Mengapresiasi Sikap Presiden Jokowi Atas Krisis Sosial di Perancis
loading...
A
A
A
Abdullah Aufa Fuad
Master Nanotechnology École Centrale de Lyon, Perancis
UNTUK memahami politik domestik Perancis, penting bagi kita mengenal sebuah konsep yang bernama Laïcité. Laïcité adalah konsepsi hasil dari evolusi panjang terkait hubungan Prancis (negara) dengan Gereja. Singkatnya, Laììcitè kerap dipahami juga sebagai Konsep Sekularisme ala Prancis.
Perseteruan, deklarasi, dan revolusi di Prancis adalah sejarah tua, dan penuh duka cita. Oleh karena itu Laïcité adalah konsep yang berkembang dinamis dari waktu ke waktu. Salah satu impact yang dihasilkan dari prinsip Laììcitè adalah bahwa "Tidak ada hal yang Tabu dan Sakral di Prancis".
Maka dalam Hukum Prancis, kebebasan berpendapat (liberté d'expression) sangat dijunjung tinggi. Hal ini teruntuk bagi siapa pun tanpa kecuali, dalam konteks apa pun, termasuk mengkritik Ideologi maupun Agama.
Namun dalam hal yang sama, hasutan kebencian adalah hal yang menyalahi hukum Prancis, termasuk incitation à la haine religieuse atau hasutan kebencian agama. Maka ketika majalah mingguan Charlie Hebdo (CH) mengkarikaturkan Nabi Muhammad SAW, begitu pula ketika CH mengkarikaturkan Paus, meskipun CH bersikukuh bahwa yang dilakukan adalah kritik dalam bentuk humor karikatur namun tak bisa ditampik bahwa baik bagi umat Islam dan juga Katolik, hal ini tidak dapat diterima.
CH bukan kali ini saja berada pada titik kontroversi yang serupa. CH kerap kali diseret ke pengadilan atas ketersinggungan para pihak, dan tak jarang divonis bersalah karena menyerang individu. Namun menariknya, CH tidak pernah divonis bersalah atas ulahnya yang dianggap menghina atau mengolok-olok agama tertentu.
Syahdan, pernyataan Presiden Joko Widodo tempo hari terkait persoalan ini adalah pernyataan yang kokoh, kontekstual, dan bernas. Indonesia mengecam kejadian pemenggalan Samuel Paty dan serangan terhadap gereja di Nice.
Di saat yang sama, Indonesia juga mengecam pernyataan yang melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia. Sebab, kebebasan berekspresi yang menyebarkan hasutan kebencian (incitation à la haine) tidak dapat dibenarkan, baik hasutan kebencian agama ataupun hasutan kebencian terhadap agama. Oleh karena itu, Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi beragama untuk membangun dunia yang lebih baik.
Namun demikian, kita juga perlu memahami, sebagaimana problematika yang menimpa banyak negara di dunia, Macron memang tengah menghadapi persoalan domestik, yakni menjamurnya persebaran séparatisme religieux atau yang belakangan Macron sebut sebagai Terrorisme Islamiste. Maka sejatinya sasaran tembak yang ia arahkan pada pidato yang disampaikan adalah kelompok Islam radikal yang kini kerap mempengaruhi kantong-kantong minoritas Islam di Perancis.
Hanya saja, karena ini menyangkut persoalan keyakinan, yang dalam banyak fenomena tak jarang mengakibatkan pertumpahan darah, seyogyanya Presiden Macron bisa lebih berhati-hati. Macron sudah menyentuh point chaud, "titik rawan" sehingga tergelincir memantik pertikaian antarumat beragama, maka wajar dan logis jika Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara dengan penduduk muslim terbesar, harus mengingatkan dalam bentuk kecaman tegas dan keras. Hal ini pula yang dilakukan oleh banyak pemimpin muslim di banyak negara.
Singkatnya, jika argumentasi yang digunakan adalah Libertè/kebebasan, bukan kah kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain? Ingat, jika kita berkunjung ke kantor-kantor Prancis, prinsip Libertè tidak sendiri melainkan bersama dalam triptyque Libertè, Egalitè, Fraternitè. Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan.
Untuk prinsip yang kedua dan ketiga ini lah kiranya Presiden Macron perlu lebih seimbang menaruh perhatian, sembari kita tetap mendukung keseriusannya dalam menjaga kedaulatan negara (state sovereignty) dari potensi gangguan yang lebih besar dari Terrorisme Religieux.
Lihat Juga: Pemerintah Diminta Cabut Imbauan Siaran Azan Magrib Pakai Running Text saat Misa Paus Fransiskus
Master Nanotechnology École Centrale de Lyon, Perancis
UNTUK memahami politik domestik Perancis, penting bagi kita mengenal sebuah konsep yang bernama Laïcité. Laïcité adalah konsepsi hasil dari evolusi panjang terkait hubungan Prancis (negara) dengan Gereja. Singkatnya, Laììcitè kerap dipahami juga sebagai Konsep Sekularisme ala Prancis.
Perseteruan, deklarasi, dan revolusi di Prancis adalah sejarah tua, dan penuh duka cita. Oleh karena itu Laïcité adalah konsep yang berkembang dinamis dari waktu ke waktu. Salah satu impact yang dihasilkan dari prinsip Laììcitè adalah bahwa "Tidak ada hal yang Tabu dan Sakral di Prancis".
Maka dalam Hukum Prancis, kebebasan berpendapat (liberté d'expression) sangat dijunjung tinggi. Hal ini teruntuk bagi siapa pun tanpa kecuali, dalam konteks apa pun, termasuk mengkritik Ideologi maupun Agama.
Namun dalam hal yang sama, hasutan kebencian adalah hal yang menyalahi hukum Prancis, termasuk incitation à la haine religieuse atau hasutan kebencian agama. Maka ketika majalah mingguan Charlie Hebdo (CH) mengkarikaturkan Nabi Muhammad SAW, begitu pula ketika CH mengkarikaturkan Paus, meskipun CH bersikukuh bahwa yang dilakukan adalah kritik dalam bentuk humor karikatur namun tak bisa ditampik bahwa baik bagi umat Islam dan juga Katolik, hal ini tidak dapat diterima.
CH bukan kali ini saja berada pada titik kontroversi yang serupa. CH kerap kali diseret ke pengadilan atas ketersinggungan para pihak, dan tak jarang divonis bersalah karena menyerang individu. Namun menariknya, CH tidak pernah divonis bersalah atas ulahnya yang dianggap menghina atau mengolok-olok agama tertentu.
Syahdan, pernyataan Presiden Joko Widodo tempo hari terkait persoalan ini adalah pernyataan yang kokoh, kontekstual, dan bernas. Indonesia mengecam kejadian pemenggalan Samuel Paty dan serangan terhadap gereja di Nice.
Di saat yang sama, Indonesia juga mengecam pernyataan yang melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia. Sebab, kebebasan berekspresi yang menyebarkan hasutan kebencian (incitation à la haine) tidak dapat dibenarkan, baik hasutan kebencian agama ataupun hasutan kebencian terhadap agama. Oleh karena itu, Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi beragama untuk membangun dunia yang lebih baik.
Namun demikian, kita juga perlu memahami, sebagaimana problematika yang menimpa banyak negara di dunia, Macron memang tengah menghadapi persoalan domestik, yakni menjamurnya persebaran séparatisme religieux atau yang belakangan Macron sebut sebagai Terrorisme Islamiste. Maka sejatinya sasaran tembak yang ia arahkan pada pidato yang disampaikan adalah kelompok Islam radikal yang kini kerap mempengaruhi kantong-kantong minoritas Islam di Perancis.
Hanya saja, karena ini menyangkut persoalan keyakinan, yang dalam banyak fenomena tak jarang mengakibatkan pertumpahan darah, seyogyanya Presiden Macron bisa lebih berhati-hati. Macron sudah menyentuh point chaud, "titik rawan" sehingga tergelincir memantik pertikaian antarumat beragama, maka wajar dan logis jika Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara dengan penduduk muslim terbesar, harus mengingatkan dalam bentuk kecaman tegas dan keras. Hal ini pula yang dilakukan oleh banyak pemimpin muslim di banyak negara.
Singkatnya, jika argumentasi yang digunakan adalah Libertè/kebebasan, bukan kah kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain? Ingat, jika kita berkunjung ke kantor-kantor Prancis, prinsip Libertè tidak sendiri melainkan bersama dalam triptyque Libertè, Egalitè, Fraternitè. Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan.
Untuk prinsip yang kedua dan ketiga ini lah kiranya Presiden Macron perlu lebih seimbang menaruh perhatian, sembari kita tetap mendukung keseriusannya dalam menjaga kedaulatan negara (state sovereignty) dari potensi gangguan yang lebih besar dari Terrorisme Religieux.
Lihat Juga: Pemerintah Diminta Cabut Imbauan Siaran Azan Magrib Pakai Running Text saat Misa Paus Fransiskus
(dam)