Jelang Pencoblosan Pilkada Serentak, Netralitas ASN Makin Disorot

Selasa, 03 November 2020 - 08:08 WIB
loading...
Jelang Pencoblosan Pilkada...
Netralitas ASN menjadi sorotan mendekati hari pencoblosan pilkada pada 9 Desember mendatang. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi sorotan mendekati hari pencoblosan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember mendatang. Sebagai mesin birokrasi pemerintah, para ASN dipandang memiliki andil besar dalam kemenangan calon kepala daerah.



Pada sebagian masyarakat terutama di daerah, ASN dipandang sebagai orang terhormat, punya ketokohan, dan informasi mengenai calon-calon kepala daerah. Karena itu, merayu ASN adalah salah satu strategi yang sering dilakukan calon kepala daerah. (Baca: Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya)

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengaku telah mengeluarkan surat teguran kepada 66 kepala daerah lantaran tidak memberikan sanksi kepada pegawai negeri yang melanggar asas netralitas ASN sebagaimana rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Kemendagri pun memberikan waktu tiga hari untuk segera menindaklanjuti rekomendasi sanksi tersebut sesuai PP Nomor 12/2017. Kepala daerah yang tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut akan dikenakan sanksi, mulai dari sanksi moral hingga disiplin.

Inspektur Jenderal Kemendagri Tumpak Haposan Simanjuntak mengatakan, sampai tanggal 26 Oktober 2020 terdapat 131 rekomendasi KASN kepada 67 kepala daerah yang belum ditindaklanjuti. Sebanyak 10 gubernur belum menindaklanjuti 16 rekomendasi, 48 bupati belum menindaklanjuti 104 rekomendasi, dan 9 wali kota belum menindaklanjuti 11 rekomendasi.

“Teguran kepada para kepala daerah disampaikan sebagai tindak lanjut Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020,” ungkap Tumpak. (Baca: Ribuan Formasi CPNS Kosong, Ini Langkah Kemendikbud)

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, netralitas ASN selama ini hanya di atas kertas. Faktanya, ASN mulai eselon II, sekda, kepala dinas, maupun di bawahnya baik di kabupaten/kota, termasuk di tingkat provinsi, bermain di wilayah politis dan merupakan hal yang biasa. “Walaupun aturan netralitas itu sangat keras dalam UU dan pengawasan banyak, tapi fakta dan bukti mengatakan bahwa ASN main di belakang layar menjadi tim sukses bayangan, tidak struktural,” ucap Ujang.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini mengungkapkan, dukung-mendukung yang dilakukan para kepala daerah dan ASN dilakukan karena ada jasa dari para calon kepala daerah terhadap birokrasi. Kemudian masa depan mereka yang punya jabatan tergantung calon yang menang. Karena itu, keberpihakan terhadap salah satu calon kepala daerah sebuah “keharusan dan keniscayaan”.

“Walaupun aturannya tidak boleh, mereka akan tetap bermain karena terkait dengan masa depan karier mereka. Karena itu, saya menilai perihal teguran dari Kemendagri tidak bermanfaat,” tandasnya.

Menurut Ujang, para bupati atau wali kota petahana umumnya menggunakan peran kepala dinas, lurah, camat, dan para ASN untuk kampanye di belakang layar sebagai tim sukses bayangan. “Itu dilakukan semua kepala daerah, dan itu bukan rahasia umum lagi. Jadi, kalau sanksinya hanya teguran, mereka akan tutup mata saja. Mereka tidak akan mengindahkan,” katanya. (Baca juga: Usai Liburan, Kembali Bugar dengan Olahraga Ringan)

Ujang menekankan, seharusnya KPU lewat PKPU membuat aturan mendiskualifikasi calon kepala daerah yang melibatkan ASN dalam proses pemenangan. “Tapi, kalau levelnya hanya di KPU, itu lemah. Harusnya aturan itu masuk UU. Kalau UU lebih enak. Para penyelenggara pemilu, KPU, dan Bawaslu tinggal mengeksekusi,” tuturnya.

Ujang mengatakan, sanksi yang tidak tegas selama ini juga menjadi celah bagi mereka untuk bermain. “Di Indonesia itu hukumnya bisa dimainkan, tebang pilih sehingga mereka bisa menyiasati aturan itu. Seharusnya netral, tapi tidak netral karena hukumnya tidak tegas dan bisa dimainkan, bisa diatur. Ini yang berbahaya,” pungkasnya.

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengakui netralitas ASN selalu menjadi sorotan dalam pemilu ataupun pilkada. Hal ini menjadi bukti bahwa banyak pihak menginginkan netralitas ASN ini semakin terjaga. “Jangan lagi ada cerita dan berita ASN dijadikan alat untuk mendulang suara,” ujar Zulfikar.

Politikus Partai Golkar ini menginginkan setiap pemilu ataupun pilkada dilakukan secara kompetitif, setara, dan fair sehingga legitimasinya tinggi, baik dari sisi proses maupun hasil. “Semua pihak menerima dengan legawa dan pemimpin yang terpilih semakin akuntabel dan responsif untuk memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakat,” katanya. (Baca juga: 7 Provinsi Tercatat Nihil Penambahan Kasus Corona)

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mengakui pelanggaran netralitas ASN masih terjadi. Dia membeberkan hasil survei KASN penyebab terjadi pelanggaran netralitas. “Penyebab pelanggaran netralitas ASN yang paling dominan adalah adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/materi/proyek 43,4%,” kata Tjahjo dalam Webminar Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak akhir pekan lalu.

Politikus PDIP ini menyebut, gangguan netralitas justru datang dari individu ASN, bukan secara kelembagaan. Dia menduga masih banyak ASN yang gagal paham terkait masalah netralitas ini. Satu di antaranya berkaitan dengan sulitnya menjaga netralitas karena di posisi mana pun akan sulit.

“Banyak ASN yang masih gagal paham, salah paradigma, dan memiliki pola pikir (mindset dan cultureset-nya) yang belum tepat. Mereka selalu berdalih posisi ASN itu dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena. Barangkali sebenarnya tidak demikian karena aturannya sudah jelas,” tuturnya. (Baca juga: Anvaman Pengusaha ke Buruh, Pilih PHK apa Upah Naik!)

Kemudian pemikiran ingin berkarier dengan cara yang mudah, dengan menggunakan perkoncoan, harus berkeringat, harus dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah. Padahal, sebetulnya yang dibutuhkan bukan ASN yang berkeringat, yang dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah, melainkan yang berpikir. “Potensi tersebut juga datang dari perilaku budaya birokrasi masa lalu,” tutupnya.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan menyebut temuan Bawaslu terkait pelanggaran netralitas ASN mencapai 790 orang. Di mana laporan yang berasal dari masyarakat sebanyak 64. “Dari temuan tersebut yang sudah direkomendasikan kepada KASN sebanyak 767 kasus. Di mana 87 kasus di antaranya bukan pelanggaran,” kata Abhan.

Dia membeberkan, tren pelanggaran kampanye pada Pilkada Serentak 2020. Tren tertinggi pelanggaran netralitas ASN adalah pemberian dukungan melalui media sosial (medsos) maupun media massa sebanyak 319 kasus.

ASN menghadiri/mengikuti acara silaturahmi/sosialisasi/bakti sosial bakal paslon/parpol sebanyak 117 kasus. ASN melakukan pendekatan/ mendaftarkan diri pada salah satu parpol 101 kasus. “ASN mendukung salah satu bakal calon 70 kasus. ASN mendeklarasikan diri sebagai bakal calon kepala daerah 44 kasus. ASN sosialisasi bakal calon melalui APK 38 kasus. ASN mempromosikan diri sendiri atau orang lain 26 kasus,” sebutnya. (Lihat videonya: Guberur DKI Umumkan Kenaikan UMP 2021 di Tengah Pandemi)

Selanjutnya ASN melanggar asas netralitas yakni diduga berpihak di dalam pemilihan 17 kasus. ASN mendaftarkan diri sebagai bakal calon perseorangan 11 kasus. ASN mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu calon 10 kasus. Kemudian ASN mendampingi bakal calon melakukan pendaftaran dan fit and proper test 7 kasus.

Abhan mengingatkan bahwa ada beberapa dampak negatif dari pelanggaran netralitas ini. Di antaranya akan sulit dipisahkan kapan ASN bertindak sebagai aparatur negara dan bertindak sebagai masyarakat yang memiliki hak suara dalam pilkada. “Program pemerintah dapat berubah menjadi instrumen reward and punishment kepada masyarakat. Timbul diskriminasi dalam pelayanan. Misalnya di daerah basis pendukungnya dia, maka pelayanannya baik. Timbul simbiosis mutualisme antara ASN dengan partai sehingga pemerintahan tidak terkontrol. Terakhir timbul korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tuturnya. (Dita Angga/Abdul Rochim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1513 seconds (0.1#10.140)