Kemenangan Akal Sehat
loading...
A
A
A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI)
CALON presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berpeluang besar memenangi pertarungan pemilu Amerika Serikat (AS)—salah satu pemilu presiden (pilpres) yang sangat ketat dalam sejarah kepemiluan Negeri Paman Sam. Kemenangan di wilayah-wilayah Battle Ground, terutama di Wisconsin dan Michigan, menjadi penentu keunggulan sementara Biden atas rivalnya dari Partai Republik Donald Trump. Sementara, Trump hanya memenangi sedikit wilayah Battle Ground. Itu berkutat di wilayah seperti Texas dan Florida yang memang merupakan basis pendukung Trump.
Beragam sikap dan kebijakan irasional Trump sepanjang empat tahun terakhir menjabat telah memberikan banyak keuntungan bagi Biden pada pilpres ini. Berbagai kontroversi, kebohongan, dan salah kelola yang dilakukan Trump merupakan amunisi yang tinggal di-high light kembali oleh Tim Pemenangan Biden pada saat kampanye. Menjelang waktu pemilihan sejumlah problematika dan isu-isu besar pada tahun ini, semisal kasus rasisme, termasuk pembunuhan George Floyd yang memunculkan gerakan Black Lives Matters, dan terutama penanganan Covid-19, benar-benar membawa malapetaka bagi Trump yang cenderung menyelesaikannya dengan sekadar retorika, bahkan kebohongan.
Sikap dingin Trump terkait dengan aksi-aksi rasisme seolah membawa angin segar bagi kelompok-kelompok antiminoritas di AS. Sementara, data-data terkait Covid-19, misalnya, banyak yang tidak didasarkan pada kenyataan. Trump bahkan selalu mengklaim penanganan Covid-19 AS adalah yang terbaik di dunia—hal yang tentu saja bertolak belakangan dengan kenyataan korban meninggal yang menembus 200.000 orang hingga akhir tahun ini. Kenyataannya, Trump dan para pendukungnya sepanjang awal tahun ini cenderung menafikan eksistensi virus Covid-19.
Dalam menjalankan kekuasaannya, Trump lebih senang membangun kebijakan atas dasar intuisi personal yang selalu diyakininya benar. Dia seolah tahu apa yang ada di benak dan hati masyarakat AS. Dia tidak menyukai analisis yang kompleks, apalagi yang melawan intuisinya, yang menyebabkan pengelolaan kebijakan kerap out of the box namun juga pastinya irasional. Ini membuat frustrasi bahkan untuk orang-orang di sekitarnya. Tidak mengherankan, Trump menjadi presiden AS yang paling banyak memecat atau ditinggal oleh penasihat yang kemudian menjadi lawan politiknya.
Tidak lama setelah ditetapkan sebagai presiden pada 2016, berbagai kontroversi dan kekacauan segera terlihat dalam banyak hal. Meski bagi pendukungnya, Trump layaknya seorang demigod yang akan membawa AS keluar dari ketimpangan ekonomi. Hingga empat tahun masa pemerintahannya, Trump gagal mewujudkannya. Anthony W Orlando (2018) seorang jurnalis mengatakan Trump telah gagal mengatasi kesenjangan ekonomi di negara-negara bagian yang mendukungnya dan AS pada umumnya. Persoalan utama lain adalah semakin terbelahnya masyarakat AS, terutama terkait dengan masalah diskriminasi ras. Kebijakan Trump yang cenderung menyelesaikan persoalan ini dengan cara-cara tidak simpatik, bahkan kekerasan, menyebabkan keterbelahan itu semakin terlihat.
Sementara dalam konteks internasional, AS di bawah Trump benar-benar menjadi negara terkucil dan terbelakang. Eksistensi dan “peran tradisional” AS sebagai pemain global nomor wahid dengan karakteristik prodemokrasi dan pejuang persamaan hak yang selama ini coba dikuatkan oleh presiden sebelumnya, Barack Obama, seolah-olah sirna. Di masa Trump, AS mundur dalam peran internasional, yang kerap disebut dengan kebijakan deglobalisasi Trump. Di antaranya AS menarik diri dari UNESCO dan WHO karena dianggap tidak memberikan benefit buat AS. Selain itu, AS mengambil kebijakan mendukung Jerusalem sebagai ibu kota bagi Israel yang membuat AS semakin menjauh dari idealisme masyarakat dunia.
Perang dagang, terutama dengan China, yang berdampak luas pada perekonomian dunia, kenyataannya tidak membawa hasil yang benar-benar positif bagi warga dunia. Kebijakannya yang cenderung proteksionis menyulitkan perdagangan global karena AS tidak lagi mau berperan sebagai negosiator multilateral untuk menurunkan tarif dan menghapuskan berbagai hambatan perdagangan (Winarno 2020). Di bawah Trump, negara-negara sahabat AS sekalipun terpukul secara ekonomi karena berbagai sanksi ekonomi dan tingginya tarif impor yang ditetapkan oleh AS.
Di masa dia pula hubungan AS dengan Uni Eropa mengalami titik nadir. Trump tidak pernah benar-benar serius dalam berhubungan dengan Uni Eropa dan menjadikannya sebagai elemen penting dalam pembuat keputusan strategis. Ini tercermin, misalnya dengan menempatkan lebih sedikit dubes di Eropa. Belakangan sikap konfrontatif Trump juga ditunjukkan dengan komentar negatifnya atas NATO dan G-7 yang dianggap ketinggalan zaman. Situasi yang berantakan nyaris di mana-mana membuat Trump kerap disebut sebagai presiden terburuk dalam sejarah politik Amerika Serikat.
Di sisi lain, jika kemenangan benar diraih Biden, tidak saja berpotensi membalikkan semua atas apa yang dilakukan secara salah oleh Trump, juga membawa harapan baru bagi peran Amerika yang lebih baik dan rasional. Biden akan membawa kondisi yang tidak lagi sama dengan apa yang telah dilakukan Trump. Ada misi dari Biden untuk setidaknya membuat eksistensi AS menjadi kembali normal baik dalam konteks pergaulan dunia maupun dalam kehidupan politik domestiknya. Eksperimentasi Trump terbukti tidak banyak membawa hasil yang memuaskan.
Tentu saja tidak semua hal akan menjadi lebih baik di bawah Biden. Bagi kalangan tertentu, apa yang terjadi di AS sama sekali tidak akan berpengaruh pada mereka. Masyarakat Indonesia juga pada umumnya akan merasa nyaman dengan Biden, lebih karena apa yang dilakukan Trump terhadap rakyat Palestina dan sikap diskriminasi kalangan muslim di AS. Perasaan solidaritas sebagai sesama muslim membuat kenyamanan itu ada, yang selama ini telah diabaikan oleh Trump karena sikap tidak sensitifnya. Namun, di sisi lain, sikap bergeming AS terhadap penjajahan Israel atas Palestina akan membuat kalangan muslim menilai bahwa Biden--sebagaimana presiden-presiden AS lainnya-- tidak bisa diharapkan.
Selebihnya pola hubungan AS-Indonesia akan cenderung sedikit lebih bersahabat, mengingat pada umumnya presiden dari kalangan Demokrat dalam beberapa dasawarsa terakhir jauh memiliki empati dan tidak proteksionis dalam bidang ekonomi meski kerap juga sangat bawel dengan soal-soal HAM dan demokrasi. Sikap Biden terhadap China mungkin lebih lunak. Mudah-mudahan dari itu akan membawa dampak positif bagi Indonesia. Dengan berbagai situasi ini, jelaslah bahwa kemenangan ini juga adalah kemenangan akal sehat versus halusinasi dan juga kemenangan sensitivitas versus ignorance.
Lihat Juga: Prabowo dan Joe Biden Sepakat Perluas Cakupan Latihan Militer Bersama dan Perkuat Keamanan Maritim
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI)
CALON presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berpeluang besar memenangi pertarungan pemilu Amerika Serikat (AS)—salah satu pemilu presiden (pilpres) yang sangat ketat dalam sejarah kepemiluan Negeri Paman Sam. Kemenangan di wilayah-wilayah Battle Ground, terutama di Wisconsin dan Michigan, menjadi penentu keunggulan sementara Biden atas rivalnya dari Partai Republik Donald Trump. Sementara, Trump hanya memenangi sedikit wilayah Battle Ground. Itu berkutat di wilayah seperti Texas dan Florida yang memang merupakan basis pendukung Trump.
Beragam sikap dan kebijakan irasional Trump sepanjang empat tahun terakhir menjabat telah memberikan banyak keuntungan bagi Biden pada pilpres ini. Berbagai kontroversi, kebohongan, dan salah kelola yang dilakukan Trump merupakan amunisi yang tinggal di-high light kembali oleh Tim Pemenangan Biden pada saat kampanye. Menjelang waktu pemilihan sejumlah problematika dan isu-isu besar pada tahun ini, semisal kasus rasisme, termasuk pembunuhan George Floyd yang memunculkan gerakan Black Lives Matters, dan terutama penanganan Covid-19, benar-benar membawa malapetaka bagi Trump yang cenderung menyelesaikannya dengan sekadar retorika, bahkan kebohongan.
Sikap dingin Trump terkait dengan aksi-aksi rasisme seolah membawa angin segar bagi kelompok-kelompok antiminoritas di AS. Sementara, data-data terkait Covid-19, misalnya, banyak yang tidak didasarkan pada kenyataan. Trump bahkan selalu mengklaim penanganan Covid-19 AS adalah yang terbaik di dunia—hal yang tentu saja bertolak belakangan dengan kenyataan korban meninggal yang menembus 200.000 orang hingga akhir tahun ini. Kenyataannya, Trump dan para pendukungnya sepanjang awal tahun ini cenderung menafikan eksistensi virus Covid-19.
Dalam menjalankan kekuasaannya, Trump lebih senang membangun kebijakan atas dasar intuisi personal yang selalu diyakininya benar. Dia seolah tahu apa yang ada di benak dan hati masyarakat AS. Dia tidak menyukai analisis yang kompleks, apalagi yang melawan intuisinya, yang menyebabkan pengelolaan kebijakan kerap out of the box namun juga pastinya irasional. Ini membuat frustrasi bahkan untuk orang-orang di sekitarnya. Tidak mengherankan, Trump menjadi presiden AS yang paling banyak memecat atau ditinggal oleh penasihat yang kemudian menjadi lawan politiknya.
Tidak lama setelah ditetapkan sebagai presiden pada 2016, berbagai kontroversi dan kekacauan segera terlihat dalam banyak hal. Meski bagi pendukungnya, Trump layaknya seorang demigod yang akan membawa AS keluar dari ketimpangan ekonomi. Hingga empat tahun masa pemerintahannya, Trump gagal mewujudkannya. Anthony W Orlando (2018) seorang jurnalis mengatakan Trump telah gagal mengatasi kesenjangan ekonomi di negara-negara bagian yang mendukungnya dan AS pada umumnya. Persoalan utama lain adalah semakin terbelahnya masyarakat AS, terutama terkait dengan masalah diskriminasi ras. Kebijakan Trump yang cenderung menyelesaikan persoalan ini dengan cara-cara tidak simpatik, bahkan kekerasan, menyebabkan keterbelahan itu semakin terlihat.
Sementara dalam konteks internasional, AS di bawah Trump benar-benar menjadi negara terkucil dan terbelakang. Eksistensi dan “peran tradisional” AS sebagai pemain global nomor wahid dengan karakteristik prodemokrasi dan pejuang persamaan hak yang selama ini coba dikuatkan oleh presiden sebelumnya, Barack Obama, seolah-olah sirna. Di masa Trump, AS mundur dalam peran internasional, yang kerap disebut dengan kebijakan deglobalisasi Trump. Di antaranya AS menarik diri dari UNESCO dan WHO karena dianggap tidak memberikan benefit buat AS. Selain itu, AS mengambil kebijakan mendukung Jerusalem sebagai ibu kota bagi Israel yang membuat AS semakin menjauh dari idealisme masyarakat dunia.
Perang dagang, terutama dengan China, yang berdampak luas pada perekonomian dunia, kenyataannya tidak membawa hasil yang benar-benar positif bagi warga dunia. Kebijakannya yang cenderung proteksionis menyulitkan perdagangan global karena AS tidak lagi mau berperan sebagai negosiator multilateral untuk menurunkan tarif dan menghapuskan berbagai hambatan perdagangan (Winarno 2020). Di bawah Trump, negara-negara sahabat AS sekalipun terpukul secara ekonomi karena berbagai sanksi ekonomi dan tingginya tarif impor yang ditetapkan oleh AS.
Di masa dia pula hubungan AS dengan Uni Eropa mengalami titik nadir. Trump tidak pernah benar-benar serius dalam berhubungan dengan Uni Eropa dan menjadikannya sebagai elemen penting dalam pembuat keputusan strategis. Ini tercermin, misalnya dengan menempatkan lebih sedikit dubes di Eropa. Belakangan sikap konfrontatif Trump juga ditunjukkan dengan komentar negatifnya atas NATO dan G-7 yang dianggap ketinggalan zaman. Situasi yang berantakan nyaris di mana-mana membuat Trump kerap disebut sebagai presiden terburuk dalam sejarah politik Amerika Serikat.
Di sisi lain, jika kemenangan benar diraih Biden, tidak saja berpotensi membalikkan semua atas apa yang dilakukan secara salah oleh Trump, juga membawa harapan baru bagi peran Amerika yang lebih baik dan rasional. Biden akan membawa kondisi yang tidak lagi sama dengan apa yang telah dilakukan Trump. Ada misi dari Biden untuk setidaknya membuat eksistensi AS menjadi kembali normal baik dalam konteks pergaulan dunia maupun dalam kehidupan politik domestiknya. Eksperimentasi Trump terbukti tidak banyak membawa hasil yang memuaskan.
Tentu saja tidak semua hal akan menjadi lebih baik di bawah Biden. Bagi kalangan tertentu, apa yang terjadi di AS sama sekali tidak akan berpengaruh pada mereka. Masyarakat Indonesia juga pada umumnya akan merasa nyaman dengan Biden, lebih karena apa yang dilakukan Trump terhadap rakyat Palestina dan sikap diskriminasi kalangan muslim di AS. Perasaan solidaritas sebagai sesama muslim membuat kenyamanan itu ada, yang selama ini telah diabaikan oleh Trump karena sikap tidak sensitifnya. Namun, di sisi lain, sikap bergeming AS terhadap penjajahan Israel atas Palestina akan membuat kalangan muslim menilai bahwa Biden--sebagaimana presiden-presiden AS lainnya-- tidak bisa diharapkan.
Selebihnya pola hubungan AS-Indonesia akan cenderung sedikit lebih bersahabat, mengingat pada umumnya presiden dari kalangan Demokrat dalam beberapa dasawarsa terakhir jauh memiliki empati dan tidak proteksionis dalam bidang ekonomi meski kerap juga sangat bawel dengan soal-soal HAM dan demokrasi. Sikap Biden terhadap China mungkin lebih lunak. Mudah-mudahan dari itu akan membawa dampak positif bagi Indonesia. Dengan berbagai situasi ini, jelaslah bahwa kemenangan ini juga adalah kemenangan akal sehat versus halusinasi dan juga kemenangan sensitivitas versus ignorance.
Lihat Juga: Prabowo dan Joe Biden Sepakat Perluas Cakupan Latihan Militer Bersama dan Perkuat Keamanan Maritim
(bmm)