Penilaian Indriyanto Seno Adji tentang Cara KPK Umumkan Tersangka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menilai pengumuman penetapan status tersangka setelah ada penangkapan memiliki legitimasi hukum yang akuntabel dan sesuai dalam garis-garis etika projustitia di tingkat penyidikan.
Hal tersebut disampaikan Indriyanto dalam menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengkritik cara baru KPK yang tidak mengumumkan status tersangka terlebih dahulu sebelum ada penangkapan yang dikhawatirkan para pelaku korupsi melarikan diri dan menjadi buron.
Menurutnya, pengumuman status tersangka dalam konferensi pers, baik sesudah dan sebelum penangkapan, tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabel. "Ini hanya persepsi opini dan mekanisme transparansi saja. Bagi saya pengumuman (status tersangka) sebelum atau sesudah penangkapan tetap mencerminkan prinsip transparansi, akuntabel dan masih dalam batas-batas etika projustitia," ujar Indriyanto kepada wartawan, Jumat (8/5/2020).
Dosen di Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, dalam sistem hukum pidana dikenal istilah common law mendasarkan pada putusan pengadilan sebagai sumber hukumnya. Sedangkan, sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) yang berlaku di negara-negara Eropa daratan dan negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia, berpegang kepada kodifikasi undang-undang menjadi sumber hukum utamanya.
Indriyanto menjelaskan penetapan tersangka sebelum penangkapan, akan menghilangkan barang bukti dan menyamarkan alat bukti. Sehingga, dalam proses penyidikan berlarut-larut yang tak kunjung disidangkan di Pengadilan Tipikor, jadi tidak ada kepastian hukum terhadap seseorang tersangka.
"Sebenarnya proses projustitia Lidik (penyelidikan) dan penyidikan adalah 'strictly closed and confidential', karena memang potensial adanya pihak lain sebagai calon tersangka yang bisa melarikan diri atau menghilangkan atau mensamarkan alat bukti sebelum diumumkan penetapkan tersangka," ucapnya.
Akademisi sekaligus pengacara di Indonesia menuturkan bahwa pengumuman atas penetapan tersangka setelah penangkapan memiliki kaitan yang relevan agar tidak melarikan diri pihak yang berpotensi terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi.
"Jadi memang akan selalu ada potensi perbuatan ilegal dari pihak yang memiliki kaitan dengan tindak pidana korupsi (tipikor). Oleh karena itu, selalu ada kaitan yang relevan antara pengumuman sebelum penetapan tersangka dengan pihak yang berpotensi tersangka yang akan melarikan diri tersebut," tuturnya. ( ).
Indriyanto menambahkan, pengumuman penetapan tersangka sesudah penangkapan sesuai dan sama sekali tidak bertentangan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/2015, tanggal 11 Januari 2017.
Selain itu, Indriyanto menegaskan setiap pimpinan KPK di era sebelumnya selalu ada tersangka yang menjadi buron. Hal itu menjadi fokus lembaga antirasuah dalam tugas penindakan dan pencegahan.
"Benar, hanya Harun Masiku yang jadi buron era Firli Cs. Dan proses pencarian buron DPO (Daftar Pencarian Orang) baik era Firli maupun era sebelumnya, tetap menjadi prioritas keseimbangan antara pencegahan dan penindakan KPK," tegasnya.
Ia melanjutkan, tersangka yang buron bukan sesuatu yang menunjukkan lemahnya Firli sebagai Ketua KPK. "Sama sekali tidak menunjukkan lemahnya kinerja Firli. Ini soal pola, upaya, dan metode penindakan korupsi. Proses hukum bagi DPO tetap berlanjut secara projustitia," tambah Indriyanto.
Hal tersebut disampaikan Indriyanto dalam menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengkritik cara baru KPK yang tidak mengumumkan status tersangka terlebih dahulu sebelum ada penangkapan yang dikhawatirkan para pelaku korupsi melarikan diri dan menjadi buron.
Menurutnya, pengumuman status tersangka dalam konferensi pers, baik sesudah dan sebelum penangkapan, tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabel. "Ini hanya persepsi opini dan mekanisme transparansi saja. Bagi saya pengumuman (status tersangka) sebelum atau sesudah penangkapan tetap mencerminkan prinsip transparansi, akuntabel dan masih dalam batas-batas etika projustitia," ujar Indriyanto kepada wartawan, Jumat (8/5/2020).
Dosen di Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, dalam sistem hukum pidana dikenal istilah common law mendasarkan pada putusan pengadilan sebagai sumber hukumnya. Sedangkan, sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) yang berlaku di negara-negara Eropa daratan dan negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia, berpegang kepada kodifikasi undang-undang menjadi sumber hukum utamanya.
Indriyanto menjelaskan penetapan tersangka sebelum penangkapan, akan menghilangkan barang bukti dan menyamarkan alat bukti. Sehingga, dalam proses penyidikan berlarut-larut yang tak kunjung disidangkan di Pengadilan Tipikor, jadi tidak ada kepastian hukum terhadap seseorang tersangka.
"Sebenarnya proses projustitia Lidik (penyelidikan) dan penyidikan adalah 'strictly closed and confidential', karena memang potensial adanya pihak lain sebagai calon tersangka yang bisa melarikan diri atau menghilangkan atau mensamarkan alat bukti sebelum diumumkan penetapkan tersangka," ucapnya.
Akademisi sekaligus pengacara di Indonesia menuturkan bahwa pengumuman atas penetapan tersangka setelah penangkapan memiliki kaitan yang relevan agar tidak melarikan diri pihak yang berpotensi terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi.
"Jadi memang akan selalu ada potensi perbuatan ilegal dari pihak yang memiliki kaitan dengan tindak pidana korupsi (tipikor). Oleh karena itu, selalu ada kaitan yang relevan antara pengumuman sebelum penetapan tersangka dengan pihak yang berpotensi tersangka yang akan melarikan diri tersebut," tuturnya. ( ).
Indriyanto menambahkan, pengumuman penetapan tersangka sesudah penangkapan sesuai dan sama sekali tidak bertentangan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/2015, tanggal 11 Januari 2017.
Selain itu, Indriyanto menegaskan setiap pimpinan KPK di era sebelumnya selalu ada tersangka yang menjadi buron. Hal itu menjadi fokus lembaga antirasuah dalam tugas penindakan dan pencegahan.
"Benar, hanya Harun Masiku yang jadi buron era Firli Cs. Dan proses pencarian buron DPO (Daftar Pencarian Orang) baik era Firli maupun era sebelumnya, tetap menjadi prioritas keseimbangan antara pencegahan dan penindakan KPK," tegasnya.
Ia melanjutkan, tersangka yang buron bukan sesuatu yang menunjukkan lemahnya Firli sebagai Ketua KPK. "Sama sekali tidak menunjukkan lemahnya kinerja Firli. Ini soal pola, upaya, dan metode penindakan korupsi. Proses hukum bagi DPO tetap berlanjut secara projustitia," tambah Indriyanto.
(zik)