Politik Uang di Masa Tenang

Senin, 07 Desember 2020 - 05:30 WIB
loading...
Politik Uang di Masa...
Dian Permata (ist)
A A A
Dian Permata
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Founder Institut Riset Indonesia (INSIS)

PILKADA serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Ada 270 wilayah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Dari sejumlah tahapan jelang pencoblosan, ada dua yang krusial, yakni masa tenang (6-8 Desember) dan pemungutan suara. Di dua tahapan ini rentan terjadi transaksi jual beli suara (vote buying) antara kandidat dan pemilih.

Istilah vote buying tidak begitu populer di Indonesia. Praktik lancung di dunia pemilu ini lebih kesohor dengan adagium politik uang. Publik memahaminya sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual. Tujuannya, mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan politik uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku (Permata dan Zuchron, 2018: 6).

Pertanyaan yang sering kali mengemuka, untuk apa pasangan calon memberikan uang kepada pemilih? Apakah ada jaminan untuk menyumbang kemenangan bagi pasangan calon? Atau seberapa banyak pemilih mau mengikuti arahan si pasangan calon?

Hampir semua ilmuwan politik sepakat politik uang berbahaya dan buruk bagi demokrasi karena dapat mengaburkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilihan. Praktik tersebut kini telah merasuki beragam tingkatan kompetisi demokrasi. Sebagai contoh, pilkades, (Kartodirjo, 1992, dan Kana, 2001, dan Mohamad Amanu, 2013), pilkada untuk kabupaten dan kota (Fitriyah, 2005, Ilmia Astuti Rahyu, 2006, dan Fatih Gama Absiono, 2012, dan Rahman 2015), dan provinsi (Amazulian Rifai, 2003, Permata, 2015, Kurniawan, 2017, dan Permata, 2017), pemilihan legislatif (Dendy Lukmajati, 2014, Dede Irawan, 2014).

Indikasinya tercermin dari munculnya berbagai macam ekspresi politik lokal masyarakat terhadap politik uang. Seperti wani piro nomor piro (berani bayar berapa, nomor berapa). Ana duit, ya dipilih (ada duit, ya akan dipilih). Ora uwek ora obos (tidak ada uang, tidak mencoblos), ado kendak baru uak balek (minta dukungan, baru balik), dan cempedak di bawah bilik (ada sesuatu yang dibawa pulang) (Andi, dkk, 2017: 9).

Jika diperhatikan, makna umum yang terkandung dalam sejumlah adagium di atas ialah pemilih meminta imbalan uang dari pasangan calon atau tim sukses. Tujuannya agar pemilih mau menggunakan dan mempertukarkan hak pilihnya di TPS. Kini, istilah-istilah tersebut hidup dalam masyarakat lantaran ada peran dan pengaruh sikap elite politik.

OTT Jelang Coblosan
Pada 4 Desember 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah (Sulteng), Wenny Bukamo. Ditemukan sejumlah uang rupiah dengan total sekitar Rp2 miliar. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan sedang dilakukan penyelidikan dan melihat indikasi apakah uang-uang yang terkumpul itu dimaksudkan untuk digunakan sebagai biaya-biaya kampanye ataupun kemungkinan digunakan untuk “serangan fajar” (Antara).

Wenny merupakan pasangan calon dalam pemilihan Bupati Banggai Laut 2020. Dia ditetapkan tersangka kasus dugaan suap. Selain dia, ada lima orang lain yang ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus ini, Wenny diduga memerintahkan seseorang untuk membuat kesepakatan dengan pihak rekanan yang mengerjakan proyek infrastruktur di Banggai Laut. Wenny juga diduga mengatur pelelangan.

OTT KPK jelang masa tenang pencoblosan mengembalikan memori pada kasus serupa pada 2018. Kasus dan modusnya tidak jauh berbeda. Ada suap dan commitment fee dari pengusaha kepada pasangan calon yang juga petahana. Pelakunya, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun. Menurut pimpinan KPK saat itu, uang suap itu bakal digunakan untuk dana kampanye dan akan dipakai untuk politik uang.

Dengan demikian, politik uang kembali menjadi hantu dalam pilkada kali ini. Hanya saja, tantangan menjadi kompleks karena beririsan dengan situasi masa pandemi Covid-19. Pemilih yang pengangguran dan yang terkena imbas penyebaran Covid-19, seperti ancaman PHK, menjadi lebih besar dibandingkan pemilu dalam situasi normal. Akibatnya, uang makin memiliki nilai sensitif, baik bagi pasangan calon maupun pemilih. Bagi pasangan calon, adanya aturan pembatasan kerumunan membuat mereka harus merogoh kocek dalam-dalam karena kampanye yang dilakukan door to door yang biayanya mahal. Selain itu, pasangan calon harus membuat alat peraga kampanye yang lebih banyak dan pengadaan alat pelindung diri (APD.)

Bagi pemilih, wabah Covid-19 memberikan dampak ekonomi. Itu terpotret dari hasil survei Institut Riset Indonesia (INSIS) di salah satu wilayah yang melakukan Pilkada 2020. Responden mengakui, wabah korona memberikan dampak bagi ekonomi mereka. Sebanyak 82% mengakui sangat berpengaruh dan berpengaruh. Hanya 17,75% yang mengaku wabah korona tidak berpengaruh dan sangat tidak berpengaruh, sedangkan 0,25% menjawab tidak tahu.

Makanya, tidak mengherankan apabila pemilih makin permisif terhadap politik uang. Ada di kisaran 55% hingga 70%. Politik uang itu rezeki sehingga tidak boleh ditolak, menjadi alasan paling utama pemilih mau menerima pemberian. Alasan lain, sebagai ongkos pengganti lantaran tidak bekerja pada hari H, dan menambah kebutuhan dapur.

Lalu, efektifkah politik uang pada preferensi pilihan politik si pemilih. Dicuplik dari data INSIS dari wilayah yang melaksanakan pilkada berdasarkan pulau, di Sumatera, ada 29,6% penerima politik uang tapi tidak mau mengikuti pilihan yang diarahkan si pemberi. Di Kalimantan pemilih model ini ada 26,67%. Di Jawa, 38,63%, dan di Sulawesi, 37,29%.

Jika angka itu kita amati, maka terlihat pemilih model ini hanya mengeksploitasi si pasangan calon. Mereka memanfaatkan momentum pilkada untuk mengeruk keuntungan semata. Hanya, asumsi ini perlu diuji dengan riset lanjutan dan berkala. Kendati demikian, masalah ini menjadi pekerjaan kita bersama. Pertanyaannya, apakah kita perlu mengadvokasi pemilih dengan pendidikan politik untuk menjernihkan soal mudharat dari praktik politik uang (persoalan di hilir), atau kita fokus saja memperbaiki regulasi hingga aktor (pasangan calon) agar politik uang tidak terjadi lagi (persoalan di hulu). Model ini pernah ditawarkan rezim Badan Pengawas Pemilu periode lalu. Intelligence Election Unit (EIU) namanya. Fokusnya, mengendus praktik yang dilakukan oleh oknum seperti Wenny Bukamo.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2092 seconds (0.1#10.140)