Posisi Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora di Sekolah
loading...
A
A
A
Tetapi zaman sudah berubah. Laju reformasi disertai arus demokratisasi membawa dampak yang positif. Apalagi berbagai literatur semakin mudah didapat. Para guru muda yang progresif berupaya menghadirkan wajah pendidikan sosial humaniora yang lebih humanis dengan membangun pembelajaran yang aktif, kreatif, menyenangkan, serta menimbulkan daya kritis.
Para guru tersebut berupaya untuk menghadirkan berbagai situasi problematis seperti beragam isu kontroversi di masa lampau atau isu yang sedang hangat di ruang publik ke ruang kelas dan kemudian menjadikannya bahan perdebatan. Hal tersebut dilakukan untuk membangun daya kritis anak-anak. Ada juga guru-guru yang memanfaatkan media digital agar anak-anak lebih tertarik belajar.
Daya kritis dan kreativitas guru sangat berpengaruh untuk memengaruhi siswa dalam memandang berbagai persoalan. Di sinilah guru berposisi sebagai sosok yang mau menggali potensi siswa, bukan bertindak sebagai pengisi bejana kosong seperti kritik Freire (1971) pada pendidikan gaya bank. Guru juga harus menjadi teladan sebagai pembaca yang andal dari berbagai literatur. Guru membawa anak-anak ke ragam literatur, mengajak anak-anak untuk terus membaca berbagai teks untuk memahami kompleksitas peristiwa.
Romo Mangun (2020) dalam Sekolah Merdeka menantang para guru untuk mendorong anak-anak untuk aktif mengeksplorasi. Proses pendidikan menurutnya harus jauh dari perangai suka mengomando, menggurui, mengisi kuali kosong menjadi proses dialog. Pembaruan pedagogik dan didaktik yang progresif dalam perspektifnya seratus persen antiotoriter, anti-pengarahan top-down, anti-indoktrinasi, antihafalan model beo, antisikap dan suasana yang serba-menggurui.
Mengoptimalkan pembelajaran sosial humaniora sebagai arena membebaskan dan mencerahkan anak didik menjadi kontribusi penting pendidikan terhadap bangunan demokratisasi di Indonesia. Tentu perlu diimbangi dengan berbagai program di sekolah yang memberi kesempatan siswa untuk berjumpa dan berdialog dengan beragam kalangan. Dan, juga contoh aktual otoritas pemerintah yang menunjukkan sikap tidak antikritik dan sedia berdialog dengan rakyat.
Para guru tersebut berupaya untuk menghadirkan berbagai situasi problematis seperti beragam isu kontroversi di masa lampau atau isu yang sedang hangat di ruang publik ke ruang kelas dan kemudian menjadikannya bahan perdebatan. Hal tersebut dilakukan untuk membangun daya kritis anak-anak. Ada juga guru-guru yang memanfaatkan media digital agar anak-anak lebih tertarik belajar.
Daya kritis dan kreativitas guru sangat berpengaruh untuk memengaruhi siswa dalam memandang berbagai persoalan. Di sinilah guru berposisi sebagai sosok yang mau menggali potensi siswa, bukan bertindak sebagai pengisi bejana kosong seperti kritik Freire (1971) pada pendidikan gaya bank. Guru juga harus menjadi teladan sebagai pembaca yang andal dari berbagai literatur. Guru membawa anak-anak ke ragam literatur, mengajak anak-anak untuk terus membaca berbagai teks untuk memahami kompleksitas peristiwa.
Romo Mangun (2020) dalam Sekolah Merdeka menantang para guru untuk mendorong anak-anak untuk aktif mengeksplorasi. Proses pendidikan menurutnya harus jauh dari perangai suka mengomando, menggurui, mengisi kuali kosong menjadi proses dialog. Pembaruan pedagogik dan didaktik yang progresif dalam perspektifnya seratus persen antiotoriter, anti-pengarahan top-down, anti-indoktrinasi, antihafalan model beo, antisikap dan suasana yang serba-menggurui.
Mengoptimalkan pembelajaran sosial humaniora sebagai arena membebaskan dan mencerahkan anak didik menjadi kontribusi penting pendidikan terhadap bangunan demokratisasi di Indonesia. Tentu perlu diimbangi dengan berbagai program di sekolah yang memberi kesempatan siswa untuk berjumpa dan berdialog dengan beragam kalangan. Dan, juga contoh aktual otoritas pemerintah yang menunjukkan sikap tidak antikritik dan sedia berdialog dengan rakyat.
(bmm)