Urgensi Regenerasi Sektor Pertanian
loading...
A
A
A
Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
REVIU kinerja pemerintahan yang tinggal dua bulan lagi menjelang masuknya 2021 tidak bisa lepas dari realitas ancaman regenerasi di sektor pertanian pangan. Di satu sisi, hal ini rentan dengan ketahanan pangan, sementara di sisi lain fenomena kemiskinan dari sektor pertanian pangan juga tidak bisa diabaikan.
Urgensi regenerasi di sektor pertanian pangan relevan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang menuntut ketersediaan pangan secara mudah dan murah karena keterpaksaan akibat daya beli yang rendah. Ancaman ketahanan pangan tidak bisa diabaikan dan fenomena ini terjadi secara global.
Selaras dengan regenerasi di sektor pertanian pangan, maka Badan Pangan Dunia (FAO) menegaskan komitmen perlindungan bersama adalah tanggung jawab bersama. Karenanya, semua negara saling membantu, baik kapasitas sebagai negara industri maju maupun negara miskin berkembang. Oleh karena itu, beralasan jika kemudian FAO memberikan arahan tentang kebersamaan membangun dan mengembalikan ketersediaan lahan produktif di semua negara.
Terkait ini, 90 dari 124 negara telah sepakat mencapai tujuan itu dan setidaknya akan dicapai 400 juta hektare restorasi lahan untuk bisa kembali menjadi lahan produktif. Faktor pemicu menurunnya lahan terkait dengan pertumbuhan penduduk secara global yang kemudian menuntut ketersediaan permukiman dan perumahan. Sementara di sisi lain regenerasi di sektor pertanian pangan cenderung sangat lambat.
Jaminan
Fakta ancaman degradasi lahan pertanian pangan secara global pada akhirnya mereduksi kapasitas produksi, baik imbasnya terhadap kuantitas, maupun kualitas pertanian pangan. Hal ini sangat rentan memicu dampak pada kerawanan pangan dan ancaman ketahanan pangan sehingga kesejahteraan pembangunan berkelanjutan menjadi tereduksi. Argumen yang mendasarinya karena ketersediaan lahan menjadi simpul yang menjamin ketahanan pangan global sehingga jumlahnya yang berkurang dan degradasi kemampuan lahan bisa mengurangi kemampuan produksi pertanian pangan secara global. Ini tentu bisa memicu ancaman terhadap pemenuhan nutrisi. Jadi, problemnya bukan hanya regenerasi sektor pertanian yang lambat tapi juga ketersediaan lahan yang semakin sempit. Sementara ancaman lain yaitu bencana banjir dan kekeringan, saling berkaitan setiap pergantian musim.
Mengingat pentingnya jaminan ketahanan dan keamanan pangan, maka penetapan luas lahan baku sawah menjadi penting, termasuk juga dalam hal ini lahan pertanian abadi. Saat ini luas lahan baku sawah Indonesia mencapai 7.463.948 hektare dan Jawa masih mendominasi, misalnya Jawa Timur 1,2 juta hektare, Jawa Tengah 1.049.661 hektare, dan Jawa Barat 928.218 hektare.
Data ini menegaskan adanya perluasan 358.000 hektare sawah, yaitu dari sebelumnya 7,1 juta hektare pada 2018. Ironisnya, perluasan itu tidak dibarengi dengan peningkatan produksi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi padi turun 59,2 juta ton menjadi 54,6 juta ton, produksi beras turun 33,94 juta ton menjadi 31,31 juta ton pada 2019. Faktor cuaca menjadi problem, misalnya kemarau yang berdampak terhadap kekeringan dan musim hujan memicu banjir. Hal ini menjadi argumen pemerintah untuk memaksa agar luas lahan pertanian pangan tidak direduksi baik bagi kepentingan wisata, rumah, atau industri. Itu karena alih fungsi lahan yang tidak terkontrol akan mereduksi luas pertanian pangan.
Kecemasan terkait alih fungsi lahan, yaitu kian minimnya ketersediaan lahan pertanian pangan dan tentu berdampak pada daya tarik sektor pertanian pangan dalam jangka panjang. Ini bisa memicu semakin minim generasi penerus di sektor pertanian pangan. Imbasnya adalah semakin rendahnya nilai tukar petani (NTP). NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Oleh karena itu, NTP merupakan pengukur tingkat kemampuan-daya beli petani di pedesaan, selain juga menjadi pengukur daya tukar produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi (juga sebagai penunjuk biaya produksi). Data BPS menjelaskan NTP 2020 mencapai 104,16 (naik 0,78%).
Jika sektor pertanian dibiarkan tidak memiliki daya tarik, maka desa akan ditinggalkan warganya dan makin banyak yang bermigrasi ke perkotaan.
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
REVIU kinerja pemerintahan yang tinggal dua bulan lagi menjelang masuknya 2021 tidak bisa lepas dari realitas ancaman regenerasi di sektor pertanian pangan. Di satu sisi, hal ini rentan dengan ketahanan pangan, sementara di sisi lain fenomena kemiskinan dari sektor pertanian pangan juga tidak bisa diabaikan.
Urgensi regenerasi di sektor pertanian pangan relevan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang menuntut ketersediaan pangan secara mudah dan murah karena keterpaksaan akibat daya beli yang rendah. Ancaman ketahanan pangan tidak bisa diabaikan dan fenomena ini terjadi secara global.
Selaras dengan regenerasi di sektor pertanian pangan, maka Badan Pangan Dunia (FAO) menegaskan komitmen perlindungan bersama adalah tanggung jawab bersama. Karenanya, semua negara saling membantu, baik kapasitas sebagai negara industri maju maupun negara miskin berkembang. Oleh karena itu, beralasan jika kemudian FAO memberikan arahan tentang kebersamaan membangun dan mengembalikan ketersediaan lahan produktif di semua negara.
Terkait ini, 90 dari 124 negara telah sepakat mencapai tujuan itu dan setidaknya akan dicapai 400 juta hektare restorasi lahan untuk bisa kembali menjadi lahan produktif. Faktor pemicu menurunnya lahan terkait dengan pertumbuhan penduduk secara global yang kemudian menuntut ketersediaan permukiman dan perumahan. Sementara di sisi lain regenerasi di sektor pertanian pangan cenderung sangat lambat.
Jaminan
Fakta ancaman degradasi lahan pertanian pangan secara global pada akhirnya mereduksi kapasitas produksi, baik imbasnya terhadap kuantitas, maupun kualitas pertanian pangan. Hal ini sangat rentan memicu dampak pada kerawanan pangan dan ancaman ketahanan pangan sehingga kesejahteraan pembangunan berkelanjutan menjadi tereduksi. Argumen yang mendasarinya karena ketersediaan lahan menjadi simpul yang menjamin ketahanan pangan global sehingga jumlahnya yang berkurang dan degradasi kemampuan lahan bisa mengurangi kemampuan produksi pertanian pangan secara global. Ini tentu bisa memicu ancaman terhadap pemenuhan nutrisi. Jadi, problemnya bukan hanya regenerasi sektor pertanian yang lambat tapi juga ketersediaan lahan yang semakin sempit. Sementara ancaman lain yaitu bencana banjir dan kekeringan, saling berkaitan setiap pergantian musim.
Mengingat pentingnya jaminan ketahanan dan keamanan pangan, maka penetapan luas lahan baku sawah menjadi penting, termasuk juga dalam hal ini lahan pertanian abadi. Saat ini luas lahan baku sawah Indonesia mencapai 7.463.948 hektare dan Jawa masih mendominasi, misalnya Jawa Timur 1,2 juta hektare, Jawa Tengah 1.049.661 hektare, dan Jawa Barat 928.218 hektare.
Data ini menegaskan adanya perluasan 358.000 hektare sawah, yaitu dari sebelumnya 7,1 juta hektare pada 2018. Ironisnya, perluasan itu tidak dibarengi dengan peningkatan produksi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi padi turun 59,2 juta ton menjadi 54,6 juta ton, produksi beras turun 33,94 juta ton menjadi 31,31 juta ton pada 2019. Faktor cuaca menjadi problem, misalnya kemarau yang berdampak terhadap kekeringan dan musim hujan memicu banjir. Hal ini menjadi argumen pemerintah untuk memaksa agar luas lahan pertanian pangan tidak direduksi baik bagi kepentingan wisata, rumah, atau industri. Itu karena alih fungsi lahan yang tidak terkontrol akan mereduksi luas pertanian pangan.
Kecemasan terkait alih fungsi lahan, yaitu kian minimnya ketersediaan lahan pertanian pangan dan tentu berdampak pada daya tarik sektor pertanian pangan dalam jangka panjang. Ini bisa memicu semakin minim generasi penerus di sektor pertanian pangan. Imbasnya adalah semakin rendahnya nilai tukar petani (NTP). NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Oleh karena itu, NTP merupakan pengukur tingkat kemampuan-daya beli petani di pedesaan, selain juga menjadi pengukur daya tukar produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi (juga sebagai penunjuk biaya produksi). Data BPS menjelaskan NTP 2020 mencapai 104,16 (naik 0,78%).
Jika sektor pertanian dibiarkan tidak memiliki daya tarik, maka desa akan ditinggalkan warganya dan makin banyak yang bermigrasi ke perkotaan.