Heboh Foto Anies Baswedan dan Kondisi Demokrasi versi LP3ES

Selasa, 24 November 2020 - 12:17 WIB
loading...
Heboh Foto Anies Baswedan...
LP3ES menyoroti tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Salah satunya praktik komunikasi pejabat saat menghadapi Covid-19. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Postingan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memasang fotonya sedang membaca buku berjudul How Democracies Die di Twitter menjadi perbincangan luas berbagai kalangan.

Ada yang menanggapinya secara enteng, adapula yang menyikapinya dengan mengaitkan kondisi demokrasi Tanah Air.

Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) juga menyoroti tentang kehebohan foto unggahan Anies Baswedan. "Publik maya dihebohkan dengan sebuah foto unggahan seorang pejabat publik yang membaca sebuah buku berjudul How Democracy Dies," tulis siaran pers LP3ES yang diterima SINDOnews, Selasa (24/11/2020).( )

Situasi demokrasi di Indonesia menjadi pembahasan dalam diskusi yahg digelar LP3ES bertajuk Pemerintah Otoriter Neoliberal dan Pemberangusan Gerakan Sipil: Membandingkan Indonesia dan Perancis, Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik LP3ES, Diskusi ke-5 yang digelar pada Senin 23 November 2020.

Director Center of Media and Democracy LP3ES, Wijayanto berpendapat, penanganan pandemi yang tidak efektif sepanjang tahun 2020 memerankan peranan penting dalam kemunduran demokrasi di Indonesia. Bukan pandemi-nya, tapi penanganan yang dilakukan pemerintah dari sejak Coronavirus menyebar secara global dan belum masuk ke Indonesia.

LP3ES dalam riset-nya menemukan adanya praktik buruk komunikasi krisis yang direfleksikan secara blunder yang disampaikan pejabat publik. Kurangnya transparansi terutama pada awal kasus positif terdeteksi, ketidakjelasan dalam kebijakan penanganan, dan kurangnya konsistensi dalam menyampaikan pesan.

"Kondisi demokrasi yang semakin buruk akibat penanganan pandemi menyebabkan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terlebih dengan terjadinya pengesahan Omnibus Law," kata Wijayanto.

Sementara itu, Gabriel Facal dari Centre Asie du Sud-Est (CASE-Paris) memaparkan perbandingan Indonesia dengan Prancis dalam konteks demokrasi di era ini.

Menurut dia, cengkeraman Neoliberal yang kuat di kedua negara dan ditambah pula pandemi Covid-19 yang memperkuat represi terhadap rakyat, menjadi dua hal yang sama-sama terjadi di dua negara tersebut.

Gabriel menambahkan, bahwa di Prancis gerakan rompi kuning masih berlangsung sejak 2018 meski sudah berkurang, begitu pula protes terhadap dana pensiun.

"Reaksi pemerintah Perancis dalam menanggapi isu tersebut sangat represif. Ada juga gerakan Bizi di Perancis yang melakukan gerakan damai yang sangat transformatif secara radikal mengeluarkan mata uang sendiri," paparnya.( )

Melanjutkan pemaparan Gabriel, Gloria Truly dari Centre Asie du Sud-Est (EHESS CNRS-Paris)) menemukan adanya titik persimpangan Indonesia dan Perancis adalah pilihan pemerintahan yang neo-liberal yang ditandai dengan kemunduran demokrasi di dua negara tersebut.

Truly menyoroti terkait banyaknya kebijakan pemerintahan yang mengkorbankan hak-hak penduduk lokal. Telebih, pemerintah telah membentuk relasi dengan oligarki pemerintahan terdahulu.

"Kondisi tersebut lah yang kemudian memupuk ideologi anarki yang dekat dengan paham lokal, walau sebenarnya anarkisme bukanlah hal yang baru, sudah ada sejak zaman Belanda di Indonesia," katanya.

Herlambang P Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga menyampaikan beberapa kasus represi yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat, struktur pemerintahan dan media. Sebagian kecil dari represi tersebut terjadi di belasan desa di daerah Grati, Raci, dan Urut Sewu.

Di Grati, kata dia, ada penembakan warga sipil tanpa pertanggungjawaban dan tidak terekspose media karena ada penarikan berita. Herlambang juga menyinggung tentang konflik masyarakat dengan militer di sejumlah desa di Jawa Timur.

Kasus tersebut, kata dia, merefleksikan bahwa politik militer kembali muncul, tetapi dengan model yang berbeda. Karena apa yang terjadi akhir-akhir ini dilakukan dengan melalui fondasi hukum yang sangat kuat.

Selain politik militer yang semakin tebal, menurut dia, Pemilu 2014 dan 2019 menebalkan eksistensi politik keroyokan atau gang politics. "Fenomena ini terjadi ketika ada transaksi politik dalam sistem koalisi kartel yang ditopang oleh electoral threshold. Walaupun ini menguatkan kekuasaan presiden, tetapi kenyataannya ini juga memperkuat koalisi kartel," katanya.

( Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024 )

Menurut dia, baik politik keroyokan maupun penguatan politik militer di atas menunjukkan otoritarianisme berpindah kendali di masa sekarang. Pemilih memang punya hak pilih, tetapi Pemilu itu sendiri tidak lebih dari sumber kuasa otoritarianisme modern.



Terkait dengan UU Cipta Kerja, Herlambang mengungkapkan bahwa isu ini adalah pengulangan dari isu perundangan ketenagakerjaan yang sebelumnya pernah terjadi pada periode 2003-2005 yang sebelum itu juga terjadi pada 1997 yang gagal karena jatuhnya Soeharto.

"Upaya menyingkirkan peran pemerintah dari konflik antara pengusaha dan buruh ini dilakukan melalui proses demokrasi yang ‘ramah pasar’" tandasnya.

Dalam siaran persnya, LP3ES menegaskan diskusi ini bukan diperuntukkan untuk melabeli rezim pemerintah saat ini sebagai otoriter.

"Diskusi ini menegaskan bahwa apa yang terjadi di Indonesia merupakan otoritarianisme sebagai sebuah tindakan, yang juga terjadi di negara-negara demokrasi maju seperti Prancis dan Amerika Serikat," demikian siaran pers LP3ES.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1264 seconds (0.1#10.140)