Banding KPK Dikabulkan, Pidana Penjara Imam Nahrawi Tetap dan Eks Aspri Diperberat

Sabtu, 24 Oktober 2020 - 09:00 WIB
loading...
Banding KPK Dikabulkan,...
PT DKI Jakarta memutuskan mengabulkan banding yang diajukan KPK dengan vonis pidana penjara terhadap mantan Menpora Imam Nahrawi tetap seperti sebelumnya. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutuskan mengabulkan banding yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dengan vonis pidana penjara terhadap mantan Menpora Imam Nahrawi tetap seperti sebelumnya dan pidana penjara untuk Miftahul Ulum diperberat dari 4 tahun jadi 6 tahun.

Majelis hakim banding meloloskan Nahrawi dari pidana penjara selama 10 tahun dan uang pengganti Rp19.154.203.882 yang dimohonkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK seperti dalam memori banding. (Baca juga: Dianggap Tidak Dalami Sadapan, KPK Sebut Imam Nahrawi Tak Kooperatif)

Banding perkara mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dan mantan asisten pribadi (aspri)-nya, Miftahul Ulum dilakukan secara terpisah serta putusannya tertuang dalam salinan terpisah. Untuk Nahrawi berkas putusan nomor: 30/PID.TPK/2020/PT DKI dan Ulum nomor: 28/PID.TPK/2020/PT DKI.

Meski terpisah, majelis hakim banding yang menangani dengan komposisi yang sama. Majelis dipimpin Achmad Yusak dengan anggota di Haryono, Mohammad Luthfi, Reny Halida Ilham Malik, dan Lafad Akbar.

Banding diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK tertanggal 7 Juli 2020 terhadap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta atas nama Imam Nahrawi. Sedangkan banding terhadap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta atas nama Miftahul Ulum diajukan KPK lebih dulu tertanggal 22 Juni 2020.

Majelis hakim banding menyatakan telah membaca memori banding yang diajukan JPU pada KPK, memori banding yang diajukan Imam Nahrawi melalui tim penasihat hukumnya tertanggal 10 Agustus 2020, dua kontra memori banding yang diajukan Nahrawi tertanggal 7 Juli dan 10 Agustus 2020, kontra memori banding yang diajukan Ulum melalui tim penasihat hukumnya tertanggal 25 Juni, dan alasan-alasan banding dan kontra memori.

Majelis hakim banding juga telah mempelajari berkas-berkas perkara beserta turunan resmi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta atas nama Nahrawi dan Ulum hingga amar putusan masing-masing terdakwa. Untuk banding perkara Nahrawi, PT DKI Jakarta sependapat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama atau Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan amar putusan yang telah dijatuhkan.

Amar putusan Nahrawi di tingkat pertama yakni, telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Ulum sebagaimana dakwaan subsidiar JPU dan menjatuhkan pidana kepada Nahrawi selama 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp400 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan.

Dalam memori banding JPU, tutur majelis hakim banding, JPU meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana kepada Nahrawi dengan pidana 10 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan pidana tambahan berupa tambahan membayar uang pengganti kepada negara. Uang pengganti tersebut sebesar Rp19.154.203.882 jika tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika harta benda Nahrawi tidak mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara selama 3 bulan.

Menurut majelis hakim banding, amar putusan pengadilan pertama sudah tepat dan telah sesuai dengan kesalahan terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora karena telah didasarkan pada fakta persidangan. Karenanya, majelis hakim banding menegaskan, pertimbangan majelis hakim tingkat pertama diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan sendiri oleh Pengadilan Tipikor pada PT DKI Jakarta dalam memutus perkara a quo di tingkat banding. Atas dasar itu majelis hakim banding memutuskan lima hal untuk banding perkara Nahrawi. (Baca juga: Imam Nahrawi Minta Penasihat Hukum Terus Tempuh Upaya Hukum)

"Mengadili, satu, menerima permintaan banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum tersebut. Dua, menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 29 Juni 2020 Nomor 9/Pid.Sus/TPK/2020/PN Jkt.Pst," tegas Ketua Majelis Hakim Banding Achmad Yusak saat pengucapan putusan Nahrawi, sebagaimana dikutip MNC News Portal, di Jakarta, Sabtu (24/10/2020) pagi.

Tiga, menetapkan agar Nahrawi tetap ditahan. Empat, menetapkan lamanya Nahrawi ditahan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan. Lima, membebankan perkara kepada Nahrawi untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.7.500.

Untuk banding perkara Ulum, majelis hakim menyatakan, PT DKI Jakarta sependapat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama atau Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus dan sebagian amar putusan yang telah dijatuhkan terhadap Ulum. Di sisi lain, PT DKI Jakarta tidak sependapat dengan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada Ulum. Menurut hemat Pengadilan Tinggi, pidana penjara selama 4 tahun untuk Ulum di tingkat pertama tidak sesuai dengan perbuatan Ulum dan rasa keadilan masyarakat.

Oleh karena itu,ndengan mengambil alih pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama untuk dijadikan pertimbangannya sendiri dalam memutus perkara aqu o, maka Pengadilan Tipikor pada PT DKI Jakarta, mengubah pidana penjara yang harus dijatuhkan kepada Ulum dalam tingkat banding. Majelis hakim banding kemudian mengadili dan memutus lima hal.

Satu, menerima permintaan banding yang diajukan JPU pada KPK. Dua, menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus Nomor 4/Pid.Sus/TPK/2020/PN Jkt.Pst tertanggal 15 Juni 2020 dengan mengubah lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Ulum.

"Yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: 2.1. Menyatakan bahwa terdakwa Miftahul Ulum telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. 2.2. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa Miftahul Ulum dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp200.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," tegas hakim Yusak saat pengucapan putusan banding atas nama Ulum.

Kemudian, menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalani oleh Ulum dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan menetapkan agar Ulum tetap berada dalam tahanan.

Empat, menyatakan barang bukti yang diajukan oleh penasihat hukum Ulum tetap terlampir dalam berkas perkara. Lima, membebankan biaya perkara kepada Ulum dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp5.000.

Putusan banding atas nama Nahrawi diputuskan dalam permusyawaratan majelis hakim banding pada Kamis, 1 Oktober 2020 oleh kami Achmad Yusak selaku ketua majelis dengan empat orang anggota yakni Haryono, Mohammad Luthfi, Reni Halida Ilham Malik, dan Lafad Akbar. Putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada Kamis, 8 Oktober 2020 oleh ketua majelis dengan dihadiri empat hakim anggota serta Sabda Siregar sebagai panitera pengganti.

Putusan banding atas nama Ulum diputuskan dalam permusyawaratan majelis hakim banding pada Jumat, 25 September 2020 oleh kami Achmad Yusak selaku ketua majelis dengan empat orang anggota yakni Haryono, Mohammad Luthfi, Reni Halida Ilham Malik, dan Lafad Akbar. Putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh ketua majelis dengan dihadiri empat hakim anggota serta Hadi sebagai panitera pengganti.

"Akan tetapi tanpa dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa," bunyi bagian akhir putusan.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan, Imam Nahrawi selaku Menpora periode 2014-2019 bersama-sama dengan Miftahul Ulum selaku Aspri Menpora telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam dua delik secara berlanjut, dan merupakan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri.

Delik pertama, Imam Nahrawi bersama Miftahul Ulum telah menerima suap dengan total Rp11,5 miliar dalam tiga tahap secara berlanjut. Pertama, Rp500 juta pada Januari 2018. Kedua, Rp2 miliar pada Maret 2018. Ketiga, Rp9 miliar terpecah dalam tiga kali serah terima. Masing-masing Rp3 miliar, Rp3 miliar yang ditukar dalam bentuk mata uang asing sejumlah USD71.400 dan SGD189.000, dan Rp3 miliar yang dimasukan dalam amplop-amplop coklat dan dimasukkan dalam beberapa kardus kertas A4.

Uang suap terbukti berasal dari terpidana Ending Fuad Hamidy (divonis 2 tahun 8 bulan) selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan terpidana Johny E Awuy (divonis 1 tahun 8 bulan) selaku Bendahara Umum KONI Pusat. Uang suap terbukti untuk pengurusan pemulusan pengesahan dua proposal dana hibah yang diajukan KONI Pusat ke Kemenpora dan pencairan anggarannya dari Kemenpora ke KONI Pusat.

Delik kedua, Nahrawi bersama Ulum terbukti telah menerima gratifikasi Rp8.648.435.682 dengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang harus dipandang sebagai suap. Gratifikasi ini diterima dari empat orang berbeda.

Satu, Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy saat Nahrawi dan Ulum menghadiri acara Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur pada 2015. Dua, Rp4.948.435.682 sebagai uang tambahan operasional Menpora dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora Tahun Anggaran 2015 hingga 2016.

Selain itu Lina juga memberikan Rp2 miliar yang kemudian dipakai sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs atas rumah milik Imam Nahrawi yang terletak di Jalan Manunggal II, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Uang-uang yang diberikan Lina tersebut bersumber dari uang anggaran Satlak Prima. (Baca juga: Imam Nahrawi Divonis 7 Tahun dan Hak Politik Dicabut 4 Tahun)

Tiga, uang sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima Kemenpora RI Tahun Anggaran 2016-2017. Uang yang diberikan Ucok bersumber dari uang anggaran Satlak Prima. Uang lebih dulu dititipkan Ucok ke Tommy Suhartanto untuk dimintai tolong ke legenda bulutangkis Indonesia Taufik Hidayat selaku Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) sekaligus Staf Khusus Menpora. Taufik kemudian menyerahkan uang Rp1 miliar ke Nahrawi di rumah dinas Menpora.

Empat, Rp400 juta dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018. Uang yang diberikan Supriyono merupakan uang pinjaman Supriyono dari KONI Pusat. Uang diterima Ulum di dekat masjid yang berada di dalam kompleks Kemenpora.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0858 seconds (0.1#10.140)