Menunggu Putusan MK terhadap UU KPK

Jum'at, 06 November 2020 - 05:04 WIB
loading...
Menunggu Putusan MK terhadap UU KPK
Muhammad Fatahillah Akbar
A A A
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


"KEKUASAAN besar akan selalu mengundang duri yang besar
”. Pengkor

Karakter Pengkor sebagai supervillain (karakter jahat) dari tokoh Gundala dalam film Gundala menekankan bahwa sebuah kekuasaan akan selalu mengundang berbagai jenis rintangan.

Hal tersebut juga berkaitan erat ketika menggambarkan kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menemui duri setelah disahkannya Perubahan UU KPK yang sarat kontroversi. Unjuk rasa besar-besaran pada 23-24 September 2019 di berbagai daerah di Indonesia dilatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Aksi protes mahasiswa tersebut saat ini berlanjut melalui jalur hukum, yakni melalui pengujian UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah MK akan mempertahankan UU KPK pascaperubahan atau mencabutnya?

Setelah perubahan UU KPK disahkan, MK paling tidak menerima berbagai bentuk permohonan pengujian, mulai dari pengujian formil mengenai proses pembentukan UU sampai dengan pengujian materiil mengenai substansi pengaturan. Pada artikel ini, pengujian substansi akan menjadi topik pembahasan.

Salah satu poin perubahan UU KPK adalah berkaitan dengan upaya paksa penyadapan. Sampai saat ini, proses legislasi terhadap RUU Penyadapan dan RUU KUHAP yang mengatur penyadapan belum memiliki titik terang. Secara praktik, penyadapan jelas diperlukan dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Bisa dipastikan sebagian besar operasi tangkap tangan (OTT) KPK berhasil dilakukan dengan dukungan dari upaya paksa penyadapan. Revisi UU KPK kemudian mewajibkan KPK untuk mendapatkan izin dari Dewan pengawas KPK. Dewan Pengawas bertugas mengawasi proses penegakan hukum oleh lembaga antirasuah tersebut. Pada dasarnya, hal ini merupakan jalan tengah dalam menciptakan proses penegakan hukum berdasarkan konsep due process model yang menghormati hak asasi manusia.

Menurut MK, dalam Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010, penyadapan merupakan pelanggaran atas hak privasi dan komunikasi. Sekalipun hak tersebut dapat dibatasi, pembatasan tersebut harus dilakukan dengan UU. Putusan tersebut diperkuat dengan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa perolehan dokumen elektronik maupun informasi elektronik yang tidak melalui proses penegakan hukum akan dianggap sebagai alat bukti yang tidak sah (unlawful evidence).

Dalam KUHAP, berbagai upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan memerlukan izin ketua pengadilan negeri setempat. Ketua pengadilan masuk ke dalam konsep pro justisia sehingga dapat mengawasi proses pro justisia. Namun, memang penyadapan tidak memiliki aturan yang jelas. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, diketahui jika perizinan penyadapan sampai dengan ketua pengadilan negeri, unsur kerahasiaannya akan berkurang dan melemahkan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga pengawasan yang independen. Namun, fungsi dewan pengawas memang bukan merupakan jawaban yang tepat. Overlapping kewenangan antara dewan pengawas dan pimpinan KPK menjadi rancu. Oleh karena itu, sudah seharusnya pimpinan KPK yang dipilih melalui panitia seleksi bentukan pemerintah dan proses pemilihan di DPR, menjadi pengawas di tubuh KPK.

Hal ini juga menunjukkan bahwa institusi dewan pengawas memang tidak dibutuhkan saat ini dan dapat menghambat proses penyidikan. Namun, pilihan pada dewan pengawas maupun pimpinan KPK, harus disepakati bahwa pengawasan penting sejalan dengan adagium power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely dari Lord Acton. Lembaga pengawas hadir untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang absolut.

Selain penyadapan, pengaturan KPK mengenai kewenangan menghentikan penyidikan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3) merupakan langkah yang tepat. Pasal 40 UU KPK saat ini tidak memberikan kewenangan tersebut sehingga melahirkan banyak permasalahan hukum. Salah satu contoh sederhana, jika tersangka korupsi meninggal dunia, KPK tidak dapat mengeluarkan SP3 sehingga perkara tersebut akan dianggap selalu ada dan tidak dapat dihentikan. Contoh lainnya, dalam hal kurang bukti, KPK tidak dapat menghentikan perkara tersebut. Salah satu contoh, dalam Kasus RJ Lino, KPK telah melakukan penyidikan lebih dari 2 tahun tanpa kejelasan. Jika terdapat kewenangan SP3, perkara dapat dihentikan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan penyelidikan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1744 seconds (0.1#10.140)