Praktisi Hukum Sebut Penangkapan Edhy Prabowo oleh KPK Bukan OTT

Jum'at, 27 November 2020 - 20:11 WIB
loading...
Praktisi Hukum Sebut...
Edhy Prabowo mengenakan baju tahanan dan tangan diborgol saat digiring petugas untuk dihadirkan dalam konferensi pers, di Gedung KPK Jakarta, Rabu (25/11/2020) malam. Foto/SINDO/Adam Erlangga
A A A
JAKARTA - Praktisi hukum Wa Ode Nur Zainab mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penanganan kasus dugaan suap Edhy Prabowo dkk. Dia menyebut penangkapan itu tidak layak disebut operasi tangkap tangan.

Wa Ode Nur Zainab menyatakan, dia telah menyimak secara keseluruhan apa yang disampaikan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dan Deputi Bidang Penindakan KPK Inspektur Jenderal Polisi Karyoto beserta sejumlah barang bukti saat konferensi pers, Rabu malam-Kamis dini hari (25-26/11/2020). Ternyata yang dimaksud barang bukti kasus dugaan suap Edhy Prabowo dkk adalah barang-barang belanjaan berupa sejumlah barang mewah di Amerika Serikat dan kartu anjungan tunai mandiri (ATM).

Yang mana, kata Zainab, kartu ATM tersebut dipakai sebagai rekening penampungan atas nama seseorang dan bukan atas nama Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan. Di sisi lain, sebelum pengamanan terhadap Edhy Prabowo dkk ternyata KPK sudah menyelidiki kasus ini sejak beberapa bulan yang lalu dan telah mengetahui ada aliran dana diduga suap terkait izin ekspor benih lobster (benur). ( )

"Jika uang untuk belanja adalah uang (diduga) suap yang sudah diketahui KPK terjadi beberapa bulan sebelumnya, maka tempus (waktu)-nya sudah lewat waktu lama dan bukan sesaat sebelum penangkapan di bandara yang di-framing sebagai OTT. Dalam hal ini, proses yang dilakukan proses hukum biasa, bukan tertangkap tangan, penyelidikan, dan penyidikan," ujar Zainab kepada SINDOnews di Jakarta, Jumat (27/11/2020).

Dia berpandangan, kasus ini sangat menarik karena pasal yang dikenakan atau dipakai untuk penetapan tersangka Edhy Prabowo dan lima orang lain sebagai tersangka penerima suap yakni Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Namun, tutur Zainab, balik lagi ke soal tempus delicti (waktu kejadian) dan locus delicti (lokasi kejadian), perbuatan pidana terjadi kapan dan di mana?

"Apakah ketika uang itu ditransfer beberapa bulan yang lalu ke rekening penampung atau kah saat uangnya dibelanjakan oleh seseorang di Amerika dan diserahkan kepada menteri/istri menteri?," tanyanya. ( )

Zainab mengungkapkan, ketika KPK sudah mengetahui ada aliran dana ke rekening tertentu dalam kasus yanh ditanganinya, maka KPK pasti akan minta pihak-pihak terkait untuk klarifikasi dalam penyelidikan. Menurut dia, jika berdasarkan dua alat bukti yang cukup ditemukan ada peristiwa tindak pidana korupsi, maka akan dinaikan kasusnya ke penyidikan kemudian akan ditetapkan tersangkanya.

"Dan ini sudah pasti akan dilakukan jauh hari (sebelum kejadian menteri ke Amerika). Dalam perkara ini, tidak terjadi hal demikian," katanya.

Dia menuturkan, KPK sudah mengetahui aliran dana, tapi anehnya setelah uang tersebut dibelanjakan baru kemudian para terduga pelakunya ditangkap dengan barang bukti kartu ATM dan barang mewah dimaksud. Di sinilah, menurut Zainab, kasus ini menjadi menari. Musababnya, hubungan antara kartu ATM dan barang mewah belanjaan di Amerika itu masih memerlukan proses pembuktian lebih lanjut. ( )

"Siapa pemiliknya dan sebagainya. Jika benar, barang-barang mewah itu berasal dari pemberian dari pengusaha benur ke menteri/istri, maka masih ada tenggang waktu 30 hari untuk menyerahkannya ke negara sebagai gratifikasi," katanya.

Zainab menjelaskan, jika menilik ke KUHAP, maka tertangkap tangan itu penangannya berbeda dengan penangkapan biasa, karena kejadian tindak pidananya terjadi sesaat atau beberapa saat (tidak lama kemudian) setelah kejahatan terjadi. Artinya, tertangkap tangan tanpa perlu pembuktian lebih lanjut ketika akan menangkap pelakunya.

"Mengenai siapa pelakunya dan pasal apa yang akan diterapkan karena perbuatan pidananya sudah jelas, pelakunya sudah jelas, serta barang buktinya sudah jelas. Olehnya itu, dalam tertangkap tangan, tidak memerlukan surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP)," katanya.

Dia menambahkan, yang perlu digarisbawahi bahwa segala hal yang tidak diatur dalam UU Pemberi Tipikor atau UU KPK, maka wajib diberlakukan KUHAP. Zainab menuturkan, mengenai tertangkap tangan jelas tidak diatur dalam UU Tipikor atau UU KPK, tetapi dalam KUHAP. Jadi penerapan tertangkap tangan secara hukum harus merujuk pada KUHAP.

"Kita semua punya semangat yang sama dalam pemberantasan korupsi. Korupsi harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Tentu saja semua upaya penegakan hukum, jangan sampai melawan hukum," ucap Zainab.

(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0763 seconds (0.1#10.140)