Waspada Ancaman Ledakan Golput di Pilkada 2020, Ini Bisa Jadi Pemicu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maraknya penangkapan kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat menerima suap. Bahkan, kurang dari seminggu sebelum pilkada , operasi tangkap tangan (OTT) kembali terjadi. Kali ini yang tertangkap Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo pada Kamis 3 Desember 2020.
Kader PDIP ini merupakan calon petahana yang ikut pilkada pada 9 Desember nanti. Sepekan sebelumnya, yakni Jumat 27 November 2020 OTT KPK juga menjaring Wali Kota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Kader PDIP ini ditangkap karena diduga menerima suap.
Ulah oknum kepala daerah yang tidak juga jera kendati di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit akibat pendemi bisa makin menebalkan apatisme warga untuk menggunakan hak pilihnya di pilkada.
Partisipasi tinggi di pilkada hal yang sangat penting karena sebagai salah satu indikator demokrasi. Partisipasi pemilih akan menunjukkan seberapa besar legitimasi yang diberikan oleh rakyat atas proses dan hasil pilkada.( )
Partisipasi tinggi juga mencerminkan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan memercayai pilkada sebagai instrumen reguler dalam mencari pemimpin sekaligus jadi alat legitimasi kekuasaan seseorang.
Dalam beberapa pilkada serentak sebelumnya, angka partisipasi pemilih menunjukkan tren naik turun. Pada Pilkada Serentak 2015 yang diikuti 264 daerah, partisipasi pemilih 64,02%, di bawah target KPU 77,5%.
Partisipasi pemilih membaik setahun kemudian, yakni pada Pilkada Serentak 2017 yang diikuti 101 daerah. Saat itu partisipasi mencapai 74,20% dan mendekati target KPU sebesar 77,5%.
Hasil Pilkada 2018 yang diikuti 171 daerah, partisipasi tergolong masih tinggi, yakni 73,24%, meski belum mencapai target yang ditetapkan KPU 77,5%.
Melihat banyaknya faktor yang bisa memicu rendahnya partisipasi pemilih di pilkada kali ini, KPU sangat ditantang untuk meyakinkan publik agar bersedia ke TPS untuk mencoblos.
KPU harus bekerja keras jika tidak ingin angka golput meledak sehingga pilkada ini akan tercatat sebagai pilkada yang paling buruk angka partisipasi pemilihnya.
Kader PDIP ini merupakan calon petahana yang ikut pilkada pada 9 Desember nanti. Sepekan sebelumnya, yakni Jumat 27 November 2020 OTT KPK juga menjaring Wali Kota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Kader PDIP ini ditangkap karena diduga menerima suap.
Ulah oknum kepala daerah yang tidak juga jera kendati di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit akibat pendemi bisa makin menebalkan apatisme warga untuk menggunakan hak pilihnya di pilkada.
Partisipasi tinggi di pilkada hal yang sangat penting karena sebagai salah satu indikator demokrasi. Partisipasi pemilih akan menunjukkan seberapa besar legitimasi yang diberikan oleh rakyat atas proses dan hasil pilkada.( )
Partisipasi tinggi juga mencerminkan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan memercayai pilkada sebagai instrumen reguler dalam mencari pemimpin sekaligus jadi alat legitimasi kekuasaan seseorang.
Dalam beberapa pilkada serentak sebelumnya, angka partisipasi pemilih menunjukkan tren naik turun. Pada Pilkada Serentak 2015 yang diikuti 264 daerah, partisipasi pemilih 64,02%, di bawah target KPU 77,5%.
Partisipasi pemilih membaik setahun kemudian, yakni pada Pilkada Serentak 2017 yang diikuti 101 daerah. Saat itu partisipasi mencapai 74,20% dan mendekati target KPU sebesar 77,5%.
Hasil Pilkada 2018 yang diikuti 171 daerah, partisipasi tergolong masih tinggi, yakni 73,24%, meski belum mencapai target yang ditetapkan KPU 77,5%.
Melihat banyaknya faktor yang bisa memicu rendahnya partisipasi pemilih di pilkada kali ini, KPU sangat ditantang untuk meyakinkan publik agar bersedia ke TPS untuk mencoblos.
KPU harus bekerja keras jika tidak ingin angka golput meledak sehingga pilkada ini akan tercatat sebagai pilkada yang paling buruk angka partisipasi pemilihnya.