Jelang Pencoblosan Pilkada Serentak, Netralitas ASN Makin Disorot
loading...
A
A
A
Menurut Ujang, para bupati atau wali kota petahana umumnya menggunakan peran kepala dinas, lurah, camat, dan para ASN untuk kampanye di belakang layar sebagai tim sukses bayangan. “Itu dilakukan semua kepala daerah, dan itu bukan rahasia umum lagi. Jadi, kalau sanksinya hanya teguran, mereka akan tutup mata saja. Mereka tidak akan mengindahkan,” katanya. (Baca juga: Usai Liburan, Kembali Bugar dengan Olahraga Ringan)
Ujang menekankan, seharusnya KPU lewat PKPU membuat aturan mendiskualifikasi calon kepala daerah yang melibatkan ASN dalam proses pemenangan. “Tapi, kalau levelnya hanya di KPU, itu lemah. Harusnya aturan itu masuk UU. Kalau UU lebih enak. Para penyelenggara pemilu, KPU, dan Bawaslu tinggal mengeksekusi,” tuturnya.
Ujang mengatakan, sanksi yang tidak tegas selama ini juga menjadi celah bagi mereka untuk bermain. “Di Indonesia itu hukumnya bisa dimainkan, tebang pilih sehingga mereka bisa menyiasati aturan itu. Seharusnya netral, tapi tidak netral karena hukumnya tidak tegas dan bisa dimainkan, bisa diatur. Ini yang berbahaya,” pungkasnya.
Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengakui netralitas ASN selalu menjadi sorotan dalam pemilu ataupun pilkada. Hal ini menjadi bukti bahwa banyak pihak menginginkan netralitas ASN ini semakin terjaga. “Jangan lagi ada cerita dan berita ASN dijadikan alat untuk mendulang suara,” ujar Zulfikar.
Politikus Partai Golkar ini menginginkan setiap pemilu ataupun pilkada dilakukan secara kompetitif, setara, dan fair sehingga legitimasinya tinggi, baik dari sisi proses maupun hasil. “Semua pihak menerima dengan legawa dan pemimpin yang terpilih semakin akuntabel dan responsif untuk memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakat,” katanya. (Baca juga: 7 Provinsi Tercatat Nihil Penambahan Kasus Corona)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mengakui pelanggaran netralitas ASN masih terjadi. Dia membeberkan hasil survei KASN penyebab terjadi pelanggaran netralitas. “Penyebab pelanggaran netralitas ASN yang paling dominan adalah adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/materi/proyek 43,4%,” kata Tjahjo dalam Webminar Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak akhir pekan lalu.
Politikus PDIP ini menyebut, gangguan netralitas justru datang dari individu ASN, bukan secara kelembagaan. Dia menduga masih banyak ASN yang gagal paham terkait masalah netralitas ini. Satu di antaranya berkaitan dengan sulitnya menjaga netralitas karena di posisi mana pun akan sulit.
“Banyak ASN yang masih gagal paham, salah paradigma, dan memiliki pola pikir (mindset dan cultureset-nya) yang belum tepat. Mereka selalu berdalih posisi ASN itu dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena. Barangkali sebenarnya tidak demikian karena aturannya sudah jelas,” tuturnya. (Baca juga: Anvaman Pengusaha ke Buruh, Pilih PHK apa Upah Naik!)
Kemudian pemikiran ingin berkarier dengan cara yang mudah, dengan menggunakan perkoncoan, harus berkeringat, harus dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah. Padahal, sebetulnya yang dibutuhkan bukan ASN yang berkeringat, yang dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah, melainkan yang berpikir. “Potensi tersebut juga datang dari perilaku budaya birokrasi masa lalu,” tutupnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan menyebut temuan Bawaslu terkait pelanggaran netralitas ASN mencapai 790 orang. Di mana laporan yang berasal dari masyarakat sebanyak 64. “Dari temuan tersebut yang sudah direkomendasikan kepada KASN sebanyak 767 kasus. Di mana 87 kasus di antaranya bukan pelanggaran,” kata Abhan.
Ujang menekankan, seharusnya KPU lewat PKPU membuat aturan mendiskualifikasi calon kepala daerah yang melibatkan ASN dalam proses pemenangan. “Tapi, kalau levelnya hanya di KPU, itu lemah. Harusnya aturan itu masuk UU. Kalau UU lebih enak. Para penyelenggara pemilu, KPU, dan Bawaslu tinggal mengeksekusi,” tuturnya.
Ujang mengatakan, sanksi yang tidak tegas selama ini juga menjadi celah bagi mereka untuk bermain. “Di Indonesia itu hukumnya bisa dimainkan, tebang pilih sehingga mereka bisa menyiasati aturan itu. Seharusnya netral, tapi tidak netral karena hukumnya tidak tegas dan bisa dimainkan, bisa diatur. Ini yang berbahaya,” pungkasnya.
Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengakui netralitas ASN selalu menjadi sorotan dalam pemilu ataupun pilkada. Hal ini menjadi bukti bahwa banyak pihak menginginkan netralitas ASN ini semakin terjaga. “Jangan lagi ada cerita dan berita ASN dijadikan alat untuk mendulang suara,” ujar Zulfikar.
Politikus Partai Golkar ini menginginkan setiap pemilu ataupun pilkada dilakukan secara kompetitif, setara, dan fair sehingga legitimasinya tinggi, baik dari sisi proses maupun hasil. “Semua pihak menerima dengan legawa dan pemimpin yang terpilih semakin akuntabel dan responsif untuk memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakat,” katanya. (Baca juga: 7 Provinsi Tercatat Nihil Penambahan Kasus Corona)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mengakui pelanggaran netralitas ASN masih terjadi. Dia membeberkan hasil survei KASN penyebab terjadi pelanggaran netralitas. “Penyebab pelanggaran netralitas ASN yang paling dominan adalah adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/materi/proyek 43,4%,” kata Tjahjo dalam Webminar Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak akhir pekan lalu.
Politikus PDIP ini menyebut, gangguan netralitas justru datang dari individu ASN, bukan secara kelembagaan. Dia menduga masih banyak ASN yang gagal paham terkait masalah netralitas ini. Satu di antaranya berkaitan dengan sulitnya menjaga netralitas karena di posisi mana pun akan sulit.
“Banyak ASN yang masih gagal paham, salah paradigma, dan memiliki pola pikir (mindset dan cultureset-nya) yang belum tepat. Mereka selalu berdalih posisi ASN itu dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena. Barangkali sebenarnya tidak demikian karena aturannya sudah jelas,” tuturnya. (Baca juga: Anvaman Pengusaha ke Buruh, Pilih PHK apa Upah Naik!)
Kemudian pemikiran ingin berkarier dengan cara yang mudah, dengan menggunakan perkoncoan, harus berkeringat, harus dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah. Padahal, sebetulnya yang dibutuhkan bukan ASN yang berkeringat, yang dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah, melainkan yang berpikir. “Potensi tersebut juga datang dari perilaku budaya birokrasi masa lalu,” tutupnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan menyebut temuan Bawaslu terkait pelanggaran netralitas ASN mencapai 790 orang. Di mana laporan yang berasal dari masyarakat sebanyak 64. “Dari temuan tersebut yang sudah direkomendasikan kepada KASN sebanyak 767 kasus. Di mana 87 kasus di antaranya bukan pelanggaran,” kata Abhan.