Penyebaran Konten Pornografi, Pengamat Hukum: Utamakan Perlindungan Korban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah video asusila diduga mirip beberapa selebriti Tanah Air yang beredar di media sosial telah memantik perhatian publik, termasuk dari kalangan akademisi. Peneliti dan akademisi hukum pidana STH Indonesia Jentera, Miko Ginting memaparkan tiga hal yang menjadi menurutnya perlu menjadi fokus persoalan.
(Baca juga: Dosen UI Sebut UU Cipta Kerja Solusi Industri Serap Tenaga Kerja Lebih Optimal)
Pertama, dalam kasus-kasus seperti ini, pelindungan korban harus selalu menjadi yang paling utama. Terlebih dalam masyarakat yang patriarkal ini, perempuan telah dan akan selalu menjadi korban ganda.
"Korban adalah yang utama. Tidak terlalu penting ia public figure atau bukan. Esensinya, mereka adalah korban apapun status sosialnya," kata Miko kepada SINDOnews, Selasa (10/11/2020).
(Baca juga: Ini yang Akan Dilakukan Habib Rizieq Begitu Mendarat di Bandara Soetta)
Ia pun mengaitkan kasus serupa pada beberapa tahun lalu yang melibatkan vokalis band terkenal. Korban yang privasinya terumbar itu malah menjadi pesakitan dan divonis bersalah.
Sementara, kedua perempuan pasangannya masih menjadi tersangka sampai hari ini. Belum lagi ditambah persepsi negatif dan penghakiman oleh publik yang akan terus-menerus diemban oleh mereka.
Kedua lanjut Miko, konstruksi tindak pidana dan pemilihan delik menjadi penting. Soal pornografi ini diatur dalam KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi. Meski demikian, KUHP dan UU ITE masih menggunakan istilah 'kesusilaan' dan bukan pornografi.
Menurut dia, istilah pornografi sebenarnya mulai resmi digunakan mulai 1970-an sesudah pertemuan Presiden Soeharto, Departemen Penerangan, dan organisasi jurnalis untuk membahas pers komunisme dan pers yang menyimpang.
"Perlu diingat, dalam pemilihan delik ini ukurannya adalah kehati-hatian. UU Pornografi, misalnya, tidak mengandung unsur 'dengan sengaja'. Artinya, siapapun yang menyimpan, menggandakan, memproduksi, dan lain-lain suatu konten pornografi akan terkena delik,” ujar eks peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu.
Lantaran itu, Miko berharap kepolisian harus menerapkan delik yang tepat terhadap pihak yang sengaja menyebarluaskan video dengan motif eksploitasi seksual tanpa persetujuan atau penyebaran konten privasi berbasis dendam (revenge porn).
"Korban seharusnya tidak bergeser menjadi pelaku. Publik yang tidak punya kesengajaan seharusnya juga tidak dikriminalkan," tegasnya.
Selain itu, ia juga mendorong agar kepolisian harus bertindak menarik video itu dari semua platform dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Sebab, dunia digital punya karakter yang abadi yaitu sekali diungggah akan sulit untuk dihilangkan.
"Memang ada hak untuk dilupakan (right to be forgotten) di UU ITE, tetapi mekanisme operasionalisasinya masih belum jelas. Kepolisian tidak perlu menunggu. Segera berupaya tarik semua konten itu dari semua platform," pinta dia.
Miko berharap kasus tersebut juga bisa menjadi momentum bagi dunia penegakan hukum untuk menerapkan standar ketika menghadapi kasus serupa. Menurutnya, harus ada langkah-langkah proaktif dan memperhatikan kerentanan korban.
(Baca juga: Dosen UI Sebut UU Cipta Kerja Solusi Industri Serap Tenaga Kerja Lebih Optimal)
Pertama, dalam kasus-kasus seperti ini, pelindungan korban harus selalu menjadi yang paling utama. Terlebih dalam masyarakat yang patriarkal ini, perempuan telah dan akan selalu menjadi korban ganda.
"Korban adalah yang utama. Tidak terlalu penting ia public figure atau bukan. Esensinya, mereka adalah korban apapun status sosialnya," kata Miko kepada SINDOnews, Selasa (10/11/2020).
(Baca juga: Ini yang Akan Dilakukan Habib Rizieq Begitu Mendarat di Bandara Soetta)
Ia pun mengaitkan kasus serupa pada beberapa tahun lalu yang melibatkan vokalis band terkenal. Korban yang privasinya terumbar itu malah menjadi pesakitan dan divonis bersalah.
Sementara, kedua perempuan pasangannya masih menjadi tersangka sampai hari ini. Belum lagi ditambah persepsi negatif dan penghakiman oleh publik yang akan terus-menerus diemban oleh mereka.
Kedua lanjut Miko, konstruksi tindak pidana dan pemilihan delik menjadi penting. Soal pornografi ini diatur dalam KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi. Meski demikian, KUHP dan UU ITE masih menggunakan istilah 'kesusilaan' dan bukan pornografi.
Menurut dia, istilah pornografi sebenarnya mulai resmi digunakan mulai 1970-an sesudah pertemuan Presiden Soeharto, Departemen Penerangan, dan organisasi jurnalis untuk membahas pers komunisme dan pers yang menyimpang.
"Perlu diingat, dalam pemilihan delik ini ukurannya adalah kehati-hatian. UU Pornografi, misalnya, tidak mengandung unsur 'dengan sengaja'. Artinya, siapapun yang menyimpan, menggandakan, memproduksi, dan lain-lain suatu konten pornografi akan terkena delik,” ujar eks peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu.
Lantaran itu, Miko berharap kepolisian harus menerapkan delik yang tepat terhadap pihak yang sengaja menyebarluaskan video dengan motif eksploitasi seksual tanpa persetujuan atau penyebaran konten privasi berbasis dendam (revenge porn).
"Korban seharusnya tidak bergeser menjadi pelaku. Publik yang tidak punya kesengajaan seharusnya juga tidak dikriminalkan," tegasnya.
Selain itu, ia juga mendorong agar kepolisian harus bertindak menarik video itu dari semua platform dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Sebab, dunia digital punya karakter yang abadi yaitu sekali diungggah akan sulit untuk dihilangkan.
"Memang ada hak untuk dilupakan (right to be forgotten) di UU ITE, tetapi mekanisme operasionalisasinya masih belum jelas. Kepolisian tidak perlu menunggu. Segera berupaya tarik semua konten itu dari semua platform," pinta dia.
Miko berharap kasus tersebut juga bisa menjadi momentum bagi dunia penegakan hukum untuk menerapkan standar ketika menghadapi kasus serupa. Menurutnya, harus ada langkah-langkah proaktif dan memperhatikan kerentanan korban.
(maf)