PDIP Akui Terjadi Resesi Demokrasi di ASEAN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rilis survei Indikator Politik Indonesia yang bertajuk "Politik, Demokrasi dan Pilkada di Era Pandemi" memotret bahwa, kebebasan berdemokrasi di Indonesia semakin tidak demokratis di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang memasuki periode kedua ini.
(Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Berunjuk Rasa)
Menanggapi hal itu, Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan, akan lebih adil jika dilakukan perbandingan terkait kebebasan demokrasi. Karena, posisinya saat ini dirinya sebagai Board Member ASEAN Parliamentarian for Human Rights (APHR), sehingga ia bisa melihat dari situasi di ASEAN.
(Baca juga: Perjuangan Jadi Mahasiswa: Jangan Pikirkan Hasil Terburuk!)
"Apa yang disebut dengan resesi demokrasi itu memang benar terjadi. Tapi ternyata Indonesia is not as bad as others gitu ya, terutama ketika Kamboja tiba-tiba membatalkan pemilu, dan bahkan membubarkan oposisi," kata Eva secara daring, Minggu (25/10/2020).
"Sehingga kita fokus advokasi untuk membela empi-empi dan juga parpol yang tiba-tiba ditutup karena menang itu. Demikian juga di Myanmar dan seterusnya. Jadi, ya memang terjadi kemunduran ataupun tidak sebebas dulu dalam melakukan ekspresi individu ya," tambahnya.
Tapi, sambung Eva, jangan lupa juga bahwa saat ini dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 dan ini merupakan faktor yang signifikan dan kemudian berdampak juga kepada bagaimana orang berpersepsi, khususnya tentang beberapa pertanyaaan terkait dengan pandemi.
Temuan APHT yang terakhir misalnya, dalam masa pandemi ini ternyata para perempuan itu berada di lapis paling rentan, karena KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) naik 30%, dan perkawinan anak juga naik 30% lebih.
"Dan kebebasan beragama yang paling terpukul adalah kelompok minoritas dan itu tampaknya yang mempengaruhi kenapa perempuan merasa enggak nyaman dengan temuan ini persis ya saya bisa bayangkan," ujar Eva.
Menurut Eva, memburuknya situasi atau demokrasi, pelakunya itu kalau dikategorikan ada dua yakni, negara atau kelompok kepentingan masyarakat. Untuk insiden kebebasan beragama di Indonesia misalnya, selama ini banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, parahnya di era pemerintahan SBY, hal itu dilakukan oleh negara.
"Nah, di Indonesia ternya insiden kebebasan beragama itu bangak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat bukan lagi state. Seperti, maaf jamannya Pak SBY, itu kan pelakunya didominiasi oleh state," ungkapnya.
Oleh karena itu kata Eva, faktor ini juga penting untuk dilihat kenapa kemudian orang mempunyai persepsi seperti itu, karena dampak dari pandemi ternyata berbeda pada kelompok seks dan kelompok minoritas agama.
Hal itu bisa dikonfirmasi kenapa daerah-daerah yang secara demografi tadi persepsinya konsisten baik sebelum maupun sesudah Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 lalu.
"Minang kemudian Sunda itu terus menerus konsisten sebelum Pilpres pada pandemi juga, pokoke elek ngono yo, pokoknya negatif, juga partai juga basisnya konsisten dalam situasi apapun gitu," imbuh Eva.
Eva juga melihat bahwa kelompok masyarakat yang tinggal di kota kemudian kelompok pendapatan menengah ke atas, walaupun tidak terlalu terpukul secara ekonomi tapi selalu lebih kritis. Dan ini memang kelompok critical mass yang bisa mempengaruhi demokrasi padahal mereka yang bukan paling menderita, tapi paling sering untuk memberikan respons,
"Karena, kalau kita libat di klaster-klaster yang terpukul kan adalah bukan kelompok mereka sebetulnya, tapi kelompkk yang biasanya pendapatannya harian tapi ternyata tadi tidak sekeras respon dari temen-temen yang ada di dua kluster yang tadi saya sebutkan tersebut," terangnya.
Kemudian sambung Eva, jika aparat penegak hukum dikatakan semakin mengontrol demo, sudah barang tentu karena demonstrasi itu merupakan tekanan terhadap peemrintah. Kalau banyak dilakukan demonstrasi lalu muncul insiden banyak orang yang terpapar Covid-19, tentu yang akan disalahkan juga pemerintah.
Jadi pemerintah pada posisi dengan pilihan paling sulit. Tapi, demo tetap dibolehkan tidak seperti negara lain.
"Di negara lain di Rumania enggak boleh karena mereka takut adanya kenaikan yang terpapar, tapi di Indonesia kan enggak, dibolehkan tapi agak dikontrol, tapi dibolehkan lho tidak dilarang sama sekali seperti di Thailand kan ada larangan, apalagi di Myanmar udah enggak bisa lah kamu demo," ungkap Eva.
Lebih dari itu, Eva menambahkan, kalau sosial media (sosmed) yang dijadikan rujukan sementara ada temuan ternyata sosmed itu didominasi kelompok oposisi dan buzzer.
"Dan saya harus mengakui dan pak Jokowi juga ngaku kan bhawa komunikasi publik pemerintah jelek banget, baik masa Covid maupun masa Undang-Undang Cipta Kerja itu kan jelek itu harus kita akui, jadi kalau itu berdampak pda persepsi kepada responden-responden yang terjaring itu masuk akal," pungkasnya.
(Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Berunjuk Rasa)
Menanggapi hal itu, Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan, akan lebih adil jika dilakukan perbandingan terkait kebebasan demokrasi. Karena, posisinya saat ini dirinya sebagai Board Member ASEAN Parliamentarian for Human Rights (APHR), sehingga ia bisa melihat dari situasi di ASEAN.
(Baca juga: Perjuangan Jadi Mahasiswa: Jangan Pikirkan Hasil Terburuk!)
"Apa yang disebut dengan resesi demokrasi itu memang benar terjadi. Tapi ternyata Indonesia is not as bad as others gitu ya, terutama ketika Kamboja tiba-tiba membatalkan pemilu, dan bahkan membubarkan oposisi," kata Eva secara daring, Minggu (25/10/2020).
"Sehingga kita fokus advokasi untuk membela empi-empi dan juga parpol yang tiba-tiba ditutup karena menang itu. Demikian juga di Myanmar dan seterusnya. Jadi, ya memang terjadi kemunduran ataupun tidak sebebas dulu dalam melakukan ekspresi individu ya," tambahnya.
Tapi, sambung Eva, jangan lupa juga bahwa saat ini dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 dan ini merupakan faktor yang signifikan dan kemudian berdampak juga kepada bagaimana orang berpersepsi, khususnya tentang beberapa pertanyaaan terkait dengan pandemi.
Temuan APHT yang terakhir misalnya, dalam masa pandemi ini ternyata para perempuan itu berada di lapis paling rentan, karena KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) naik 30%, dan perkawinan anak juga naik 30% lebih.
"Dan kebebasan beragama yang paling terpukul adalah kelompok minoritas dan itu tampaknya yang mempengaruhi kenapa perempuan merasa enggak nyaman dengan temuan ini persis ya saya bisa bayangkan," ujar Eva.
Menurut Eva, memburuknya situasi atau demokrasi, pelakunya itu kalau dikategorikan ada dua yakni, negara atau kelompok kepentingan masyarakat. Untuk insiden kebebasan beragama di Indonesia misalnya, selama ini banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, parahnya di era pemerintahan SBY, hal itu dilakukan oleh negara.
"Nah, di Indonesia ternya insiden kebebasan beragama itu bangak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat bukan lagi state. Seperti, maaf jamannya Pak SBY, itu kan pelakunya didominiasi oleh state," ungkapnya.
Oleh karena itu kata Eva, faktor ini juga penting untuk dilihat kenapa kemudian orang mempunyai persepsi seperti itu, karena dampak dari pandemi ternyata berbeda pada kelompok seks dan kelompok minoritas agama.
Hal itu bisa dikonfirmasi kenapa daerah-daerah yang secara demografi tadi persepsinya konsisten baik sebelum maupun sesudah Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 lalu.
"Minang kemudian Sunda itu terus menerus konsisten sebelum Pilpres pada pandemi juga, pokoke elek ngono yo, pokoknya negatif, juga partai juga basisnya konsisten dalam situasi apapun gitu," imbuh Eva.
Eva juga melihat bahwa kelompok masyarakat yang tinggal di kota kemudian kelompok pendapatan menengah ke atas, walaupun tidak terlalu terpukul secara ekonomi tapi selalu lebih kritis. Dan ini memang kelompok critical mass yang bisa mempengaruhi demokrasi padahal mereka yang bukan paling menderita, tapi paling sering untuk memberikan respons,
"Karena, kalau kita libat di klaster-klaster yang terpukul kan adalah bukan kelompok mereka sebetulnya, tapi kelompkk yang biasanya pendapatannya harian tapi ternyata tadi tidak sekeras respon dari temen-temen yang ada di dua kluster yang tadi saya sebutkan tersebut," terangnya.
Kemudian sambung Eva, jika aparat penegak hukum dikatakan semakin mengontrol demo, sudah barang tentu karena demonstrasi itu merupakan tekanan terhadap peemrintah. Kalau banyak dilakukan demonstrasi lalu muncul insiden banyak orang yang terpapar Covid-19, tentu yang akan disalahkan juga pemerintah.
Jadi pemerintah pada posisi dengan pilihan paling sulit. Tapi, demo tetap dibolehkan tidak seperti negara lain.
"Di negara lain di Rumania enggak boleh karena mereka takut adanya kenaikan yang terpapar, tapi di Indonesia kan enggak, dibolehkan tapi agak dikontrol, tapi dibolehkan lho tidak dilarang sama sekali seperti di Thailand kan ada larangan, apalagi di Myanmar udah enggak bisa lah kamu demo," ungkap Eva.
Lebih dari itu, Eva menambahkan, kalau sosial media (sosmed) yang dijadikan rujukan sementara ada temuan ternyata sosmed itu didominasi kelompok oposisi dan buzzer.
"Dan saya harus mengakui dan pak Jokowi juga ngaku kan bhawa komunikasi publik pemerintah jelek banget, baik masa Covid maupun masa Undang-Undang Cipta Kerja itu kan jelek itu harus kita akui, jadi kalau itu berdampak pda persepsi kepada responden-responden yang terjaring itu masuk akal," pungkasnya.
(maf)