Dana Nasabah WanaArtha Tak Bisa Begitu Saja Disita
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kejaksaan dinilai semestinya berhati-hati membekukan atau menyita rekening berbagai pihak dalam kasus korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Jiwasraya .
Penyitaan atau pembekuan harus dibarengi dengan kejelasan keterkaitan. Menurut pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Ganarsih, penegak hukum harus memberi status yang jelas kepada pihak ketiga dalam hal rekening WanaArtha. Tidak begitu saja penyidik tak bisa menyita bahkan membekukan dana nasabah.
“Sepengetahuan saya, WanaArtha sempat keberatan soal pembekuan rekening mereka, karena ada uang nasabah dan uang WanaArta sendiri. Nah, kalau memang ada uang Benny Tjokro di sana, ya uang dia saja yang dibekukan (kejaksaan),” tuturnya kepada wartawan, Rabu (28/10/2020).
Dia menambahkan, jika seandainya penyidik punya bukti, uang hasil kejahatan Benny dimasukkan ke WanaArtha, maka harus ditelusuri, diblokir atau dibekukan sesuai perhitungan itu.
“Apalagi penyitaan di perusahaan harusnya penyidik hati-hati, kalau semuanya, bisa jadi collaps, bisa ada PHK, memang kalau TPPU harus lebih hati-hati dibanding kasus korupsi. Ada transaksi tanggal sekian sampai tanggal sekian, pada tahun itu, ya itu saja yang dibekukan,” tutur Yenti.
(Baca: Ganjar Ungguli Prabowo dan Anies, Puan-Muhaimin Urutan Buncit)
Yenti berpendapat, apabila uang yang ditelusuri bercampur dengan uang yang sah, sebenarnya di industri keuangan bisa dihitung. “Harus sesuai dengan jumlahnya itu, termasuk bunganya misalnya. Jadi harus melindungi juga pihak ketiga yang beritikad baik dan mendukung penegakan hukum. Ini yang juga menjadi pelajaran,” tuturnya.
Dia mengaku heran dengan isi tuntutan jaksa dalam kasus Jiwasraya. Dalam kasus ini, Benny dituntut hukuman penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan. (Baca juga: Legislator PAN Meyakini UU Ciptaker Tak Bikin Masyarakat Sulit)
Selain itu, JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 6,078 triliun. “Sudah ada denda Rp5 miliar, lalu ada pidana tambahan Rp6 triliun, itu kenapa ada subsidiernya, sementara pidana tambahannya sudah Rp6 triliun. Apakah Jaksa takut vonis hakim tidak seumur hidup atau bagaimana? Ini seperti semena-mena juga,” ujarnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, sebelumnya juga meminta majelis hakim melihat secara adil kasus tersebut. Fakta dan peristiwa hukum, termasuk keterangan para saksi meringankan dan memberatkan, serta pleidoi terdakwa dan penasihat hukum juga harus menjadi pertimbangan.
"Ini (penyitaan rekening WanaArtha dan lainnya-red) termasuk akan jadi bagian apa yang akan diputus. Karena pemblokiran atau yang dilihat langkah hukum kejaksaan, nanti akan dilihat hakim. Apakah itu betul uang negara atau Jiwasraya atau uang pihak lain ini akan jadi bagian yang akan diadili oleh hakim," ujarnya.
Lihat Juga: Usul Bentuk Panja Kasus Tom Lembong, Anggota DPR: Jangan Sampai Ada Anggapan Rezim Ini Membalas Dendam
Penyitaan atau pembekuan harus dibarengi dengan kejelasan keterkaitan. Menurut pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Ganarsih, penegak hukum harus memberi status yang jelas kepada pihak ketiga dalam hal rekening WanaArtha. Tidak begitu saja penyidik tak bisa menyita bahkan membekukan dana nasabah.
“Sepengetahuan saya, WanaArtha sempat keberatan soal pembekuan rekening mereka, karena ada uang nasabah dan uang WanaArta sendiri. Nah, kalau memang ada uang Benny Tjokro di sana, ya uang dia saja yang dibekukan (kejaksaan),” tuturnya kepada wartawan, Rabu (28/10/2020).
Dia menambahkan, jika seandainya penyidik punya bukti, uang hasil kejahatan Benny dimasukkan ke WanaArtha, maka harus ditelusuri, diblokir atau dibekukan sesuai perhitungan itu.
“Apalagi penyitaan di perusahaan harusnya penyidik hati-hati, kalau semuanya, bisa jadi collaps, bisa ada PHK, memang kalau TPPU harus lebih hati-hati dibanding kasus korupsi. Ada transaksi tanggal sekian sampai tanggal sekian, pada tahun itu, ya itu saja yang dibekukan,” tutur Yenti.
(Baca: Ganjar Ungguli Prabowo dan Anies, Puan-Muhaimin Urutan Buncit)
Yenti berpendapat, apabila uang yang ditelusuri bercampur dengan uang yang sah, sebenarnya di industri keuangan bisa dihitung. “Harus sesuai dengan jumlahnya itu, termasuk bunganya misalnya. Jadi harus melindungi juga pihak ketiga yang beritikad baik dan mendukung penegakan hukum. Ini yang juga menjadi pelajaran,” tuturnya.
Dia mengaku heran dengan isi tuntutan jaksa dalam kasus Jiwasraya. Dalam kasus ini, Benny dituntut hukuman penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan. (Baca juga: Legislator PAN Meyakini UU Ciptaker Tak Bikin Masyarakat Sulit)
Selain itu, JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 6,078 triliun. “Sudah ada denda Rp5 miliar, lalu ada pidana tambahan Rp6 triliun, itu kenapa ada subsidiernya, sementara pidana tambahannya sudah Rp6 triliun. Apakah Jaksa takut vonis hakim tidak seumur hidup atau bagaimana? Ini seperti semena-mena juga,” ujarnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, sebelumnya juga meminta majelis hakim melihat secara adil kasus tersebut. Fakta dan peristiwa hukum, termasuk keterangan para saksi meringankan dan memberatkan, serta pleidoi terdakwa dan penasihat hukum juga harus menjadi pertimbangan.
"Ini (penyitaan rekening WanaArtha dan lainnya-red) termasuk akan jadi bagian apa yang akan diputus. Karena pemblokiran atau yang dilihat langkah hukum kejaksaan, nanti akan dilihat hakim. Apakah itu betul uang negara atau Jiwasraya atau uang pihak lain ini akan jadi bagian yang akan diadili oleh hakim," ujarnya.
Lihat Juga: Usul Bentuk Panja Kasus Tom Lembong, Anggota DPR: Jangan Sampai Ada Anggapan Rezim Ini Membalas Dendam
(dam)