Persoalkan Definisi Pohon, Terdakwa Perkara Ganja Gugat UU Narkotika ke MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ardian Aldiano, seorang terdakwa perkara narkoba di Pengadilan Negeri Surabaya mengajukan uji materi atas penjelasan dua pasal dalam UU Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Pasal 111 dan Pasal 144.
Gugatan yang diajukan berkaitan dengan definisi "pohon" dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika. Sementara penjelasan kedua pasal tersebut hanya mencantumkan frasa ”cukup jelas”.
Singgih Tomi Gumilang sebagai kuasa pemohon mengungkapkan, Ardian menjadi terdakwa karena kedapatan menanam 27 tanaman ganja yang hidup secara hidroponik dengan bertujuan untuk dikonsumsi sendiri dengan cara dibakar biasa seperti rokok. "Untuk mengobati sakit kejang yang diderita Pemohon," kata Singgih dalam sidang di MK, Senin (2/11/2020).
(Baca: Gugatan Sudah Masuk Pengadilan, Ilham Bintang Dapat Dukungan)
Awalnya Ardian tidak kecanduan ganja. Tapi karena terpaksa mengisap ganja karena ingin mengobati kejang, dia pun akhirnya menjadi pecandu aktif. Menurut Singgih, Ardian sangat ingin pulih dari kecanduannya. Dia bergabung mengikuti rehabilitasi narkotika di Yayasan Garuda Gandrung Satria (Yayasan GAGAS).
"Pemohon mengalami kerugian konstitusional yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, akibat tidak adanya definisi yang jelas mengenai kata ‘pohon’ pada Penjelasan Pasal 111 dan Penjelasan Pasal 114 UU a quo," tuturnya.
Singgih menjelaskan, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang bersifat spesifik dan aktual tersebut, adalah dengan tidak dicantumkannya Pasal 128 UU Narkotika yang menjamin warga negara Indonesia yang sedang dalam dua kali masa perawatan pada lembaga rehabilitasi medis dan sosial, tidak dituntut pidana.
Frasa ”cukup jelas” pada penjelasan Pasal 111 dan 114 UU Narkotika juga merugikan kliennya. Sebab, kata Singgih, Ardian menanam ganja tinggi minumum 3 sentimeter hingga tinggi maksimum 40 sentimeter. “Cukup Jelas” mengakibatkan definisi ”pohon” yang diatur dalam pasal 111 dan 114 menjadi multi-tafsir. Yang dimaksud dengan multi-tafsir di sini, kata Singgih, adalah bahwa tanaman ganja dengan tinggi 0,5 sentimeter hinga tanaman ganja dengan tinggi 5 meter pun dapat dimaknai aparat penegak hukum sebagai pohon.
(Baca: Dua Hakim Adhoc Pengadilan Tipikor Gugat Masa Jabatan ke MK)
"Akan menjadi pasal karet untuk mengkategorisasikan tanaman dengan tinggi beberapa sentimeter pun sebagai pohon. Sehingga hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi diri pemohon menjadi hilang," tegas Singgih.
Karena dalam gugatannya Ardian meminta agar hakim MK menyatakan penjelasan Pasal 111 dan Pasal 114 UU Narkotika soal kata pohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai bahwa pohon adalah tumbuhan yang mempunyai akar, batang, dan tajuk yang jelas dengan tinggi minimum 5 meter.
Lihat Juga: Alexander Marwata Gugat Pasal Larangan Pimpinan KPK Berhubungan dengan Pihak Berperkara ke MK
Gugatan yang diajukan berkaitan dengan definisi "pohon" dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika. Sementara penjelasan kedua pasal tersebut hanya mencantumkan frasa ”cukup jelas”.
Singgih Tomi Gumilang sebagai kuasa pemohon mengungkapkan, Ardian menjadi terdakwa karena kedapatan menanam 27 tanaman ganja yang hidup secara hidroponik dengan bertujuan untuk dikonsumsi sendiri dengan cara dibakar biasa seperti rokok. "Untuk mengobati sakit kejang yang diderita Pemohon," kata Singgih dalam sidang di MK, Senin (2/11/2020).
(Baca: Gugatan Sudah Masuk Pengadilan, Ilham Bintang Dapat Dukungan)
Awalnya Ardian tidak kecanduan ganja. Tapi karena terpaksa mengisap ganja karena ingin mengobati kejang, dia pun akhirnya menjadi pecandu aktif. Menurut Singgih, Ardian sangat ingin pulih dari kecanduannya. Dia bergabung mengikuti rehabilitasi narkotika di Yayasan Garuda Gandrung Satria (Yayasan GAGAS).
"Pemohon mengalami kerugian konstitusional yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, akibat tidak adanya definisi yang jelas mengenai kata ‘pohon’ pada Penjelasan Pasal 111 dan Penjelasan Pasal 114 UU a quo," tuturnya.
Singgih menjelaskan, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang bersifat spesifik dan aktual tersebut, adalah dengan tidak dicantumkannya Pasal 128 UU Narkotika yang menjamin warga negara Indonesia yang sedang dalam dua kali masa perawatan pada lembaga rehabilitasi medis dan sosial, tidak dituntut pidana.
Frasa ”cukup jelas” pada penjelasan Pasal 111 dan 114 UU Narkotika juga merugikan kliennya. Sebab, kata Singgih, Ardian menanam ganja tinggi minumum 3 sentimeter hingga tinggi maksimum 40 sentimeter. “Cukup Jelas” mengakibatkan definisi ”pohon” yang diatur dalam pasal 111 dan 114 menjadi multi-tafsir. Yang dimaksud dengan multi-tafsir di sini, kata Singgih, adalah bahwa tanaman ganja dengan tinggi 0,5 sentimeter hinga tanaman ganja dengan tinggi 5 meter pun dapat dimaknai aparat penegak hukum sebagai pohon.
(Baca: Dua Hakim Adhoc Pengadilan Tipikor Gugat Masa Jabatan ke MK)
"Akan menjadi pasal karet untuk mengkategorisasikan tanaman dengan tinggi beberapa sentimeter pun sebagai pohon. Sehingga hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi diri pemohon menjadi hilang," tegas Singgih.
Karena dalam gugatannya Ardian meminta agar hakim MK menyatakan penjelasan Pasal 111 dan Pasal 114 UU Narkotika soal kata pohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai bahwa pohon adalah tumbuhan yang mempunyai akar, batang, dan tajuk yang jelas dengan tinggi minimum 5 meter.
Lihat Juga: Alexander Marwata Gugat Pasal Larangan Pimpinan KPK Berhubungan dengan Pihak Berperkara ke MK
(muh)