Perang Cebong-Kampret Bakal Terulang jika Pemilu Sepi Capres

Minggu, 22 November 2020 - 12:05 WIB
loading...
Perang Cebong-Kampret...
Syarat mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah di pemilu dinilai terlalu memberatkan partai politik. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Syarat mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah di pemilu dinilai terlalu memberatkan partai politik.

Karena itu, ambang batas pencapresan atau presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu harus diturunkan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 demi membuka pintu bagi munculnya banyak figur capres yang akan dipilih rakyat.

Ada sejumlah alasan mengapa ambang batas minimal pencapresan atau presidential threshold (PT) harus diturunkan.

Pertama, penuruan PT akan memunculkan lebih banyak capres, tidak hanya dua pasangan seperti yang terjadi dalam dua pilpres terakhir. Jika pilpres hanya diikuti dua pasangan calon, sangat rawan memicu keterbelahan di masyarakat.( )

Pendukung capres akan terbelah ke dalam dua kutub yang ekstrem. Pada Pilpres 2019, hal ini yang terjadi. Karena hanya dua pasangan yang berhadapan maka tensi menjadi panas, baik di tengah masyarakat maupun di media sosial.

Lalu munculah istilah “cebong” dan “kampret” yang dilekatkan kepada pendukung Jokowi dan Prabowo dengan tujuan mengolok-ngolok kubu lawan.

Pendukung dua calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto bahkan masih terus terlibat rivalitas hingga hari ini, terutama di media sosial. Masyarakat masih saja terbelah kendati pilpres sudah berakhir lebih dari setahun.

Bahkan, ketika Prabowo sudah bergabung mendukung Jokowi dengan menerima jabatan menteri pertahanan pun masyarakat masih saja terpolarisasi.
Perang Cebong-Kampret Bakal Terulang jika Pemilu Sepi Capres

Kondisi ini disayangkan. Karena di tengah situasi sulit yang dihadapi bangsa saat ini dan di masa mendatang, perlu persatuan seluruh anak bangsa. Keterbelahan akibat perbedaan pilihan politik hanya akan memicu kegaduhan yang menguras energi.( )

Alasan lain mengapa penting menurunkan ambang batas pencapresan adalah demi munculnya figur capres alternatif. Jika syarat dipermudah bisa saja muncul figur capres populis sehingga bursa pencalonan pilpres tidak lagi dimonopoli oleh elite parpol. Bahkan, bukan tidak mungkin akan muncul capres dari kalangan milenial sehingga bursa pencalonan bakal lebih berwarna, bergairah, karena ada banyak pilihan.

Turun atau tidak pensyaratan maju jadi capres tergantung pada hasil revisi UU Pemilu yang saat ini dalam proses pembahasan di DPR. Sejauh ini parpol di parlemen masih terbelah, belum ada angka presidential threshold yang disepakati.

Sebagian ingin tetap 20% dengan alasan agar sistem presidential yang dianut tetap kuat sehingga nantinya presiden akan mudah mendapat dukungan parlemen.

Usulan lain, ambang batas sebaiknya dihapus saja atau menjadi 0% sehingga parpol manapun di parlemen berhak mengajukan calon. Sebagian lainnya mengajukan angka lebih moderat, yakni ambang batas pencapresan di angka 10%.

Di sisi lain, uji materi mengenai penghapusan ambang batas pencapresan ini sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah pegiat demokrasi. Sebelum Pilpres 2019 digelar, uji materi yang sama juga pernah diajukan, namun saat itu permohonan mengahapus ambang batas pencapresan ditolak oleh Mahkamah.( )

Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, pada Pilpres 2019, pembelahan sangat keras di masyarakat antara kubu pendukung Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Karena itu, PAN menolak jika ambang batas pencapresan masih 20%. “Itu pelajaran yang sangat berharga, masyarakat terbelah, ini pertama kalinya saya lihat," katanya beberapa waktu lalu.

Fraksi PPP punya pandangan yang sama. Meski tidak setuju dipatok 20%, bukan berarti ambang batas pencapresan juga harus sangat rendah bahkan sampai 0%.

"Kita juga tidak ingin partai-partai itu terlalu gampang mencalonkan presiden, karena ada satu perbedaan prinsiplah soal bagaimana kita memilih anggota DPR dan Presiden," tutur anggota Fraksi PPP Arwani Thomafi beberapa waktu lalu.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1410 seconds (0.1#10.140)