Milenial Kecewa Demokrasi lantaran Pemerintahan Gagap Digitalisasi

Selasa, 27 Oktober 2020 - 00:02 WIB
loading...
Milenial Kecewa Demokrasi...
Ada gap yang besar antara generasi milenial dengan pemerintahan yang masih dikuasi pola pikir lama sehingga mereka kecewa terhadap demokrasi. Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Turunnya kualitas demokrasi di berbagai negara termasuk Indonesia tak lepas dari kekecewaan kalangan milenial atau kelompok usia muda terhadap pemerintah. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya.

Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Wawan Sobari menilai kekecewaan milenial itu bukan hanya dilatari karena ruang pendapatnya seakan dibatasi atau tidak bisa menyampaikan pendapatnya. Di sisi lain, kondisi itu juga ditengarai karena negara tidak bisa secepat merespons perubahan ke era digitalisasi saat ini.

“Mengadaptasi digitalisasi itu ternyata tidak mudah bagi negara. Penyelenggara negara ini bisa dibilang ada gap generasi. Pak Jokowi usianya sudah 50an, tapi master mind-nya sudah di atas 60-70 tahun seperti LBP (Luhut Binsar Panjaitan), Mahfud MD, dan lainnya. Jadi mindset-nya agak berbeda terhadap digital,” ujarnya kepada SINDOnews, Senin (26/10/2020).

(Baca: Kekecewaan Milenial terhadap Demokrasi adalah Senjakala Parpol)

Generasi milenial, lanjut Wawan, sangat identik dengan ruang digital. Saat ini gelombang digitalisasi sangat kuat yang memberikan ruang ekspresi dan eksibisi yang sangat besar.

Problem lain, lanjut Wawan, yaitu dari sisi etika politik. Golongan yang sudah relatif senior ingin tetap ada unggah-ungguh politik. Sementara, karakter kalangan milenial lebih ingin lugas atau to the point.

Tidak hanya di Indonesia, di banyak negara juga terjadi demikian. Secara global, 57,5 persen masyarakat dunia sudah kecewa dengan demokrasi. Angka ini mengalami peningkatan 10 persen bila dibandingkan dengan pertengahan 1990-an. Tren peningkatan ketidakpuasan terhadap demokrasi menyebar di seluruh dunia, baik di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Afrika, Timur Tengah maupun Asia.

Penelitian yang dilakukan University of Cambridge melalui jajak pendapat di 160 negara dengan 4,8 juta responden mengungkapkan generasi milenial kurang puas dan kurang merasakan manfaat kinerja demokrasi.

(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)

Di Indonesia, penelitian itu menilai demokrasi mengalami transisi sejak pengunduran diri Soeharto pada 1998. Namun liberalisasi politik mengalami tantangan konflik etnik dan sektarian.

Di digitalisasi saat ini, Wawan menilai kondisi itu turut dilatari karena kegagapan terhadap politik digital. Fenomena tersebut dipicu ketika otoritas ditantang untuk menghadapi perubahan yang begitu cepat.

”Ini yang kemudian tidak seaspirasi antara milenial dengan yang saat ini berkuasa. Revolusi digital belum mampu menyentuh, menyadarkan untuk melakukan perubahan yang besar pemerintahan,” terang dia.

Pemerintah dihadapkan dengan generasi milenial yang sangat ekspresif dan mengandalkan teknologi digital. Di sisi lain, pemerintah tetap berpegang model tatanan atau sistem yang konvensional. Ketika ekspresi itu tidak sesuai dengan norma atau etika, pemerintah bisa menetapkan pasal tertentu melalui UU ITE.

“Ini ajang evaluasi bagi pemerintah untuk merevisi UU ITE. Misalnya, seberapa besar sih yang dikatakan sebagai pelanggaran, sanksi, tindakan maladministratif dari praktik-praktik digital,” tandasnya.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1410 seconds (0.1#10.140)