Heboh Foto Anies Baswedan dan Kondisi Demokrasi versi LP3ES
loading...
A
A
A
"Reaksi pemerintah Perancis dalam menanggapi isu tersebut sangat represif. Ada juga gerakan Bizi di Perancis yang melakukan gerakan damai yang sangat transformatif secara radikal mengeluarkan mata uang sendiri," paparnya.(
)
Melanjutkan pemaparan Gabriel, Gloria Truly dari Centre Asie du Sud-Est (EHESS CNRS-Paris)) menemukan adanya titik persimpangan Indonesia dan Perancis adalah pilihan pemerintahan yang neo-liberal yang ditandai dengan kemunduran demokrasi di dua negara tersebut.
Truly menyoroti terkait banyaknya kebijakan pemerintahan yang mengkorbankan hak-hak penduduk lokal. Telebih, pemerintah telah membentuk relasi dengan oligarki pemerintahan terdahulu.
"Kondisi tersebut lah yang kemudian memupuk ideologi anarki yang dekat dengan paham lokal, walau sebenarnya anarkisme bukanlah hal yang baru, sudah ada sejak zaman Belanda di Indonesia," katanya.
Herlambang P Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga menyampaikan beberapa kasus represi yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat, struktur pemerintahan dan media. Sebagian kecil dari represi tersebut terjadi di belasan desa di daerah Grati, Raci, dan Urut Sewu.
Di Grati, kata dia, ada penembakan warga sipil tanpa pertanggungjawaban dan tidak terekspose media karena ada penarikan berita. Herlambang juga menyinggung tentang konflik masyarakat dengan militer di sejumlah desa di Jawa Timur.
Kasus tersebut, kata dia, merefleksikan bahwa politik militer kembali muncul, tetapi dengan model yang berbeda. Karena apa yang terjadi akhir-akhir ini dilakukan dengan melalui fondasi hukum yang sangat kuat.
Selain politik militer yang semakin tebal, menurut dia, Pemilu 2014 dan 2019 menebalkan eksistensi politik keroyokan atau gang politics. "Fenomena ini terjadi ketika ada transaksi politik dalam sistem koalisi kartel yang ditopang oleh electoral threshold. Walaupun ini menguatkan kekuasaan presiden, tetapi kenyataannya ini juga memperkuat koalisi kartel," katanya.
( Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024 )
Menurut dia, baik politik keroyokan maupun penguatan politik militer di atas menunjukkan otoritarianisme berpindah kendali di masa sekarang. Pemilih memang punya hak pilih, tetapi Pemilu itu sendiri tidak lebih dari sumber kuasa otoritarianisme modern.
Melanjutkan pemaparan Gabriel, Gloria Truly dari Centre Asie du Sud-Est (EHESS CNRS-Paris)) menemukan adanya titik persimpangan Indonesia dan Perancis adalah pilihan pemerintahan yang neo-liberal yang ditandai dengan kemunduran demokrasi di dua negara tersebut.
Truly menyoroti terkait banyaknya kebijakan pemerintahan yang mengkorbankan hak-hak penduduk lokal. Telebih, pemerintah telah membentuk relasi dengan oligarki pemerintahan terdahulu.
"Kondisi tersebut lah yang kemudian memupuk ideologi anarki yang dekat dengan paham lokal, walau sebenarnya anarkisme bukanlah hal yang baru, sudah ada sejak zaman Belanda di Indonesia," katanya.
Herlambang P Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga menyampaikan beberapa kasus represi yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat, struktur pemerintahan dan media. Sebagian kecil dari represi tersebut terjadi di belasan desa di daerah Grati, Raci, dan Urut Sewu.
Di Grati, kata dia, ada penembakan warga sipil tanpa pertanggungjawaban dan tidak terekspose media karena ada penarikan berita. Herlambang juga menyinggung tentang konflik masyarakat dengan militer di sejumlah desa di Jawa Timur.
Kasus tersebut, kata dia, merefleksikan bahwa politik militer kembali muncul, tetapi dengan model yang berbeda. Karena apa yang terjadi akhir-akhir ini dilakukan dengan melalui fondasi hukum yang sangat kuat.
Selain politik militer yang semakin tebal, menurut dia, Pemilu 2014 dan 2019 menebalkan eksistensi politik keroyokan atau gang politics. "Fenomena ini terjadi ketika ada transaksi politik dalam sistem koalisi kartel yang ditopang oleh electoral threshold. Walaupun ini menguatkan kekuasaan presiden, tetapi kenyataannya ini juga memperkuat koalisi kartel," katanya.
( Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024 )
Menurut dia, baik politik keroyokan maupun penguatan politik militer di atas menunjukkan otoritarianisme berpindah kendali di masa sekarang. Pemilih memang punya hak pilih, tetapi Pemilu itu sendiri tidak lebih dari sumber kuasa otoritarianisme modern.