Politik Uang di Masa Tenang
loading...
A
A
A
Dian Permata
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Founder Institut Riset Indonesia (INSIS)
PILKADA serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Ada 270 wilayah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Dari sejumlah tahapan jelang pencoblosan, ada dua yang krusial, yakni masa tenang (6-8 Desember) dan pemungutan suara. Di dua tahapan ini rentan terjadi transaksi jual beli suara (vote buying) antara kandidat dan pemilih.
Istilah vote buying tidak begitu populer di Indonesia. Praktik lancung di dunia pemilu ini lebih kesohor dengan adagium politik uang. Publik memahaminya sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual. Tujuannya, mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan politik uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku (Permata dan Zuchron, 2018: 6).
Pertanyaan yang sering kali mengemuka, untuk apa pasangan calon memberikan uang kepada pemilih? Apakah ada jaminan untuk menyumbang kemenangan bagi pasangan calon? Atau seberapa banyak pemilih mau mengikuti arahan si pasangan calon?
Hampir semua ilmuwan politik sepakat politik uang berbahaya dan buruk bagi demokrasi karena dapat mengaburkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilihan. Praktik tersebut kini telah merasuki beragam tingkatan kompetisi demokrasi. Sebagai contoh, pilkades, (Kartodirjo, 1992, dan Kana, 2001, dan Mohamad Amanu, 2013), pilkada untuk kabupaten dan kota (Fitriyah, 2005, Ilmia Astuti Rahyu, 2006, dan Fatih Gama Absiono, 2012, dan Rahman 2015), dan provinsi (Amazulian Rifai, 2003, Permata, 2015, Kurniawan, 2017, dan Permata, 2017), pemilihan legislatif (Dendy Lukmajati, 2014, Dede Irawan, 2014).
Indikasinya tercermin dari munculnya berbagai macam ekspresi politik lokal masyarakat terhadap politik uang. Seperti wani piro nomor piro (berani bayar berapa, nomor berapa). Ana duit, ya dipilih (ada duit, ya akan dipilih). Ora uwek ora obos (tidak ada uang, tidak mencoblos), ado kendak baru uak balek (minta dukungan, baru balik), dan cempedak di bawah bilik (ada sesuatu yang dibawa pulang) (Andi, dkk, 2017: 9).
Jika diperhatikan, makna umum yang terkandung dalam sejumlah adagium di atas ialah pemilih meminta imbalan uang dari pasangan calon atau tim sukses. Tujuannya agar pemilih mau menggunakan dan mempertukarkan hak pilihnya di TPS. Kini, istilah-istilah tersebut hidup dalam masyarakat lantaran ada peran dan pengaruh sikap elite politik.
OTT Jelang Coblosan
Pada 4 Desember 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah (Sulteng), Wenny Bukamo. Ditemukan sejumlah uang rupiah dengan total sekitar Rp2 miliar. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan sedang dilakukan penyelidikan dan melihat indikasi apakah uang-uang yang terkumpul itu dimaksudkan untuk digunakan sebagai biaya-biaya kampanye ataupun kemungkinan digunakan untuk “serangan fajar” (Antara).
Wenny merupakan pasangan calon dalam pemilihan Bupati Banggai Laut 2020. Dia ditetapkan tersangka kasus dugaan suap. Selain dia, ada lima orang lain yang ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus ini, Wenny diduga memerintahkan seseorang untuk membuat kesepakatan dengan pihak rekanan yang mengerjakan proyek infrastruktur di Banggai Laut. Wenny juga diduga mengatur pelelangan.
OTT KPK jelang masa tenang pencoblosan mengembalikan memori pada kasus serupa pada 2018. Kasus dan modusnya tidak jauh berbeda. Ada suap dan commitment fee dari pengusaha kepada pasangan calon yang juga petahana. Pelakunya, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun. Menurut pimpinan KPK saat itu, uang suap itu bakal digunakan untuk dana kampanye dan akan dipakai untuk politik uang.
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Founder Institut Riset Indonesia (INSIS)
PILKADA serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Ada 270 wilayah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Dari sejumlah tahapan jelang pencoblosan, ada dua yang krusial, yakni masa tenang (6-8 Desember) dan pemungutan suara. Di dua tahapan ini rentan terjadi transaksi jual beli suara (vote buying) antara kandidat dan pemilih.
Istilah vote buying tidak begitu populer di Indonesia. Praktik lancung di dunia pemilu ini lebih kesohor dengan adagium politik uang. Publik memahaminya sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual. Tujuannya, mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan politik uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku (Permata dan Zuchron, 2018: 6).
Pertanyaan yang sering kali mengemuka, untuk apa pasangan calon memberikan uang kepada pemilih? Apakah ada jaminan untuk menyumbang kemenangan bagi pasangan calon? Atau seberapa banyak pemilih mau mengikuti arahan si pasangan calon?
Hampir semua ilmuwan politik sepakat politik uang berbahaya dan buruk bagi demokrasi karena dapat mengaburkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilihan. Praktik tersebut kini telah merasuki beragam tingkatan kompetisi demokrasi. Sebagai contoh, pilkades, (Kartodirjo, 1992, dan Kana, 2001, dan Mohamad Amanu, 2013), pilkada untuk kabupaten dan kota (Fitriyah, 2005, Ilmia Astuti Rahyu, 2006, dan Fatih Gama Absiono, 2012, dan Rahman 2015), dan provinsi (Amazulian Rifai, 2003, Permata, 2015, Kurniawan, 2017, dan Permata, 2017), pemilihan legislatif (Dendy Lukmajati, 2014, Dede Irawan, 2014).
Indikasinya tercermin dari munculnya berbagai macam ekspresi politik lokal masyarakat terhadap politik uang. Seperti wani piro nomor piro (berani bayar berapa, nomor berapa). Ana duit, ya dipilih (ada duit, ya akan dipilih). Ora uwek ora obos (tidak ada uang, tidak mencoblos), ado kendak baru uak balek (minta dukungan, baru balik), dan cempedak di bawah bilik (ada sesuatu yang dibawa pulang) (Andi, dkk, 2017: 9).
Jika diperhatikan, makna umum yang terkandung dalam sejumlah adagium di atas ialah pemilih meminta imbalan uang dari pasangan calon atau tim sukses. Tujuannya agar pemilih mau menggunakan dan mempertukarkan hak pilihnya di TPS. Kini, istilah-istilah tersebut hidup dalam masyarakat lantaran ada peran dan pengaruh sikap elite politik.
OTT Jelang Coblosan
Pada 4 Desember 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah (Sulteng), Wenny Bukamo. Ditemukan sejumlah uang rupiah dengan total sekitar Rp2 miliar. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan sedang dilakukan penyelidikan dan melihat indikasi apakah uang-uang yang terkumpul itu dimaksudkan untuk digunakan sebagai biaya-biaya kampanye ataupun kemungkinan digunakan untuk “serangan fajar” (Antara).
Wenny merupakan pasangan calon dalam pemilihan Bupati Banggai Laut 2020. Dia ditetapkan tersangka kasus dugaan suap. Selain dia, ada lima orang lain yang ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus ini, Wenny diduga memerintahkan seseorang untuk membuat kesepakatan dengan pihak rekanan yang mengerjakan proyek infrastruktur di Banggai Laut. Wenny juga diduga mengatur pelelangan.
OTT KPK jelang masa tenang pencoblosan mengembalikan memori pada kasus serupa pada 2018. Kasus dan modusnya tidak jauh berbeda. Ada suap dan commitment fee dari pengusaha kepada pasangan calon yang juga petahana. Pelakunya, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun. Menurut pimpinan KPK saat itu, uang suap itu bakal digunakan untuk dana kampanye dan akan dipakai untuk politik uang.