedihan dan air mata. Pembunuhan anak-anak dua tahun ke bawah oleh Herodes di Betlehem dan sekitarnya, yang bisa jadi diikuti membunuh ibunya karena tak rela anak-anak dicerabut dari pelukan, harus diakui sebagai episode dukacita dalam kelahiran Yesus. Oleh karena itu pula Yusuf, Maria, dan bayi Yesus, mengikuti perintah malaikat lari ke Mesir agar tidak menjadi korban. Bagi keluarga Yesus, Betlehem adalah tanah harapan yang dijanjikan “limpah susu dan madu”. Kini harus ditinggalkan tergopoh-gopoh menuju tanah Firaun yang traumatik, mengingatkan perbudakan leluhurnya dahulu. Ya Allah, yang benar saja, kenapa tidak ke Inggris?
Dan, ini pelarian hidup-mati, bukan traveling ke Piramida-Sphinx demi isi Instagram. Tak heran Lukas 2 mengatakan, terdengar suara tangis-ratap amat sedih karena nyawa anak-anak telah tiada.
Bahkan, kita lebih lupa lagi, di tataran surga Natal juga merepresentasikan kesedihan dan air mata. Kelahiran Yesus bagi gereja dan umat disambut sebagai Juru Selamat yang menebus dosa. Tapi bagi Allah itu pengorbanan terbesar karena rela menginkarnasikan diri-Nya sendiri dalam kelahiran Yesus. Dan, Ia tahu kelahiran insani itu membawa misi keselamatan yang kelak harus melalui episode aniaya, salib, dan kematian. Semua ini menunjukkan Natal baik di bumi maupun di surga juga merangkul kesedihan dan air mata. Itu tak terelakkan. Natal harus disambut utuh. Sebagaimana kita memahami Natal selama ini sebagai sukacita dan kegembiraan, Natal yang sama juga harus dimaknai sebagai keprihatinan. Natal air mata.
Mengapa kita perlu memaknai Natal dengan utuh sebagai kegembiraan sekaligus kesedihan, tawa dan air mata, suka tapi juga duka, sangat penting hari-hari ini? Tentu bukan karena kita terpaksa mencicipi realita pahit sepanjang tahun karena pandemi, krisis ekonomi, pun korban kekerasan apa pun. Seperti ungkapan Jacques Derrida meminjam Descartes, saya meratap maka saya ada (I mourn, there for I am). Penderitaan dirangkul sebagai keniscayaan tanpa solusi, selain dipeluk hingga terluka, bahkan jika harus tertikam olehnya saat Natal menjelang.
Jika Natal hanya dimaknai seperti ini kita kehilangan maksud anugerah Allah. Natal justru pertama-tama hadir di dunia yang memang sudah jatuh dalam dosa, yang ditandai dengan serial kesedihan dan air mata. Dunia yang tidak kebal dengan ratap dan tangisan. Kepada dunia seperti inilah Natal diberikan dan memberi pengharapan tentang pengampunan dosa, kekuatan untuk hidup di tengah dunia yang lelah, kalut, tercabik, dan meraih pengharapan kehidupan di sini pun kelak. Natal tahu bahwa dunia yang seperti ini tidak pernah akan sempurna, compang-camping dalam problemnya, dan jika solusi didapat juga selalu menyisakan kesedihan dan air mata. Natal perdana pun Natal setiap Desember, akan tetap hadir dengan sukacita sekaligus keprihatinan.
Aduh Tuhan?!
Jika Yesus lahir pada 2020, Balthasar, Caspar, dan Melchior tiga orang Majus itu mungkin tidak hanya memberi emas, kemenyan, dan mur tapi juga masker, hand sanitizer, dan vitamin. Sukacita Natal direspons, tapi keprihatinan atas dunia pandemi dan krisis tak bisa disangkali. Kita tidak hanya menyanyikan I’m dreaming of a White Christmas, tapi juga I’m weeping of a Dark Christmas. Gereja dan umat Kristiani bisa merespons keduanya berkaca pada Natal perdana dan kisah keselamatan Allah atas dunia yang berdosa. Di mana Yesus juga tidak imun terhadap pandemi dosa manusia, Ia harus terpapar dan meregang di ICU yakni salib Golgota dan di karantina di dunia orang mati. Rekam jejak kisah keselamatan itu bisa dirunut di kitab suci. Kisah anugerah, kasih setia, pertolongan, mukjizat kesembuhan dan Allah yang hadir menolong nyata, terserak melimpah dalam kitab suci. Namun dalam kitab suci pula, kisah sedih dan air mata hadir dan nyata adanya. Sepertiga dari 150 Mazmur Nabi Daud berupa ratapan, air mata, kesedihan, ditinggalkan, sendiri, dan putus asa. Allah diam dan menjauh. Kesedihan dan air mata dihadirkan bersama-sama dengan tawa dan pertolongan Allah.
Allah ingin manusia realistis dan tahu siapa dirinya, serta dunia seperti apa yang mereka tempati. Ciptaan yang lemah dan dunia yang sudah jatuh dalam dosa memperanak-pinakkan skandal air mata. Syukur Allah menyediakan “vaksin Firman” agar manusia imun dalam menghadapinya. Vaksin agar berani mengunyah, mencecap pahit dan menelannya bersama-sama Allah. Vaksin Ilahiah itu berupa Kitab Ratapan dari Nabi Yeremia. Penderitaan, jeritan, ratapan, air mata, lolongan, pertanyaan tanpa jawaban, ketidakpastian, kesakitan, merasa ditinggalkan, ketakutan, keadaan koma bahkan kematian dihadirkan sepanjang kitab ini.
Pandemi dan krisis sepertinya kontras dengan citra sukacita dan kegembiraan Natal. Padahal Ia lahir miskin di palungan domba, mengungsi dan aniaya, Yesus tidak menolak cawan pahit. Ia juga menjeritkan ratapan mengapa Allah meninggalkan, merasakan sakit psikis dan fisik, keterasingan universal, bahkan harus merasakan alam kubur. Natal boleh bereuforia atas hidup berselimut syukur dan janji keselamatan. Namun, Natal yang sama juga tidak mudah patah jika harus berkerudung duka dan air mata.
Peneliti pada National Urgency Jakarta
PADA umumnya umat Kristiani menyambut Natal identik sebagai peristiwa sukacita atau kegembiraan. Bahkan sentimen sekuler yang menyusupi peringatan kelahiran Yesus ini telah mengemasnya sebagai pesta raya. Jauh dari kesedihan dan air mata. Kalaupun ada Natal di tengah kesedihan --katakanlah Natal air mata-- itu bersifat kebetulan dan kasus. Seperti Natal pada masa perang, di tengah bencana alam, pun ketika seseorang dirundung sakit, kemiskinan, dan kehancuran keluarga.
Ruang Keprihatinan
Bahkan, fakta-fakta terselip pada Natal perdana belum cukup juga untuk memaknai Natal sebagai peristiwa kesedihan dan air mata. Pembunuhan anak-anak dua tahun ke bawah oleh Herodes di Betlehem dan sekitarnya, yang bisa jadi diikuti membunuh ibunya karena tak rela anak-anak dicerabut dari pelukan, harus diakui sebagai episode dukacita dalam kelahiran Yesus. Oleh karena itu pula Yusuf, Maria, dan bayi Yesus, mengikuti perintah malaikat lari ke Mesir agar tidak menjadi korban. Bagi keluarga Yesus, Betlehem adalah tanah harapan yang dijanjikan “limpah susu dan madu”. Kini harus ditinggalkan tergopoh-gopoh menuju tanah Firaun yang traumatik, mengingatkan perbudakan leluhurnya dahulu. Ya Allah, yang benar saja, kenapa tidak ke Inggris?
Dan, ini pelarian hidup-mati, bukan traveling ke Piramida-Sphinx demi isi Instagram. Tak heran Lukas 2 mengatakan, terdengar suara tangis-ratap amat sedih karena nyawa anak-anak telah tiada.
Bahkan, kita lebih lupa lagi, di tataran surga Natal juga merepresentasikan kesedihan dan air mata. Kelahiran Yesus bagi gereja dan umat disambut sebagai Juru Selamat yang menebus dosa. Tapi bagi Allah itu pengorbanan terbesar karena rela menginkarnasikan diri-Nya sendiri dalam kelahiran Yesus. Dan, Ia tahu kelahiran insani itu membawa misi keselamatan yang kelak harus melalui episode aniaya, salib, dan kematian. Semua ini menunjukkan Natal baik di bumi maupun di surga juga merangkul kesedihan dan air mata. Itu tak terelakkan. Natal harus disambut utuh. Sebagaimana kita memahami Natal selama ini sebagai sukacita dan kegembiraan, Natal yang sama juga harus dimaknai sebagai keprihatinan. Natal air mata.
Mengapa kita perlu memaknai Natal dengan utuh sebagai kegembiraan sekaligus kesedihan, tawa dan air mata, suka tapi juga duka, sangat penting hari-hari ini? Tentu bukan karena kita terpaksa mencicipi realita pahit sepanjang tahun karena pandemi, krisis ekonomi, pun korban kekerasan apa pun. Seperti ungkapan Jacques Derrida meminjam Descartes, saya meratap maka saya ada (I mourn, there for I am). Penderitaan dirangkul sebagai keniscayaan tanpa solusi, selain dipeluk hingga terluka, bahkan jika harus tertikam olehnya saat Natal menjelang.
Jika Natal hanya dimaknai seperti ini kita kehilangan maksud anugerah Allah. Natal justru pertama-tama hadir di dunia yang memang sudah jatuh dalam dosa, yang ditandai dengan serial kesedihan dan air mata. Dunia yang tidak kebal dengan ratap dan tangisan. Kepada dunia seperti inilah Natal diberikan dan memberi pengharapan tentang pengampunan dosa, kekuatan untuk hidup di tengah dunia yang lelah, kalut, tercabik, dan meraih pengharapan kehidupan di sini pun kelak. Natal tahu bahwa dunia yang seperti ini tidak pernah akan sempurna, compang-camping dalam problemnya, dan jika solusi didapat juga selalu menyisakan kesedihan dan air mata. Natal perdana pun Natal setiap Desember, akan tetap hadir dengan sukacita sekaligus keprihatinan.
Aduh Tuhan?!
Jika Yesus lahir pada 2020, Balthasar, Caspar, dan Melchior tiga orang Majus itu mungkin tidak hanya memberi emas, kemenyan, dan mur tapi juga masker, hand sanitizer, dan vitamin. Sukacita Natal direspons, tapi keprihatinan atas dunia pandemi dan krisis tak bisa disangkali. Kita tidak hanya menyanyikan I’m dreaming of a White Christmas, tapi juga I’m weeping of a Dark Christmas. Gereja dan umat Kristiani bisa merespons keduanya berkaca pada Natal perdana dan kisah keselamatan Allah atas dunia yang berdosa. Di mana Yesus juga tidak imun terhadap pandemi dosa manusia, Ia harus terpapar dan meregang di ICU yakni salib Golgota dan di karantina di dunia orang mati. Rekam jejak kisah keselamatan itu bisa dirunut di kitab suci. Kisah anugerah, kasih setia, pertolongan, mukjizat kesembuhan dan Allah yang hadir menolong nyata, terserak melimpah dalam kitab suci. Namun dalam kitab suci pula, kisah sedih dan air mata hadir dan nyata adanya. Sepertiga dari 150 Mazmur Nabi Daud berupa ratapan, air mata, kesedihan, ditinggalkan, sendiri, dan putus asa. Allah diam dan menjauh. Kesedihan dan air mata dihadirkan bersama-sama dengan tawa dan pertolongan Allah.
Allah ingin manusia realistis dan tahu siapa dirinya, serta dunia seperti apa yang mereka tempati. Ciptaan yang lemah dan dunia yang sudah jatuh dalam dosa memperanak-pinakkan skandal air mata. Syukur Allah menyediakan “vaksin Firman” agar manusia imun dalam menghadapinya. Vaksin agar berani mengunyah, mencecap pahit dan menelannya bersama-sama Allah. Vaksin Ilahiah itu berupa Kitab Ratapan dari Nabi Yeremia. Penderitaan, jeritan, ratapan, air mata, lolongan, pertanyaan tanpa jawaban, ketidakpastian, kesakitan, merasa ditinggalkan, ketakutan, keadaan koma bahkan kematian dihadirkan sepanjang kitab ini.
Pandemi dan krisis sepertinya kontras dengan citra sukacita dan kegembiraan Natal. Padahal Ia lahir miskin di palungan domba, mengungsi dan aniaya, Yesus tidak menolak cawan pahit. Ia juga menjeritkan ratapan mengapa Allah meninggalkan, merasakan sakit psikis dan fisik, keterasingan universal, bahkan harus merasakan alam kubur. Natal boleh bereuforia atas hidup berselimut syukur dan janji keselamatan. Namun, Natal yang sama juga tidak mudah patah jika harus berkerudung duka dan air mata.