Dinilai Sudah Tak Relevan, Pemerintah Perlu Pikir Ulang Konsep KEK dan FTZ

Kamis, 24 Desember 2020 - 13:02 WIB
loading...
Dinilai Sudah Tak Relevan, Pemerintah Perlu Pikir Ulang Konsep KEK dan FTZ
Direktur NAMARIN Siswanto Rusdi menilai, konsep sentralisasi KEK ataupun FTZ sudah tak relevan lagi ketika industri yang ada di wilayah tersebut berkompetisi. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Direktur National Maritime Institute (NAMARIN) Siswanto Rusdi menilai, konsep sentralisasi Kawasan Ekonomi Khusus ( KEK ) ataupun Free Trade Zone ( FTZ ) sudah tidak relevan lagi ketika industri yang ada di wilayah tersebut justru berkompetisi dengan industri sejenis di dalam negeri.

(Baca juga: KPK Fokus Kawal KEK Batam dan Penyelamatan Kekayaan)

Sebaran galangan kapal nasional sampai saat ini tidak merata. Dari 141 pelabuhan di Indonesia yang dikelola BUMN pelabuhan, hanya 20 persen di antaranya yang memiliki galangan kapal. Sebagian besar terpusat di Batam,Tanjung Priok (Jakarta), dan Surabaya.

"Bagaimana bisa relevan ketika misalnya industri kapal dan galangan yang sudah menyebar di banyak wilayah kemudian harus menerima kenyataan harus berkompetisi dengan galangan kapal di Batam yang menerima insentif tersebut," tuturnya Kamis (24/12/2020).

(Baca juga: Pemerintah Dianggap Tidak Konsisten Ubah FTZ Batam Jadi KEK)

Dalam kajian yang dilakukan PT PAL tahun 2016 pasca diterapkannya Peraturan Pemerintah 10/2012 tentang Perlakuan kepabeanan, perpajakan, dan cukai serta tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, jelas terlihat adanya ketidakadilan yang terjadi akibat sistem perpajakan yang diterapkan.

Industri kapal dan galangan di wilayah Batam cukup membayar pajak 1,5 persen - 3 persen. Sementara pengusaha kapal dalam negeri di luar wilayah Batam, harus menanggung pajak hingga 19 persen - 30,5 persen. Ini jauh lebih mahal dibandingkan impor kapal yang hanya dikenai pajak sekitar 12,5 persen - 17,5 persen.

"Kondisi ini menyebabkan galangan kapal di Indonesia yang padat teknologi, modal dan tenaga kerja kesulitan bergerak, sehingga menyebabkan daya serap bahan baku utama mereka yakni baja ikut tersendat," ucapnya.

Dalam kondisi seperti ini, mestinya Pemerintah memikirkan ulang konsep Kawasan Ekonomi Khusus ataupun Free Trade Zone dengan kembali pada konsep klasterisasi industri yang bertujuan mengintegrasikan industri.

"Sebagai contoh industri galangan seharusnya berdekatan dengan pelabuhan dan industri baja sebagai bahan baku. Itu idealnya, dalam kondisi saat ini semestinya diberikan insentif terhadap industri-industri yang saling berkaitan," paparnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1154 seconds (0.1#10.140)