Waspada Ancaman Ledakan Golput di Pilkada 2020, Ini Bisa Jadi Pemicu
loading...
A
A
A
Partisipasi pemilih yang rendah berpeluang terjadi di pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Karena itu pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituntut bekerja lebih keras melakukan sosialisasi yang massif pada hari-hari akhir menjelang pencoblosan agar ledakan golput tidak terjadi.
KPU dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menargetkan angka partisipasi pemilih pada pilkada yang digelar di 270 daerah ini sebesar 77,5%. Target ini sama dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Namun, hasil survei justru menunjukkan kemungkinan angka partisipasi pemilih yang sangat rendah, yakni jauh di bawah 50%.
"Partisipasi pemilih ditargetkan 77,5%, sedangkan di 2018, partisipasi pemilih 73,24%, jadi kita targetkan naik sekitar 4%," kata Kasubdit Wilayah IV Direktorat Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kemendagri, Saydiman Marto dalam webinar yang digelar KPU, Selasa 11 Oktober 2020.( )
Mengapa pilkada kali ini terancam mencatatkan rekor golput terburuk? Ada sejumlah faktor pemicu. Pertama, ini untuk pertama kalinya pilkada di gelar di masa pandemi.
Menghindari risiko tertular virus saat berada di kerumunan bisa jadi alasan warga enggan datang ke TPS. Kekhawatiran warga tertular virus bisa makin besar seiring jumlah kasus baru secara nasional yang melonjak sepekan jelang pilkada digelar.( )
Misalnya, Kamis 3 Desember 2020, terjadi rekor baru tambahan kasus positif corona yang mencapai 8.369. Memang KPU akan menerapkan protokol kesehatan secara ketat saat pencoblosan nanti, namun jika tren lonjakan kasus terus saja naik, itu bisa memengaruhi psikologi pemilih sehingga memilih menghindar dari potensi kerumunan.
Kedua, minimnya dukungan kelompok masyarakat dan tokoh berpengaruh terhadap pelaksanaan pilkada di masa pandemi Covid-19. Tiga bulan jelang pencoblosan, permintaan agar pemerintah menunda pilkada ke tahun depan mengalir deras. Pihak yang menolak pilkada di gelar pada 9 Desember antara lain datang dari dua ormas terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada awal Oktober 2020, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga merekomendasikan agar pilkada ditunda.( )
Suara ormas dan kampus ini sejalan dengan aspirasi masyarakat yang tercermin melalui hasil survei. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 24-30 September, sebanyak 50,2% responden yang menyatakan pilkada harus ditunda. Sedangkan, yang setuju tetap sesuai jadwal pada 9 Desember sebanyak 43,4%.
Survei ini juga memberi gambaran bagaimana angkq partisipasi pemilih nanti. Responden yang menyatakan besar dan sangat besar kemungkinannya untuk datang ke TPS hanya 43,9%.
Ketiga, rendahnya partisipasi pemilih bisa disebabkan apatisme warga terhadap hal-hal yang berbau pilkada. Pandemi selama 9 bulan lebih telah membuat masyarakat mengalami banyak kesulitan, terutama di bidang ekonomi. Banyak orang yang mendadak kehilangan pekerjaan dan untuk mencari makan jadi lebih susah. Dalam situasi serbasulit, antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik bisa saja menurun.
KPU dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menargetkan angka partisipasi pemilih pada pilkada yang digelar di 270 daerah ini sebesar 77,5%. Target ini sama dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Namun, hasil survei justru menunjukkan kemungkinan angka partisipasi pemilih yang sangat rendah, yakni jauh di bawah 50%.
"Partisipasi pemilih ditargetkan 77,5%, sedangkan di 2018, partisipasi pemilih 73,24%, jadi kita targetkan naik sekitar 4%," kata Kasubdit Wilayah IV Direktorat Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kemendagri, Saydiman Marto dalam webinar yang digelar KPU, Selasa 11 Oktober 2020.( )
Mengapa pilkada kali ini terancam mencatatkan rekor golput terburuk? Ada sejumlah faktor pemicu. Pertama, ini untuk pertama kalinya pilkada di gelar di masa pandemi.
Menghindari risiko tertular virus saat berada di kerumunan bisa jadi alasan warga enggan datang ke TPS. Kekhawatiran warga tertular virus bisa makin besar seiring jumlah kasus baru secara nasional yang melonjak sepekan jelang pilkada digelar.( )
Misalnya, Kamis 3 Desember 2020, terjadi rekor baru tambahan kasus positif corona yang mencapai 8.369. Memang KPU akan menerapkan protokol kesehatan secara ketat saat pencoblosan nanti, namun jika tren lonjakan kasus terus saja naik, itu bisa memengaruhi psikologi pemilih sehingga memilih menghindar dari potensi kerumunan.
Kedua, minimnya dukungan kelompok masyarakat dan tokoh berpengaruh terhadap pelaksanaan pilkada di masa pandemi Covid-19. Tiga bulan jelang pencoblosan, permintaan agar pemerintah menunda pilkada ke tahun depan mengalir deras. Pihak yang menolak pilkada di gelar pada 9 Desember antara lain datang dari dua ormas terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada awal Oktober 2020, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga merekomendasikan agar pilkada ditunda.( )
Suara ormas dan kampus ini sejalan dengan aspirasi masyarakat yang tercermin melalui hasil survei. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 24-30 September, sebanyak 50,2% responden yang menyatakan pilkada harus ditunda. Sedangkan, yang setuju tetap sesuai jadwal pada 9 Desember sebanyak 43,4%.
Survei ini juga memberi gambaran bagaimana angkq partisipasi pemilih nanti. Responden yang menyatakan besar dan sangat besar kemungkinannya untuk datang ke TPS hanya 43,9%.
Ketiga, rendahnya partisipasi pemilih bisa disebabkan apatisme warga terhadap hal-hal yang berbau pilkada. Pandemi selama 9 bulan lebih telah membuat masyarakat mengalami banyak kesulitan, terutama di bidang ekonomi. Banyak orang yang mendadak kehilangan pekerjaan dan untuk mencari makan jadi lebih susah. Dalam situasi serbasulit, antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik bisa saja menurun.