Politikus PKB Desak Kominfo Tindak Tegas Penyebar Hoaks
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menyaring informasi di media sosial (medsos) dinilai penting bagi masyarakat. Pasalnya, medsos banyak dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita palsu atau hoaks .
(Baca juga: Pakar Sebut Media Massa Harus Berperan Tangkal Hoaks)
"Sebaiknya disaring dulu, cek kebenaran berita tersebut," ujar Legislator Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Arzeti Bilbina, Selasa (15/12/2020).
(Baca juga: Menkominfo Temukan 602 Konten Hoaks Selama Pilkada, Sebanyak 233 Diblokir)
Anggota Komisi IX DPR ini berpendapat, keberadaan medsos yang menjadi akses bagi penyebar hoaks dan radikalisme, akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka sengaja membuat berita bohong untuk propanganda yang tujuannya menciptakan suasana tidak kondusif, bahkan bisa mengancam disintegrasi bangsa.
"Tentu persoalan ini menjadi keprihatinan bagi kita semua. Terlebih saat ini masyarakat sedang berduka dari keterpurukan perekonomian akibat pandemi. Karena kondisi ini membuat masyarakat lebih banyak berdiam di rumah dan banyak waktu untuk bersosmed. Jika tidak hati-hati, maka bisa terpancing dengan bahasa atau ajakan yang justru tidak mendidik dan tidak sedikit yang berujung kasus hukum," tuturnya.
Masyarakat juga disarankan untuk berpegang pada media mainstream sebagai acuan memilih informasi. Dia menilai media online yang memuat berita lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang Medsos yang sumbernya tidak jelas.
Apalagi, saat ini banyak situs-situs abal-abal yang ironisnya, berita atau foto yang disebar media abal-abal di media sosial bisa viral, meski isinya tidak berdasar. Maka itu, dia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar bertindak tegas.
"Sudah semestinya pemerintah punya sistem yang kuat, jangan dipermudah para pelaku untuk menyebarkan hoax. Dengan sistem tersebut, Kominfo harusnya bisa melacak dan mematikan gadget para pelaku penyebar hoaks," imbuhnya.
Dia yakin bukan perkara sulit melakukan itu. Ia mencontohkan, di China masyarakatnya bahkan tidak diberi ruang atau keluluasaan menggunakan media sosial apalagi untuk kepentingan menyebarkan hoaks. "Pemerintah harus mulai keras dan tegas untuk memerangi hoaks tersebut," pungkasnya.
Sekadar diketahui, seminggu terakhir atau setelah Pilkada 9 Desember, informasi bohong bertebaran di media sosial. Organisasi pemerintah, Presiden Joko Widodo dan keluarga termasuk sasaran penyebar hoaks.
Misal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut mensertifikasi halal kondom. MUI tegas membantah informasi tersebut. Foto dan video yang diklaim sebagai penembakan polisi kepada anggota Front Pembela Islam (FPI) juga bertebaran.
(Baca juga: Pakar Sebut Media Massa Harus Berperan Tangkal Hoaks)
"Sebaiknya disaring dulu, cek kebenaran berita tersebut," ujar Legislator Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Arzeti Bilbina, Selasa (15/12/2020).
(Baca juga: Menkominfo Temukan 602 Konten Hoaks Selama Pilkada, Sebanyak 233 Diblokir)
Anggota Komisi IX DPR ini berpendapat, keberadaan medsos yang menjadi akses bagi penyebar hoaks dan radikalisme, akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka sengaja membuat berita bohong untuk propanganda yang tujuannya menciptakan suasana tidak kondusif, bahkan bisa mengancam disintegrasi bangsa.
"Tentu persoalan ini menjadi keprihatinan bagi kita semua. Terlebih saat ini masyarakat sedang berduka dari keterpurukan perekonomian akibat pandemi. Karena kondisi ini membuat masyarakat lebih banyak berdiam di rumah dan banyak waktu untuk bersosmed. Jika tidak hati-hati, maka bisa terpancing dengan bahasa atau ajakan yang justru tidak mendidik dan tidak sedikit yang berujung kasus hukum," tuturnya.
Masyarakat juga disarankan untuk berpegang pada media mainstream sebagai acuan memilih informasi. Dia menilai media online yang memuat berita lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang Medsos yang sumbernya tidak jelas.
Apalagi, saat ini banyak situs-situs abal-abal yang ironisnya, berita atau foto yang disebar media abal-abal di media sosial bisa viral, meski isinya tidak berdasar. Maka itu, dia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar bertindak tegas.
"Sudah semestinya pemerintah punya sistem yang kuat, jangan dipermudah para pelaku untuk menyebarkan hoax. Dengan sistem tersebut, Kominfo harusnya bisa melacak dan mematikan gadget para pelaku penyebar hoaks," imbuhnya.
Dia yakin bukan perkara sulit melakukan itu. Ia mencontohkan, di China masyarakatnya bahkan tidak diberi ruang atau keluluasaan menggunakan media sosial apalagi untuk kepentingan menyebarkan hoaks. "Pemerintah harus mulai keras dan tegas untuk memerangi hoaks tersebut," pungkasnya.
Sekadar diketahui, seminggu terakhir atau setelah Pilkada 9 Desember, informasi bohong bertebaran di media sosial. Organisasi pemerintah, Presiden Joko Widodo dan keluarga termasuk sasaran penyebar hoaks.
Misal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut mensertifikasi halal kondom. MUI tegas membantah informasi tersebut. Foto dan video yang diklaim sebagai penembakan polisi kepada anggota Front Pembela Islam (FPI) juga bertebaran.
(maf)