Setara Institute Nilai Lemahnya Kepemimpinan Nasional Faktor Pemicu Intoleransi Agama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama masih kerap terjadi Indonesia. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo , tidak menjadi jaminan tak ada lagi kasus intoleransi.
Terlebih lagi dalam rangka Hari Toleransi Internasional, dalam pernyataan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di hari terakhir KTT ASEAN ke-37, 15 November 2020, menyampaikan tentang pentingnya toleransi. Dia mengaku keprihatinan masih terus terjadinya intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama.
Setara Institute menilai keprihatian yang dinyatakan oleh Presiden Jokowi merupakan kondisi faktual, khususnya dalam konteks Indonesia. Intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama merupakan masalah serius yang dihadapi, khusus oleh bangsa dan pemerintah Indonesia sendiri.
Keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI pada 2014 sempat memunculkan harapan baru, setelah selama satu dekade di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kondisi kebebasan beragama maupun berkeyakinan mengalami stagnasi. Namun, merujuk situasi objektif terkini, harapan publik terhadap pemerintahan Jokowi memudar.
“Periode pertama kepresidenan Jokowi tidak menghasilkan teroboson yang signifikan dalam pemajuan toleransi dan kebebasan beragama/berkeyakinan. Alih-alih membangkitkan harapan publik, tahun pertama periode kedua Presiden Jokowi justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan nasional dalam jaminan hak untuk beragama/berkeyakinan secara merdeka sesuai dengan konstitusi,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan kepada SINDOnews, Senin (16/11/2020).
Ada faktor yang menyebabkan kondisi tersebut, Halili memandang politik akomodasi yang menguat dalam pemerintahan kedua Jokowi turut berkontribusi melemahkan kepemimpinan Jokowi dalam pemajuan toleransi, kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), dan hak asasi manusia pada umumnya. (Baca: PDIP: Jangan Rusak Indonesia dengan Kebencian)
“Di tengah kepemimpinan nasional yang lemah, basis sosial toleransi ikut memburuk. Kondisi itu ditandai dengan rendahnya kesalingpahaman (mutual understanding) antaridentitas di tengah-tengah masyarakat yang dipicu pembiaran ekspresi kebencian atas nama agama oleh figur-figur publik dan politisasi agama oleh para politisi,” terang dia.
Selain itu, meningkatnya segregasi sosial antaridentitas yang memicu ketegangan (tension), ketidaktertiban sosial (social disorder) hingga kekerasan terhadap identitas yang berbeda, terutama minoritas yang rentan. Berikutnya adalah maraknya ekspresi terbuka intoleransi, pelanggaran hak, dan kekerasan atas nama agama.
Lemahnya kepemimpinan nasional di bidang pemajuan toleransi dan kebebasan beragama/berkeyakinan dipertegas dengan buruknya kinerja kementerian yang secara langsung terkait dengan isu ini, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. Kedua kementerian tersebut sejauh ini belum menunjukkan terobosan apapun, selain kehebohan wacana tidak lama setelah pelantikan kabinet.
Halili menambahkan, terdapat persoalan struktural yang mesti diatasi oleh pemerintah. Hal itu secara langsung berada dalam kewenangan dan kendali presiden sebagai kepala negara, yaitu persoalan kebijakan, persoalan kapasitas aparatur pemerintah, dan persoalan penegakan hukum.
“Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Presiden Jokowi memiliki segala kewenangan politik dan hukum yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan terukur dalam kerangka demokrasi untuk mengatasi persoalan akut intoleransi di Indonesia,” tandasnya.
Melihat kondisi tersebut, Setara Institute mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bekerja keras, bahu membahu, berkolaborasi, dan bergotong royong memperkuat literasi keagamaan masyarakat. Selain itu, memperbanyak ruang-ruang perjumpaan lintas agama, menghadirkan narasi-narasi keagamaan yang sejuk dan moderat, serta melakukan program konkrit untuk membangun ketahanan sosial lintas identitas.
Terlebih lagi dalam rangka Hari Toleransi Internasional, dalam pernyataan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di hari terakhir KTT ASEAN ke-37, 15 November 2020, menyampaikan tentang pentingnya toleransi. Dia mengaku keprihatinan masih terus terjadinya intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama.
Setara Institute menilai keprihatian yang dinyatakan oleh Presiden Jokowi merupakan kondisi faktual, khususnya dalam konteks Indonesia. Intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama merupakan masalah serius yang dihadapi, khusus oleh bangsa dan pemerintah Indonesia sendiri.
Keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI pada 2014 sempat memunculkan harapan baru, setelah selama satu dekade di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kondisi kebebasan beragama maupun berkeyakinan mengalami stagnasi. Namun, merujuk situasi objektif terkini, harapan publik terhadap pemerintahan Jokowi memudar.
“Periode pertama kepresidenan Jokowi tidak menghasilkan teroboson yang signifikan dalam pemajuan toleransi dan kebebasan beragama/berkeyakinan. Alih-alih membangkitkan harapan publik, tahun pertama periode kedua Presiden Jokowi justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan nasional dalam jaminan hak untuk beragama/berkeyakinan secara merdeka sesuai dengan konstitusi,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan kepada SINDOnews, Senin (16/11/2020).
Ada faktor yang menyebabkan kondisi tersebut, Halili memandang politik akomodasi yang menguat dalam pemerintahan kedua Jokowi turut berkontribusi melemahkan kepemimpinan Jokowi dalam pemajuan toleransi, kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), dan hak asasi manusia pada umumnya. (Baca: PDIP: Jangan Rusak Indonesia dengan Kebencian)
“Di tengah kepemimpinan nasional yang lemah, basis sosial toleransi ikut memburuk. Kondisi itu ditandai dengan rendahnya kesalingpahaman (mutual understanding) antaridentitas di tengah-tengah masyarakat yang dipicu pembiaran ekspresi kebencian atas nama agama oleh figur-figur publik dan politisasi agama oleh para politisi,” terang dia.
Selain itu, meningkatnya segregasi sosial antaridentitas yang memicu ketegangan (tension), ketidaktertiban sosial (social disorder) hingga kekerasan terhadap identitas yang berbeda, terutama minoritas yang rentan. Berikutnya adalah maraknya ekspresi terbuka intoleransi, pelanggaran hak, dan kekerasan atas nama agama.
Lemahnya kepemimpinan nasional di bidang pemajuan toleransi dan kebebasan beragama/berkeyakinan dipertegas dengan buruknya kinerja kementerian yang secara langsung terkait dengan isu ini, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. Kedua kementerian tersebut sejauh ini belum menunjukkan terobosan apapun, selain kehebohan wacana tidak lama setelah pelantikan kabinet.
Halili menambahkan, terdapat persoalan struktural yang mesti diatasi oleh pemerintah. Hal itu secara langsung berada dalam kewenangan dan kendali presiden sebagai kepala negara, yaitu persoalan kebijakan, persoalan kapasitas aparatur pemerintah, dan persoalan penegakan hukum.
“Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Presiden Jokowi memiliki segala kewenangan politik dan hukum yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan terukur dalam kerangka demokrasi untuk mengatasi persoalan akut intoleransi di Indonesia,” tandasnya.
Melihat kondisi tersebut, Setara Institute mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bekerja keras, bahu membahu, berkolaborasi, dan bergotong royong memperkuat literasi keagamaan masyarakat. Selain itu, memperbanyak ruang-ruang perjumpaan lintas agama, menghadirkan narasi-narasi keagamaan yang sejuk dan moderat, serta melakukan program konkrit untuk membangun ketahanan sosial lintas identitas.
(hab)