Baleg DPR Buka Peluang Perbaikan Typo UU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR buka peluang perbaikan kesalahan pengetikan (typo) yang terjadi dalam Undang-Undang Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (2/11/2020) malam.
Hal ini disampaikan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menanggapi ide dari Yusril Ihza Mahendra terkait kontroversi yang ditimbulkan akibat banyaknya typo hingga perubahan substansi dalam UU Ciptaker.
"Kalau terkait substansi, mekanismenya bisa bermacam-macam. Tapi kalau hanya perbaikan redaksional, saya sependapat dengan Prof Yusril, bahwa itu sebenarnya tidak apa-apa langsung koordinasi saja antara pemerintah dan DPR untuk memperbaiki pasal rujukan. Karena itu tidak mengubah substansi dan ruh UU Cipta Kerja," kata pria yang akrab disapa Maman ini kepada wartawan, Rabu (4/11/2020). ( )
Maman menegaskan, karena itu murni hanya karena kesalahan pengetikan, redundant atau pengulangan, sehingga itu murni kesalahan tim dapur. Namun, belum ada keputusan soal hal ini dan pihaknya berharap pemerintah dan DPR bisa membuka komunikasi soal upaya ini.
"Saya malah berharap DPR dan pemerintah ada komunikasi untuk melakukan perbaikan kembali dan mengikuti saran Prof Yusril. Kalau sudah ada perbaikannya kembali diundangkan. Tapi tidak perlu ditandatangani presiden karena tidak mengubah sama sekali yang menjadi napas UU Cipta Kerja. Murni kesalahan pengetikan saja," ujarnya.
Politikus Partai Gerindra ini menjelaskan, proses koreksi ini bisa dilakukan antara DPR dan pemerintah. Sebab, ini murni kesalahan pengetikan karena menyangkut pasal rujukan. Cara ini sudah menjadi semacam konsensi sejak zaman dulu bahwa setelah naskah dikirim ke presiden, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) harus membaca lagi isinya sebelum dintandatangani.
"Nah, terpaksa kekeliruan yang dialami sekarang karena ini pengalaman pertama, ini kesalahan pengetikan, maka kalau dilakukan koreksi seperti pendapat Prof Yusril saya setuju. DPR bersiap melakukan itu, jadi dilakukan koreksi yang kesalahan pengetikan saja kemudian diundangkan tanpa perlu tanda tangan presiden lagi," ujar Maman. ( )
Karena itu, menurut dia, DPR dan pemerintah bisa melakukan itu bersama-sama dan siap mempertanggungjawabkan bahwa mekanisme ini tidak mengubah substansi. "Dan DPR siap melakukan itu dan siap mempertanggungjawabkan bahwa hal tersebut tidak mengubah susbtansi sama sekali dari UU Cipta Kerja. Karena murni kesalahan administrasi saja," ucapnya.
Namun demikian, Maman mengakui bahwa mekanisme ini tidak diatur dalam UU Nomor 11/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Jadi, upaya koreksi ini tinggal menyepakati bahwa tidak boleh ada perubahan setelah ada selesainya rapat paripurna dari sisi substansi. Tapi perbaikan redaksional sudah dilakukan dan sejak dulu seperti itu. Hal ini dilakukan guna mengakhiri polemik karena tidak menyentuh hal substantif.
"Justru kalau diatur secara tegas, kalau kita langgar itu yang bahaya dan tidak boleh. Lalu jangan lupa, konsesi adalah hukum juga," tuturnya.
Maman pun mengakui, bahwa upaya ini kali pertama dilakukan setelah naskah UU diteken Presiden. Biasanya, dilakukan sebelum diteken oleh Presiden. Itulah kenapa Mensesneg harus membaca terlebih dulu.
"Memang kalau untuk setelah ditandatangani presiden, ini baru pertama kalinya dilakukan. Tapi kalau sebelum presiden tanda tangan, hampir semua kok UU seperti itu. Karena mensesneg harus baca dulu. Jadi mekanisme yang namanya perbaikan typo dan sebagainya selalu dilakukan," kata Maman.
Anggota Komisi III DPR ini kembali menegaskan bahwa upaya ini masih bisa dilalukan, karena hanya soal pengetikan dan tidak menyangkut substansi. "Saya kira tidak masalah dilakukan perbaikan," tegasnya. "Ya nanti kami komunikasi dengan pemerintah," kata Maman.
Hal ini disampaikan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menanggapi ide dari Yusril Ihza Mahendra terkait kontroversi yang ditimbulkan akibat banyaknya typo hingga perubahan substansi dalam UU Ciptaker.
"Kalau terkait substansi, mekanismenya bisa bermacam-macam. Tapi kalau hanya perbaikan redaksional, saya sependapat dengan Prof Yusril, bahwa itu sebenarnya tidak apa-apa langsung koordinasi saja antara pemerintah dan DPR untuk memperbaiki pasal rujukan. Karena itu tidak mengubah substansi dan ruh UU Cipta Kerja," kata pria yang akrab disapa Maman ini kepada wartawan, Rabu (4/11/2020). ( )
Maman menegaskan, karena itu murni hanya karena kesalahan pengetikan, redundant atau pengulangan, sehingga itu murni kesalahan tim dapur. Namun, belum ada keputusan soal hal ini dan pihaknya berharap pemerintah dan DPR bisa membuka komunikasi soal upaya ini.
"Saya malah berharap DPR dan pemerintah ada komunikasi untuk melakukan perbaikan kembali dan mengikuti saran Prof Yusril. Kalau sudah ada perbaikannya kembali diundangkan. Tapi tidak perlu ditandatangani presiden karena tidak mengubah sama sekali yang menjadi napas UU Cipta Kerja. Murni kesalahan pengetikan saja," ujarnya.
Politikus Partai Gerindra ini menjelaskan, proses koreksi ini bisa dilakukan antara DPR dan pemerintah. Sebab, ini murni kesalahan pengetikan karena menyangkut pasal rujukan. Cara ini sudah menjadi semacam konsensi sejak zaman dulu bahwa setelah naskah dikirim ke presiden, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) harus membaca lagi isinya sebelum dintandatangani.
"Nah, terpaksa kekeliruan yang dialami sekarang karena ini pengalaman pertama, ini kesalahan pengetikan, maka kalau dilakukan koreksi seperti pendapat Prof Yusril saya setuju. DPR bersiap melakukan itu, jadi dilakukan koreksi yang kesalahan pengetikan saja kemudian diundangkan tanpa perlu tanda tangan presiden lagi," ujar Maman. ( )
Karena itu, menurut dia, DPR dan pemerintah bisa melakukan itu bersama-sama dan siap mempertanggungjawabkan bahwa mekanisme ini tidak mengubah substansi. "Dan DPR siap melakukan itu dan siap mempertanggungjawabkan bahwa hal tersebut tidak mengubah susbtansi sama sekali dari UU Cipta Kerja. Karena murni kesalahan administrasi saja," ucapnya.
Namun demikian, Maman mengakui bahwa mekanisme ini tidak diatur dalam UU Nomor 11/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Jadi, upaya koreksi ini tinggal menyepakati bahwa tidak boleh ada perubahan setelah ada selesainya rapat paripurna dari sisi substansi. Tapi perbaikan redaksional sudah dilakukan dan sejak dulu seperti itu. Hal ini dilakukan guna mengakhiri polemik karena tidak menyentuh hal substantif.
"Justru kalau diatur secara tegas, kalau kita langgar itu yang bahaya dan tidak boleh. Lalu jangan lupa, konsesi adalah hukum juga," tuturnya.
Maman pun mengakui, bahwa upaya ini kali pertama dilakukan setelah naskah UU diteken Presiden. Biasanya, dilakukan sebelum diteken oleh Presiden. Itulah kenapa Mensesneg harus membaca terlebih dulu.
"Memang kalau untuk setelah ditandatangani presiden, ini baru pertama kalinya dilakukan. Tapi kalau sebelum presiden tanda tangan, hampir semua kok UU seperti itu. Karena mensesneg harus baca dulu. Jadi mekanisme yang namanya perbaikan typo dan sebagainya selalu dilakukan," kata Maman.
Anggota Komisi III DPR ini kembali menegaskan bahwa upaya ini masih bisa dilalukan, karena hanya soal pengetikan dan tidak menyangkut substansi. "Saya kira tidak masalah dilakukan perbaikan," tegasnya. "Ya nanti kami komunikasi dengan pemerintah," kata Maman.
(abd)