PBNU: Tak Ada Konflik yang Disebabkan Agama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lapkesdam) PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, tugas para tokoh agama salah satunya adalah mencegah terjadinya konflik keagamaan.
Menurutnya, setiap kali terjadi konflik keagamaan, semua tokoh agama sepakat untuk menolak bahwa konflik itu disebabkan konflik agama, tapi disebabkan faktor di luar agama. "Baik konflik agama secara langsung atau konflik bukan karena agama, faktornya ada di luar agama karena semua orang meyakini agama adalah seruan kebajikan. Sesuatu yang suci tidak mungkin melahirkan sesuatu yang kotor," ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama Tahun 2020 yang disiarkan secara virtual, Selasa (3/11/2020).
(Baca: Singgung Pemilihan Pengurus, Tito Tak Mau FKUB Dibajak Kelompok Intoleran)
Dikatakan Rumadi, saat ini banyak terjadi konflik keagamaan di Indonesia. Tapi dalam sejarahnya, Indonesia tidak memiliki memori konflik agama. "Meskipun di tempat lain ada sejarah perang Islam dan Kristen, Perang Salib, tapi di Indonesia tidak ada. Ini modal sosial yang luar biasa yang harus kita teruskan," urainya.
Menurutnya, citra dan warna agama sangat ditentukan oleh para tokohnya dalam memberikan pesan keagamaan kepada masyarakat. "Potret keberagamaan yang menyejukkan harus diawali para pemimpin agama, terutama orang-orang yang setiap hari menyampaikan pesan keagamaan misalnya dai, khatib, atau pendeta," katanya.
Dikatakan Rumadi, hal penting adalah bagaimana orang yang mempunyai jalur komunikasi langsung dengan masyarakat awam dalam menentukan karakter beragama harus didorong menjadi orang yang punya karakter moderat, termasuk para guru agama. "Peran mereka sangat penting untuk menjadi atau membentuk potret atau karakter keberagamaan anak didiknya. PR yang sangat penting sekarang adalah menciptakan paham keagamaan yang moderat," urainya.
(Baca: Pernyataan Presiden Prancis Picu Gelombang Protes, Ini Tanggapan PBNU)
Rumadi mengatakan, di era keterbukaan informasi yang luar biasa saat ini, munculnya otoritas-otoritas baru dari kelompok yang sebenarnya dia tidak punya wewenang untuk menyampaikan pesan keagamaan, tapi karena media sosial yang begitu terbuka, kemudian muncul orang-orang yang menjadi rujukan baru dalam beragama.
"Bahayanya adalah kalau orang yang menjadi rujukan baru dalam beragama ini bukan orang-orang yang punya paham moderat, bukan orang-orang yang punya otoritas bicara mengenai agama, itu berbahaya sekali," tuturnya.
Dia mencontohkan ada orang yang baru pindah agama, tiba-tiba menjadi rujukan dan menawarkan agama barunya, sambil mencela agama lamanya. "Itu sesuatu yang sangat berbahaya," tegasnya.
Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida atau Alissa Wahid yang menjadi moderator dalam diskusi itu menambahkan, saat ini kepakaran seseorang kerap mati ditelan oleh orang-orang yang mampu memanfaatkan media sosial dan mengalahkan para pakarnya. "Saya psikolog keluarga, banyak orang-orang yang tidak kuliah psikologi, tapi menawarkan terapi," katanya mencontohkan.
Menurutnya, setiap kali terjadi konflik keagamaan, semua tokoh agama sepakat untuk menolak bahwa konflik itu disebabkan konflik agama, tapi disebabkan faktor di luar agama. "Baik konflik agama secara langsung atau konflik bukan karena agama, faktornya ada di luar agama karena semua orang meyakini agama adalah seruan kebajikan. Sesuatu yang suci tidak mungkin melahirkan sesuatu yang kotor," ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama Tahun 2020 yang disiarkan secara virtual, Selasa (3/11/2020).
(Baca: Singgung Pemilihan Pengurus, Tito Tak Mau FKUB Dibajak Kelompok Intoleran)
Dikatakan Rumadi, saat ini banyak terjadi konflik keagamaan di Indonesia. Tapi dalam sejarahnya, Indonesia tidak memiliki memori konflik agama. "Meskipun di tempat lain ada sejarah perang Islam dan Kristen, Perang Salib, tapi di Indonesia tidak ada. Ini modal sosial yang luar biasa yang harus kita teruskan," urainya.
Menurutnya, citra dan warna agama sangat ditentukan oleh para tokohnya dalam memberikan pesan keagamaan kepada masyarakat. "Potret keberagamaan yang menyejukkan harus diawali para pemimpin agama, terutama orang-orang yang setiap hari menyampaikan pesan keagamaan misalnya dai, khatib, atau pendeta," katanya.
Dikatakan Rumadi, hal penting adalah bagaimana orang yang mempunyai jalur komunikasi langsung dengan masyarakat awam dalam menentukan karakter beragama harus didorong menjadi orang yang punya karakter moderat, termasuk para guru agama. "Peran mereka sangat penting untuk menjadi atau membentuk potret atau karakter keberagamaan anak didiknya. PR yang sangat penting sekarang adalah menciptakan paham keagamaan yang moderat," urainya.
(Baca: Pernyataan Presiden Prancis Picu Gelombang Protes, Ini Tanggapan PBNU)
Rumadi mengatakan, di era keterbukaan informasi yang luar biasa saat ini, munculnya otoritas-otoritas baru dari kelompok yang sebenarnya dia tidak punya wewenang untuk menyampaikan pesan keagamaan, tapi karena media sosial yang begitu terbuka, kemudian muncul orang-orang yang menjadi rujukan baru dalam beragama.
"Bahayanya adalah kalau orang yang menjadi rujukan baru dalam beragama ini bukan orang-orang yang punya paham moderat, bukan orang-orang yang punya otoritas bicara mengenai agama, itu berbahaya sekali," tuturnya.
Dia mencontohkan ada orang yang baru pindah agama, tiba-tiba menjadi rujukan dan menawarkan agama barunya, sambil mencela agama lamanya. "Itu sesuatu yang sangat berbahaya," tegasnya.
Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida atau Alissa Wahid yang menjadi moderator dalam diskusi itu menambahkan, saat ini kepakaran seseorang kerap mati ditelan oleh orang-orang yang mampu memanfaatkan media sosial dan mengalahkan para pakarnya. "Saya psikolog keluarga, banyak orang-orang yang tidak kuliah psikologi, tapi menawarkan terapi," katanya mencontohkan.
(muh)