MAPPI Minta Pemerintah Segera Realisasikan RUU untuk Profesi Penilai
loading...
A
A
A
Hamid mengatakan profesi Penilai memang diatur dalam beberapa peraturah Menteri, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik. Selain itu, menyangkut pengadaan tanah juga diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah yang harus melibatkan Penilai. Namun, payung hukum untuk profesi Penilai sendiri juga dibutuhkan.
“Jadi memang harus ada RUU yang sebenarnya itu sudah dipersiapkan, itu harusnya inisiatif dari pemerintah dan DPR karena yang diatur bukan hanya profesinya tetapi kepastian terhadap opini nilai,” paparnya.
Lebih lanjut Hamid mengatakan kepastian proses melakukan pekerjaan penilaian juga memang harus diperlukan payung hukum. Hal itu agar semua masyarakat terikat dengan apa yang dilakukan oleh Penilai.
Hamid mengaku wacana RUU bagi Profesi Penilai yang sudah dibahas hampir 10 tahun terakhir itu belum ada tindak lanjut, baik dari pemerintah maupun DPR. Namun menyoal UU Omnibus Law, Hamid menuturkan ada beberapa kegiatan Penilai juga diatur seperti pengadaan tanah dan bank tanah yang berhubungan dengan investasi pemerintah pusat yang semua pengelolaan aset membutuhkan Penilai.
“Makanya kita mengharapkan kalau (UU Omnibus Law) sudah ditandatangani oleh Presiden, RPP-nya itu bisa juga mengatur hal-hal yang berhubungan kepada Penilai sebagai penguatan, di situlah nanti akan menjadi turunannya akan menghasilkan UU Penilai,” harapnya.
Melihat pentingnya RUU bagi profesi Penilai, MAPPI sendiri menargetkan proses pembahasan hingga pengesahannya sampai tahun 2023, bahkan Hamid berharap target paling cepat pada tahun 2022 nanti.
Direktur Eksekutif MAPPI, Julham Satria menambahkan pentingnya keberadaan UU Penilai tidak terlepas dari mengingat besarnya tanggung jawab Penilai serta pentingnya peran Penilai. Menurut Julham, hal ini dilakukan tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi arti Peraturan Menteri Keuangan RI No.101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik yang menjadi payung hukum tertinggi saat ini bagi Penilai di Indonesia.
"Satu hal lainnya, negara harus hadir untuk kepentingan masyarakat. Sebelum diperiksa oleh pihak-pihak di luar, maka baiknya Penilai lebih dulu harusnya dilakukan pemeriksaan oleh Dewan Penilai (DP)," kata Julham.
Di lain sisi, Julham menilai Penilai harus patuh terhadap KEPI dan SPI. Kepatuhan terhadap KEPI dan SPI ini, serta peraturan dan undang-undang yang berlaku, sangat berperan menjadi acuan mitigasi risiko sekaligus perlindungan hukum bagi Penilai.
“Jadi memang harus ada RUU yang sebenarnya itu sudah dipersiapkan, itu harusnya inisiatif dari pemerintah dan DPR karena yang diatur bukan hanya profesinya tetapi kepastian terhadap opini nilai,” paparnya.
Lebih lanjut Hamid mengatakan kepastian proses melakukan pekerjaan penilaian juga memang harus diperlukan payung hukum. Hal itu agar semua masyarakat terikat dengan apa yang dilakukan oleh Penilai.
Hamid mengaku wacana RUU bagi Profesi Penilai yang sudah dibahas hampir 10 tahun terakhir itu belum ada tindak lanjut, baik dari pemerintah maupun DPR. Namun menyoal UU Omnibus Law, Hamid menuturkan ada beberapa kegiatan Penilai juga diatur seperti pengadaan tanah dan bank tanah yang berhubungan dengan investasi pemerintah pusat yang semua pengelolaan aset membutuhkan Penilai.
“Makanya kita mengharapkan kalau (UU Omnibus Law) sudah ditandatangani oleh Presiden, RPP-nya itu bisa juga mengatur hal-hal yang berhubungan kepada Penilai sebagai penguatan, di situlah nanti akan menjadi turunannya akan menghasilkan UU Penilai,” harapnya.
Melihat pentingnya RUU bagi profesi Penilai, MAPPI sendiri menargetkan proses pembahasan hingga pengesahannya sampai tahun 2023, bahkan Hamid berharap target paling cepat pada tahun 2022 nanti.
Direktur Eksekutif MAPPI, Julham Satria menambahkan pentingnya keberadaan UU Penilai tidak terlepas dari mengingat besarnya tanggung jawab Penilai serta pentingnya peran Penilai. Menurut Julham, hal ini dilakukan tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi arti Peraturan Menteri Keuangan RI No.101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik yang menjadi payung hukum tertinggi saat ini bagi Penilai di Indonesia.
"Satu hal lainnya, negara harus hadir untuk kepentingan masyarakat. Sebelum diperiksa oleh pihak-pihak di luar, maka baiknya Penilai lebih dulu harusnya dilakukan pemeriksaan oleh Dewan Penilai (DP)," kata Julham.
Di lain sisi, Julham menilai Penilai harus patuh terhadap KEPI dan SPI. Kepatuhan terhadap KEPI dan SPI ini, serta peraturan dan undang-undang yang berlaku, sangat berperan menjadi acuan mitigasi risiko sekaligus perlindungan hukum bagi Penilai.
(kri)