Menunggu Putusan MK terhadap UU KPK
loading...
A
A
A
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
"KEKUASAAN besar akan selalu mengundang duri yang besar”. Pengkor
Karakter Pengkor sebagai supervillain (karakter jahat) dari tokoh Gundala dalam film Gundala menekankan bahwa sebuah kekuasaan akan selalu mengundang berbagai jenis rintangan.
Hal tersebut juga berkaitan erat ketika menggambarkan kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemui duri setelah disahkannya Perubahan UU KPK yang sarat kontroversi. Unjuk rasa besar-besaran pada 23-24 September 2019 di berbagai daerah di Indonesia dilatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Aksi protes mahasiswa tersebut saat ini berlanjut melalui jalur hukum, yakni melalui pengujian UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah MK akan mempertahankan UU KPK pascaperubahan atau mencabutnya?
Setelah perubahan UU KPK disahkan, MK paling tidak menerima berbagai bentuk permohonan pengujian, mulai dari pengujian formil mengenai proses pembentukan UU sampai dengan pengujian materiil mengenai substansi pengaturan. Pada artikel ini, pengujian substansi akan menjadi topik pembahasan.
Salah satu poin perubahan UU KPK adalah berkaitan dengan upaya paksa penyadapan. Sampai saat ini, proses legislasi terhadap RUU Penyadapan dan RUU KUHAP yang mengatur penyadapan belum memiliki titik terang. Secara praktik, penyadapan jelas diperlukan dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Bisa dipastikan sebagian besar operasi tangkap tangan (OTT) KPK berhasil dilakukan dengan dukungan dari upaya paksa penyadapan. Revisi UU KPK kemudian mewajibkan KPK untuk mendapatkan izin dari Dewan pengawas KPK. Dewan Pengawas bertugas mengawasi proses penegakan hukum oleh lembaga antirasuah tersebut. Pada dasarnya, hal ini merupakan jalan tengah dalam menciptakan proses penegakan hukum berdasarkan konsep due process model yang menghormati hak asasi manusia.
Menurut MK, dalam Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010, penyadapan merupakan pelanggaran atas hak privasi dan komunikasi. Sekalipun hak tersebut dapat dibatasi, pembatasan tersebut harus dilakukan dengan UU. Putusan tersebut diperkuat dengan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa perolehan dokumen elektronik maupun informasi elektronik yang tidak melalui proses penegakan hukum akan dianggap sebagai alat bukti yang tidak sah (unlawful evidence).
Dalam KUHAP, berbagai upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan memerlukan izin ketua pengadilan negeri setempat. Ketua pengadilan masuk ke dalam konsep pro justisia sehingga dapat mengawasi proses pro justisia. Namun, memang penyadapan tidak memiliki aturan yang jelas. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, diketahui jika perizinan penyadapan sampai dengan ketua pengadilan negeri, unsur kerahasiaannya akan berkurang dan melemahkan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga pengawasan yang independen. Namun, fungsi dewan pengawas memang bukan merupakan jawaban yang tepat. Overlapping kewenangan antara dewan pengawas dan pimpinan KPK menjadi rancu. Oleh karena itu, sudah seharusnya pimpinan KPK yang dipilih melalui panitia seleksi bentukan pemerintah dan proses pemilihan di DPR, menjadi pengawas di tubuh KPK.
Hal ini juga menunjukkan bahwa institusi dewan pengawas memang tidak dibutuhkan saat ini dan dapat menghambat proses penyidikan. Namun, pilihan pada dewan pengawas maupun pimpinan KPK, harus disepakati bahwa pengawasan penting sejalan dengan adagium power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely dari Lord Acton. Lembaga pengawas hadir untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang absolut.
Selain penyadapan, pengaturan KPK mengenai kewenangan menghentikan penyidikan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3) merupakan langkah yang tepat. Pasal 40 UU KPK saat ini tidak memberikan kewenangan tersebut sehingga melahirkan banyak permasalahan hukum. Salah satu contoh sederhana, jika tersangka korupsi meninggal dunia, KPK tidak dapat mengeluarkan SP3 sehingga perkara tersebut akan dianggap selalu ada dan tidak dapat dihentikan. Contoh lainnya, dalam hal kurang bukti, KPK tidak dapat menghentikan perkara tersebut. Salah satu contoh, dalam Kasus RJ Lino, KPK telah melakukan penyidikan lebih dari 2 tahun tanpa kejelasan. Jika terdapat kewenangan SP3, perkara dapat dihentikan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan penyelidikan.
Jika terdapat kewenangan SP3, perkara dapat dihentikan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan penyelidikan. Jika semua kasus tersebut dianggap penyidikan tanpa bisa dihentikan, maka kinerja KPK akan dianggap buruk karena penyidikan yang mangkrak bertahun-tahun. Sehingga dalam konteks ini, sudah seharusnya pasal perubahan ini tidak dihapuskan oleh MK.
Selain daripada itu, ada beberapa pasal yang sebaiknya memang dicabut oleh MK terkait ketentuan penyidikan dan penuntutan. Penyidik KPK seharusnya tetap dipastikan independen. Sebaiknya KPK memang tidak masuk dalam skema aparatur sipil negara (ASN). Jika masuk skema ASN, maka akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan mengingat pengangkatan dan segala skema ASN melekat pada pemerintah eksekutif. Oleh karena itu, seharusnya KPK tetap dapat diberikan kewenangan untuk merekrut penyidik independen.
Akan tetapi, harus tetap diperhatikan bahwa penyidik KPK harus memiliki mutasi rutin. Penegak hukum yang berada pada posisi yang permanen tentu akan menimbulkan kekuasaan berkepanjangan. Dengan landasan tersebutlah, komisioner KPK memiliki periode jabatan selama 4 tahun saja. Namun, tidak ada pengaturan masa jabatan penyidik di KPK. Jika dibandingkan dengan penegak hukum lain, yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim yang memiliki skema mutasi rutin, ini sulit dimiliki KPK yang hanya berada di pusat. Oleh karena itu, tetap menjadi penting adanya perhatian terhadap masa jabatan penyidik KPK.
Penyidik berasal dari Polri adalah salah satu solusi terhadap proses tersebut sehingga penyidik Polri yang ditempatkan di KPK hanya bersifat sementara waktu dan bergantian dengan penyidik Polri lainnya demi mencegah lahirnya kekuasaan absolut di tubuh penyidik. Penyidik Polri juga akan menjadi efisiensi bagi KPK yang tidak perlu lagi mengadakan peningkatan kualitas penyidik yang sudah terbentuk. Novel Baswedan merupakan contoh penyidik berkualitas dari Polri yang sepak terjangnya tidak perlu diragukan lagi.
Namun, tetap menjadi catatan penting bahwa penyidik independen KPK juga sangat diperlukan. Penyidik independen ini, penting untuk mempertegas fungsi KPK yang independen dan fokus pada tema pemberantasan korupsi. Hal ini juga akan mencegah konflik kepentingan dalam penegakan hukum.
Usulan pengaturan dalam RUU yang paling melemahkan KPK adalah adanya derogasi independen di tubuh KPK. Hal tersebut tercermin pada kewajiban penuntut umum KPK untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Usulan pengaturan ini tentu mengacu pada konsep Kejaksaan sebagai dominus litis atau pengendali perkara pada semua kasus pidana di Indonesia. Namun, dengan lahirnya KPK harusnya dipahami bahwa dominus litis dalam kasus korupsi telah berpindah dari Kejaksaan ke KPK. Hal ini sejalan dengan independensi KPK dan semangat pemberantasan korupsi Indonesia. Oleh karena itu, tetap harus dipertegas bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas dari segala intervensi.
Pada tataran ini, aturan-aturan yang menderogasi independensi KPK sudah sepatutnya dicabut oleh MK. Akan tetapi, beberapa aturan lainnya secara teoritik dan demi mencapai pemberantasan korupsi yang lebih baik, perlu didukung.
Semoga MK dapat memberikan keadilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lihat Juga: Siapa Hendry Lie yang Diringkus Kejagung di Soetta? Ini Profil, Kekayaan, dan Proses Hukumnya
Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
"KEKUASAAN besar akan selalu mengundang duri yang besar”. Pengkor
Karakter Pengkor sebagai supervillain (karakter jahat) dari tokoh Gundala dalam film Gundala menekankan bahwa sebuah kekuasaan akan selalu mengundang berbagai jenis rintangan.
Hal tersebut juga berkaitan erat ketika menggambarkan kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemui duri setelah disahkannya Perubahan UU KPK yang sarat kontroversi. Unjuk rasa besar-besaran pada 23-24 September 2019 di berbagai daerah di Indonesia dilatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Aksi protes mahasiswa tersebut saat ini berlanjut melalui jalur hukum, yakni melalui pengujian UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah MK akan mempertahankan UU KPK pascaperubahan atau mencabutnya?
Setelah perubahan UU KPK disahkan, MK paling tidak menerima berbagai bentuk permohonan pengujian, mulai dari pengujian formil mengenai proses pembentukan UU sampai dengan pengujian materiil mengenai substansi pengaturan. Pada artikel ini, pengujian substansi akan menjadi topik pembahasan.
Salah satu poin perubahan UU KPK adalah berkaitan dengan upaya paksa penyadapan. Sampai saat ini, proses legislasi terhadap RUU Penyadapan dan RUU KUHAP yang mengatur penyadapan belum memiliki titik terang. Secara praktik, penyadapan jelas diperlukan dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Bisa dipastikan sebagian besar operasi tangkap tangan (OTT) KPK berhasil dilakukan dengan dukungan dari upaya paksa penyadapan. Revisi UU KPK kemudian mewajibkan KPK untuk mendapatkan izin dari Dewan pengawas KPK. Dewan Pengawas bertugas mengawasi proses penegakan hukum oleh lembaga antirasuah tersebut. Pada dasarnya, hal ini merupakan jalan tengah dalam menciptakan proses penegakan hukum berdasarkan konsep due process model yang menghormati hak asasi manusia.
Menurut MK, dalam Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010, penyadapan merupakan pelanggaran atas hak privasi dan komunikasi. Sekalipun hak tersebut dapat dibatasi, pembatasan tersebut harus dilakukan dengan UU. Putusan tersebut diperkuat dengan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa perolehan dokumen elektronik maupun informasi elektronik yang tidak melalui proses penegakan hukum akan dianggap sebagai alat bukti yang tidak sah (unlawful evidence).
Dalam KUHAP, berbagai upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan memerlukan izin ketua pengadilan negeri setempat. Ketua pengadilan masuk ke dalam konsep pro justisia sehingga dapat mengawasi proses pro justisia. Namun, memang penyadapan tidak memiliki aturan yang jelas. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, diketahui jika perizinan penyadapan sampai dengan ketua pengadilan negeri, unsur kerahasiaannya akan berkurang dan melemahkan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga pengawasan yang independen. Namun, fungsi dewan pengawas memang bukan merupakan jawaban yang tepat. Overlapping kewenangan antara dewan pengawas dan pimpinan KPK menjadi rancu. Oleh karena itu, sudah seharusnya pimpinan KPK yang dipilih melalui panitia seleksi bentukan pemerintah dan proses pemilihan di DPR, menjadi pengawas di tubuh KPK.
Hal ini juga menunjukkan bahwa institusi dewan pengawas memang tidak dibutuhkan saat ini dan dapat menghambat proses penyidikan. Namun, pilihan pada dewan pengawas maupun pimpinan KPK, harus disepakati bahwa pengawasan penting sejalan dengan adagium power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely dari Lord Acton. Lembaga pengawas hadir untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang absolut.
Selain penyadapan, pengaturan KPK mengenai kewenangan menghentikan penyidikan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3) merupakan langkah yang tepat. Pasal 40 UU KPK saat ini tidak memberikan kewenangan tersebut sehingga melahirkan banyak permasalahan hukum. Salah satu contoh sederhana, jika tersangka korupsi meninggal dunia, KPK tidak dapat mengeluarkan SP3 sehingga perkara tersebut akan dianggap selalu ada dan tidak dapat dihentikan. Contoh lainnya, dalam hal kurang bukti, KPK tidak dapat menghentikan perkara tersebut. Salah satu contoh, dalam Kasus RJ Lino, KPK telah melakukan penyidikan lebih dari 2 tahun tanpa kejelasan. Jika terdapat kewenangan SP3, perkara dapat dihentikan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan penyelidikan.
Jika terdapat kewenangan SP3, perkara dapat dihentikan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan penyelidikan. Jika semua kasus tersebut dianggap penyidikan tanpa bisa dihentikan, maka kinerja KPK akan dianggap buruk karena penyidikan yang mangkrak bertahun-tahun. Sehingga dalam konteks ini, sudah seharusnya pasal perubahan ini tidak dihapuskan oleh MK.
Selain daripada itu, ada beberapa pasal yang sebaiknya memang dicabut oleh MK terkait ketentuan penyidikan dan penuntutan. Penyidik KPK seharusnya tetap dipastikan independen. Sebaiknya KPK memang tidak masuk dalam skema aparatur sipil negara (ASN). Jika masuk skema ASN, maka akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan mengingat pengangkatan dan segala skema ASN melekat pada pemerintah eksekutif. Oleh karena itu, seharusnya KPK tetap dapat diberikan kewenangan untuk merekrut penyidik independen.
Akan tetapi, harus tetap diperhatikan bahwa penyidik KPK harus memiliki mutasi rutin. Penegak hukum yang berada pada posisi yang permanen tentu akan menimbulkan kekuasaan berkepanjangan. Dengan landasan tersebutlah, komisioner KPK memiliki periode jabatan selama 4 tahun saja. Namun, tidak ada pengaturan masa jabatan penyidik di KPK. Jika dibandingkan dengan penegak hukum lain, yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim yang memiliki skema mutasi rutin, ini sulit dimiliki KPK yang hanya berada di pusat. Oleh karena itu, tetap menjadi penting adanya perhatian terhadap masa jabatan penyidik KPK.
Penyidik berasal dari Polri adalah salah satu solusi terhadap proses tersebut sehingga penyidik Polri yang ditempatkan di KPK hanya bersifat sementara waktu dan bergantian dengan penyidik Polri lainnya demi mencegah lahirnya kekuasaan absolut di tubuh penyidik. Penyidik Polri juga akan menjadi efisiensi bagi KPK yang tidak perlu lagi mengadakan peningkatan kualitas penyidik yang sudah terbentuk. Novel Baswedan merupakan contoh penyidik berkualitas dari Polri yang sepak terjangnya tidak perlu diragukan lagi.
Namun, tetap menjadi catatan penting bahwa penyidik independen KPK juga sangat diperlukan. Penyidik independen ini, penting untuk mempertegas fungsi KPK yang independen dan fokus pada tema pemberantasan korupsi. Hal ini juga akan mencegah konflik kepentingan dalam penegakan hukum.
Usulan pengaturan dalam RUU yang paling melemahkan KPK adalah adanya derogasi independen di tubuh KPK. Hal tersebut tercermin pada kewajiban penuntut umum KPK untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Usulan pengaturan ini tentu mengacu pada konsep Kejaksaan sebagai dominus litis atau pengendali perkara pada semua kasus pidana di Indonesia. Namun, dengan lahirnya KPK harusnya dipahami bahwa dominus litis dalam kasus korupsi telah berpindah dari Kejaksaan ke KPK. Hal ini sejalan dengan independensi KPK dan semangat pemberantasan korupsi Indonesia. Oleh karena itu, tetap harus dipertegas bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas dari segala intervensi.
Pada tataran ini, aturan-aturan yang menderogasi independensi KPK sudah sepatutnya dicabut oleh MK. Akan tetapi, beberapa aturan lainnya secara teoritik dan demi mencapai pemberantasan korupsi yang lebih baik, perlu didukung.
Semoga MK dapat memberikan keadilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lihat Juga: Siapa Hendry Lie yang Diringkus Kejagung di Soetta? Ini Profil, Kekayaan, dan Proses Hukumnya
(bmm)