Eks Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Ada di Tangan Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyelesaian masalah hak asasi manusia (HAM) memiliki sejumlah tantangan dan hambatan, salah satunya, political will dari pemerintah. Sejak era reformasi sebenarnya Indonesia sudah merintis peraturan-peraturan untuk penanganan kasus HAM.
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, titik demarkasi antara masalah HAM di masa lalu dan yang baru di Indonesia terjadi pada 1998-1999. Pada periode itu muncul sistem hukum dan perlindungan HAM.
Itu ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kemudian disusul dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Bahkan lebih jauh dari itu lahir UU tentang komisi kebenaran. Yang mengalami musibah," terang politikus Golkar itu dalam diskusi daring bertajuk Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Selasa (12/5/2020).
(Baca juga: Cara Humanis Polri dan Aparat Cegah Masyarakat Mudik Diapresiasi Sejumlah Kalangan)
Kata Marzuki, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 'tumbang' di Mahkamah Konstitusi (MK), umurnya hanya dua tahun saja. Marzuki menuturkan, efektivitas dari sistem perlindungan HAM selalu berinteraksi secara kompleks antara perundang-undangan dengan mesin pemerintah.
Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan menegakan UU HAM di Indonesia. Selama ini yang selalu dipermasalahkan dalam penyelesaian pelanggaran HAM itu tidak adanya political will dari pemerintah.
Bagi Marzuki, proses legislasi pada periode 1999-2000 itu sudah masuk political will. Juga tiga perkara pelanggaran HAM berat, yakni Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Meski ketiganya tidak menemui hasil yang memuaskan.
"Ada konsensus untuk menggelar itu sudah ada political will. Yang menjadi masalah political will itu tidak sepenuhnya terpelihara momentumnya. Ini juga kami dalami terhadap penerimaan bangsa, pemerintah, dan masyarakat terhadap ketentuan internasional yang lebih bersifat pragmatis," ujarnya.
Pria kelahiran 1945 itu menilai, langkah itu hanya untuk mengambil dukungan lembaga internasional. Dia menangkap ada pergulatan di dalam negeri ini untuk menyelesaikan masalah HAM berat di masa lalu.
Marzuki punya pikiran progresif agar pengertian korban HAM itu lebih diperluas lagi. "Komnas HAM perlu mendorong untuk memberikan keadilan sesuai aspirasi korban. Pengertian korban itu harus lebih luas, yakni bangsa ini secara keseluruhan," pungkasnya.
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, titik demarkasi antara masalah HAM di masa lalu dan yang baru di Indonesia terjadi pada 1998-1999. Pada periode itu muncul sistem hukum dan perlindungan HAM.
Itu ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kemudian disusul dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Bahkan lebih jauh dari itu lahir UU tentang komisi kebenaran. Yang mengalami musibah," terang politikus Golkar itu dalam diskusi daring bertajuk Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Selasa (12/5/2020).
(Baca juga: Cara Humanis Polri dan Aparat Cegah Masyarakat Mudik Diapresiasi Sejumlah Kalangan)
Kata Marzuki, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 'tumbang' di Mahkamah Konstitusi (MK), umurnya hanya dua tahun saja. Marzuki menuturkan, efektivitas dari sistem perlindungan HAM selalu berinteraksi secara kompleks antara perundang-undangan dengan mesin pemerintah.
Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan menegakan UU HAM di Indonesia. Selama ini yang selalu dipermasalahkan dalam penyelesaian pelanggaran HAM itu tidak adanya political will dari pemerintah.
Bagi Marzuki, proses legislasi pada periode 1999-2000 itu sudah masuk political will. Juga tiga perkara pelanggaran HAM berat, yakni Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Meski ketiganya tidak menemui hasil yang memuaskan.
"Ada konsensus untuk menggelar itu sudah ada political will. Yang menjadi masalah political will itu tidak sepenuhnya terpelihara momentumnya. Ini juga kami dalami terhadap penerimaan bangsa, pemerintah, dan masyarakat terhadap ketentuan internasional yang lebih bersifat pragmatis," ujarnya.
Pria kelahiran 1945 itu menilai, langkah itu hanya untuk mengambil dukungan lembaga internasional. Dia menangkap ada pergulatan di dalam negeri ini untuk menyelesaikan masalah HAM berat di masa lalu.
Marzuki punya pikiran progresif agar pengertian korban HAM itu lebih diperluas lagi. "Komnas HAM perlu mendorong untuk memberikan keadilan sesuai aspirasi korban. Pengertian korban itu harus lebih luas, yakni bangsa ini secara keseluruhan," pungkasnya.
(maf)