Dimensi Empirik Cita-cita Demokrasi Indonesia
loading...
A
A
A
Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar
Kandidat Doktor Administrasi Publik, Universitas Diponegoro
DEMOKRASI menjadi kosakata paling populer dalam wacana politik mutakhir. Tidak ada istilah lain dalam wacana politik yang paling banyak dibicarakan orang, aktivis, politisi ataupun akademisi melebihi demokrasi . Demokrasi dipercaya bahkan didamba dunia sebagai model tata kekuasaan yang relatif lebih baik, dibandingkan sistem politik lain. Dengan segala variannya demokrasi diyakini lebih banyak membawa kemashalatan manusia ketimbang implikasi negatifnya, seperti mahal dan kompleksnya proses pembuatan kebijakan publik .
Dalam hitungan abad saja arus demokratisasi melanda berbagai kawasan di dunia, seperti semenanjung sebelah timur Asia, termasuk di dalamnya Korea Selatan dan Taiwan. Di Asia Tenggara, Filipina merupakan contoh konkret terjadinya transisi menuju demokrasi. Sementara, Malaysia sudah lama mempraktikkan demokrasi konsosiasional.
Thailand juga sudah memperlihatkan perubahan yang sangat substantif dalam kehidupan politiknya yang demokratik. Logikanya, kalau di negara-negara tetangga tersebut telah terjadi perubahan politik yang fundamental, mestinya Indonesia pada gilirannya juga akan mengalami perubahan yang sama.
(Baca: Demokrasi Sedang Tertekan, Kemenangan Atas Komunisme Berumur Pendek)
Memahami makna demokrasi mau tak mau harus membandingkannya dengan sistem lain dalam wacana politik ketatanegaraan seperti otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme. Berbeda dengan sistem yang disebut itu, demokrasi memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada rakyat.
Demokrasi memberikan peluang kepada rakyat banyak untuk ikut mengambil peran dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Rakyat adalah kata kunci bagi demokrasi. Sementara otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme menempatkan penguasa di atas segala-galanya.
Akan tetapi, makna demokrasi tentu tidak sesederhana itu. Demokrasi harus dipahami melalui dua dimensi, yaitu dimensi normatif dan dimensi empirik. Dimensi normatif mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara ideal dari demokrasi. Sementara itu, dimensi empirik demokrasi memperlihatkan kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kehidupan politik sebuah negara, bagaimana bentuk normatif ideal tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari.
Para ilmuwan politik seperti Juan Linz (1975), G. Bingham Powell (1982), dan Robert Dahl (1989) setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan demokrasi secara empirik menggunakan sejumlah indikator tertentu. Rangkuman indikator tersebut antara lain: akuntabilitas, yang artinya dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak ditempuhnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar
Kandidat Doktor Administrasi Publik, Universitas Diponegoro
DEMOKRASI menjadi kosakata paling populer dalam wacana politik mutakhir. Tidak ada istilah lain dalam wacana politik yang paling banyak dibicarakan orang, aktivis, politisi ataupun akademisi melebihi demokrasi . Demokrasi dipercaya bahkan didamba dunia sebagai model tata kekuasaan yang relatif lebih baik, dibandingkan sistem politik lain. Dengan segala variannya demokrasi diyakini lebih banyak membawa kemashalatan manusia ketimbang implikasi negatifnya, seperti mahal dan kompleksnya proses pembuatan kebijakan publik .
Dalam hitungan abad saja arus demokratisasi melanda berbagai kawasan di dunia, seperti semenanjung sebelah timur Asia, termasuk di dalamnya Korea Selatan dan Taiwan. Di Asia Tenggara, Filipina merupakan contoh konkret terjadinya transisi menuju demokrasi. Sementara, Malaysia sudah lama mempraktikkan demokrasi konsosiasional.
Thailand juga sudah memperlihatkan perubahan yang sangat substantif dalam kehidupan politiknya yang demokratik. Logikanya, kalau di negara-negara tetangga tersebut telah terjadi perubahan politik yang fundamental, mestinya Indonesia pada gilirannya juga akan mengalami perubahan yang sama.
(Baca: Demokrasi Sedang Tertekan, Kemenangan Atas Komunisme Berumur Pendek)
Memahami makna demokrasi mau tak mau harus membandingkannya dengan sistem lain dalam wacana politik ketatanegaraan seperti otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme. Berbeda dengan sistem yang disebut itu, demokrasi memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada rakyat.
Demokrasi memberikan peluang kepada rakyat banyak untuk ikut mengambil peran dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Rakyat adalah kata kunci bagi demokrasi. Sementara otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme menempatkan penguasa di atas segala-galanya.
Akan tetapi, makna demokrasi tentu tidak sesederhana itu. Demokrasi harus dipahami melalui dua dimensi, yaitu dimensi normatif dan dimensi empirik. Dimensi normatif mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara ideal dari demokrasi. Sementara itu, dimensi empirik demokrasi memperlihatkan kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kehidupan politik sebuah negara, bagaimana bentuk normatif ideal tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari.
Para ilmuwan politik seperti Juan Linz (1975), G. Bingham Powell (1982), dan Robert Dahl (1989) setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan demokrasi secara empirik menggunakan sejumlah indikator tertentu. Rangkuman indikator tersebut antara lain: akuntabilitas, yang artinya dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak ditempuhnya.