50,3% Publik Ingin Cakada yang Melanggar Protokol Covid-19 Didiskualifikasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, sebanyak 40,6% masyarakat di daerah yang akan menggelar Pilkada 2020 besar kemungkinan datang ke TPS. Sebanyak 3,3% sangat besar kemungkinan datang ke TPS, 36% kecil kemungkinannya datang ke TPS dan 6,7% sangat kecil kemungkinan datang ke TPS. Sementara sisanya tidak menjawab.
"57,2 persen memilih merekomendasi pemilihan secara langsung, datang ke TPS. Habya 33,1 persen yang meminta pemilihan secara elektronik atau e-voting (9,7% tidak menjawab)," papar Burhanuddin dalam rilis survei Inasional yang bertajuk "Politik, Demokrasi dan Pilkada di Era Pandemi" pada hari ini, Minggu (25/10).
(Baca: Survei Indikator Ungkap Lebih Banyak Masyarakat Minta Pilkada 2020 Ditunda)
Adapun metode kampanye pilkada, Burhanuddin menjelaskan, 45,4% responden meminta kampanye secara tertutup yang dihadiri peserta maksimal 50 orang. Lalu, 10,7% responden menyatakan tidak apa-apa kampanye dilaksanakan secara terbuka seperti biasa dan 33,9% ingin kampanye secara virtual. Sementara sisanya tidak menjawab.
Menurut Burhanuddin, mayoritas responden juga sepakat bahwa Pilkada 2020 rawan penyebaran Covid-19, sebanyak 68,7% setuju dan 14,8% sangat setuju akan hal itu. Hanya 11,1% yang menyatakan tidak setuju dan 1,3% sangat tidak setuju. Sementara sisanya tidak menjawab. Namun, kenapa mereka masih setuju pilkada dilaksanakan, ini ada beberapa variannya.
"Karena, sudah keputusan pemerintah dan DPR, sosialisasi KPU, mereka merasa bisa memitigasi, pake masker dan pencegahan lainnya. Mereka setuju pilkada rawan penyebaran covid tapi tidak lantas membatalkan keinginan pemilih untuk lantas membatalkan pilkada dilaksanakan tahun ini," terangnya.
(Baca: Politikus PDIP Sebut Survei Indikator soal Kinerja Jokowi Jadi Penyemangat)
Banyaknya calon kepala daerah (cakada) yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan di pilkada menyebabkan sebanyak 50,3% menginginkan agar cakada pelanggar didiskualifikasi. Sisanya ingin sanksi pidana berupa penjara dan denda, serta sanksi tidak boleh melakukan kampanye.
"Sanksi kita tanya, calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan, diskualifikasi 50,3 persen, 8,4 per sanksi pidana hukuman penjara, 16,7 persen denda sejumlah uang, 18,2 persen tidak boleh melakukan kampanye kalau ada yang melanggar (sisanya tidak menjawab)," paparnya.
Survei ini dilakukan dengan sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020. Dengan asumsi metode simple random sampling, dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional dan survei dilakukan pada 24-30 September 2020.
"57,2 persen memilih merekomendasi pemilihan secara langsung, datang ke TPS. Habya 33,1 persen yang meminta pemilihan secara elektronik atau e-voting (9,7% tidak menjawab)," papar Burhanuddin dalam rilis survei Inasional yang bertajuk "Politik, Demokrasi dan Pilkada di Era Pandemi" pada hari ini, Minggu (25/10).
(Baca: Survei Indikator Ungkap Lebih Banyak Masyarakat Minta Pilkada 2020 Ditunda)
Adapun metode kampanye pilkada, Burhanuddin menjelaskan, 45,4% responden meminta kampanye secara tertutup yang dihadiri peserta maksimal 50 orang. Lalu, 10,7% responden menyatakan tidak apa-apa kampanye dilaksanakan secara terbuka seperti biasa dan 33,9% ingin kampanye secara virtual. Sementara sisanya tidak menjawab.
Menurut Burhanuddin, mayoritas responden juga sepakat bahwa Pilkada 2020 rawan penyebaran Covid-19, sebanyak 68,7% setuju dan 14,8% sangat setuju akan hal itu. Hanya 11,1% yang menyatakan tidak setuju dan 1,3% sangat tidak setuju. Sementara sisanya tidak menjawab. Namun, kenapa mereka masih setuju pilkada dilaksanakan, ini ada beberapa variannya.
"Karena, sudah keputusan pemerintah dan DPR, sosialisasi KPU, mereka merasa bisa memitigasi, pake masker dan pencegahan lainnya. Mereka setuju pilkada rawan penyebaran covid tapi tidak lantas membatalkan keinginan pemilih untuk lantas membatalkan pilkada dilaksanakan tahun ini," terangnya.
(Baca: Politikus PDIP Sebut Survei Indikator soal Kinerja Jokowi Jadi Penyemangat)
Banyaknya calon kepala daerah (cakada) yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan di pilkada menyebabkan sebanyak 50,3% menginginkan agar cakada pelanggar didiskualifikasi. Sisanya ingin sanksi pidana berupa penjara dan denda, serta sanksi tidak boleh melakukan kampanye.
"Sanksi kita tanya, calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan, diskualifikasi 50,3 persen, 8,4 per sanksi pidana hukuman penjara, 16,7 persen denda sejumlah uang, 18,2 persen tidak boleh melakukan kampanye kalau ada yang melanggar (sisanya tidak menjawab)," paparnya.
Survei ini dilakukan dengan sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020. Dengan asumsi metode simple random sampling, dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional dan survei dilakukan pada 24-30 September 2020.
(muh)