Islam, Budaya, dan Moderasi Beragama

Senin, 05 Februari 2024 - 06:37 WIB
loading...
Islam, Budaya, dan Moderasi Beragama
Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Prof Dr Abd Aziz, M.Pd.I. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Prof Dr Abd Aziz, M.Pd.I
Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

PERHELATAN akbar AICIS kembali digelar. AICIS ke-23 Tahun 2024 ini dilaksanakan di Semarang. Ada banyak makna dan kontribusi penting dari kegiatan tahunan ini bagi pengembangan keilmuan dan kehidupan keberagamaan.

Salah satu hal yang penting untuk dipikirkan bersama adalah relasi antara Islam, budaya, dan moderasi beragama. Pertautan ketiga hal ini penting untuk diperbincangkan karena memiliki peranan yang menentukan terhadap wajah Islam Indonesia.

Relasi Islam dan budaya masih menjadi topik yang memunculkan perbedaan pendapat dari banyak kalangan sejak dulu sampai sekarang. Ada yang berpendapat bahwa agama dan budaya itu dua hal berbeda. Agama harus dibersihkan dari aspek budaya. Kelompok garis keras berada di garda depan model ini.

Ada juga kelompok yang tidak banyak berpikir tentang relasi keduanya. Agama dan budaya saling berkait-kelindan tanpa bisa dibedakan. Penganut kelompok ini lebih mengedepankan rasio dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan dalam merespon dinamika kehidupan yang kompleks.

Dalam pandangan penulis, agama dan budaya itu dua hal yang berbeda, namun tidak untuk dipertentangkan. Ada irisan titik temunya. Inilah model moderat yang menerima budaya secara kritis. Budaya yang baik dan sejalan dengan ajaran agama dikonstruksi menjadi identitas keberislaman.

Realitas perbedaan pendapat ini sesungguhnya menunjukkan bahwa persoalan ini sangat penting karena menjadi penentu corak Islam yang dianut dan diekspresikan. AICIS menjadi momentum yang tepat untuk membangun pemahaman kritis terhadap relasi ini. Hal ini penting dan signifikan di tengah gejala dogmatis-fanatis yang belakangan semakin menguat, khususnya dalam momentum politik di tahun.

Ada beberapa ciri yang bisa diidentifikasi terkait gejala dogmatis-fanatis ini. Pertama, merasa sebagai yang paling benar, khususnya dalam pemahaman agama. Ini berbahaya terutama ketika digunakan sebagai cara pandang yang dipaksakan kepada orang lain.

Kedua, pemahaman yang dianut mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan, termasuk relasi dengan sesama. Kelompok penganut dogmatis-fanatis rentan memicu konflik karena tidak memiliki ruang toleransi dalam sudut pandang pemikirannya.

Ketiga, dinamika kehidupan itu cukup kompleks. Perspektif yang hitam putih mereduksi terhadap realitas yang seungguhnya sangat kaya warna. Permusuhan bisa terjadi karena tidak bisa memahami dan mengapresiasi terhadap realitas yang penuh warna.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1165 seconds (0.1#10.140)