MAPPI Minta Pemerintah Segera Realisasikan RUU untuk Profesi Penilai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Profesi Penilai Indonesia ( MAPPI ) meminta pemerintah untuk segera merealisasikan Rancangan Undang-Undang Penilai ( RUU Penilai ). Hal itu disampaikan oleh Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) MAPPI Hamid Yusuf, dimana KPSPI sebagai penyelenggara Webinar bertajuk “Penilai dalam Lingkaran Perlindungan dan Risiko Hukum”.
Webinar nasional itu disambut oleh Ketua Umum DPN MAPPI Muhammad Amin, dilanjutkan dengan sambutan sekaligus pembukaan oleh Dr Arie Wibowo yang mewakili Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan Kementerian Keuangan, Firmansyah N Nazaroedin. (Baca juga: RUU Kejaksaan Harus Jadi Momentum Ciptakan Hukum Berkeadilan)
Diskusi terbuka yang dihadiri lebih dari 300 peserta daring ini terdiri dari Pengurus Pusat, anggota, dan DPD MAPPI seluruh Indonesia itu, juga menghadirkan narasumber Dr. Ibrahim selaku Hakim Agung RI, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Marcus Priyo Gunarto, serta Ketua Dewan Penilai MAPPI Dewi Smaragdina Pramudji.
“Penilai itu belum punya undang-undangnya, itu yang sekarang lagi kita minta kepada pemerintah. Karena kalau gak ada undang-undang itu dalam pemahaman kita salah satu kelemahannya, produk kita dipermasalahkan orang terus, itu masalahnya,” ujar Hamid di Ruang Boardroom Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Menurut Hamid, pentingnya RUU untuk Profesi Penilai dilatarbelakangi oleh masalah perlindungan hukum dalam beberapa tahun terakhir. Hamid mengatakan bahwa aduan terhadap masyarakat yang mengatakan Penilai melakukan kesalahan meningkat.
“Aduan itu menyangkut penilaian-penilaian misalnya di pengadaan tanah, jadi hampir 3-4 tahun ini ada 130 aduan pengadaan tanah. Artinya apa? Kan kalau pembangunan infrastruktur yang menentukan ganti ruginya Penilai, menurut undang-undang,” jelasnya.
Hamid menjelaskan pada saat Penilai menentukan nilai ganti kerugian terkait pengadaan tanah maka masyarakat menolak. Hal itulah yang kemudian terjadi pengaduan dari yang berskala kecil sampai skala besar.
Contoh lain menurut Hamid terkait lelang yang mana dalam setahun terakhir kredit macet meningkat. Sehingga persoalan kredit macet tersebut berujung pada agunan yang diambil alih oleh Bank dan kemudian dilelang. (Baca juga: Naskah RUU Cipta Kerja Disampaikan ke Presiden)
“Itu juga terjadi penolakan masyarakat terhadap hasil penilaian, sebagian penolakan masyarakat itu kadang-kadang masuk kepada gugatan hukum pidana dan perdata,” terangnya.
Karena profesi penilai sebenarnya hanya tunduk kepada kode etik dan standar. Hamid dalam webinar itu menegaskan bahwa MAPPI ingin melihat bagaimana perspektif pidana dan perdata serta apa yang harus dilakukan untuk memitigasi risiko hukum.
Hamid mengatakan profesi Penilai memang diatur dalam beberapa peraturah Menteri, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik. Selain itu, menyangkut pengadaan tanah juga diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah yang harus melibatkan Penilai. Namun, payung hukum untuk profesi Penilai sendiri juga dibutuhkan.
“Jadi memang harus ada RUU yang sebenarnya itu sudah dipersiapkan, itu harusnya inisiatif dari pemerintah dan DPR karena yang diatur bukan hanya profesinya tetapi kepastian terhadap opini nilai,” paparnya.
Lebih lanjut Hamid mengatakan kepastian proses melakukan pekerjaan penilaian juga memang harus diperlukan payung hukum. Hal itu agar semua masyarakat terikat dengan apa yang dilakukan oleh Penilai.
Hamid mengaku wacana RUU bagi Profesi Penilai yang sudah dibahas hampir 10 tahun terakhir itu belum ada tindak lanjut, baik dari pemerintah maupun DPR. Namun menyoal UU Omnibus Law, Hamid menuturkan ada beberapa kegiatan Penilai juga diatur seperti pengadaan tanah dan bank tanah yang berhubungan dengan investasi pemerintah pusat yang semua pengelolaan aset membutuhkan Penilai.
“Makanya kita mengharapkan kalau (UU Omnibus Law) sudah ditandatangani oleh Presiden, RPP-nya itu bisa juga mengatur hal-hal yang berhubungan kepada Penilai sebagai penguatan, di situlah nanti akan menjadi turunannya akan menghasilkan UU Penilai,” harapnya.
Melihat pentingnya RUU bagi profesi Penilai, MAPPI sendiri menargetkan proses pembahasan hingga pengesahannya sampai tahun 2023, bahkan Hamid berharap target paling cepat pada tahun 2022 nanti.
Direktur Eksekutif MAPPI, Julham Satria menambahkan pentingnya keberadaan UU Penilai tidak terlepas dari mengingat besarnya tanggung jawab Penilai serta pentingnya peran Penilai. Menurut Julham, hal ini dilakukan tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi arti Peraturan Menteri Keuangan RI No.101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik yang menjadi payung hukum tertinggi saat ini bagi Penilai di Indonesia.
"Satu hal lainnya, negara harus hadir untuk kepentingan masyarakat. Sebelum diperiksa oleh pihak-pihak di luar, maka baiknya Penilai lebih dulu harusnya dilakukan pemeriksaan oleh Dewan Penilai (DP)," kata Julham.
Di lain sisi, Julham menilai Penilai harus patuh terhadap KEPI dan SPI. Kepatuhan terhadap KEPI dan SPI ini, serta peraturan dan undang-undang yang berlaku, sangat berperan menjadi acuan mitigasi risiko sekaligus perlindungan hukum bagi Penilai.
Webinar nasional itu disambut oleh Ketua Umum DPN MAPPI Muhammad Amin, dilanjutkan dengan sambutan sekaligus pembukaan oleh Dr Arie Wibowo yang mewakili Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan Kementerian Keuangan, Firmansyah N Nazaroedin. (Baca juga: RUU Kejaksaan Harus Jadi Momentum Ciptakan Hukum Berkeadilan)
Diskusi terbuka yang dihadiri lebih dari 300 peserta daring ini terdiri dari Pengurus Pusat, anggota, dan DPD MAPPI seluruh Indonesia itu, juga menghadirkan narasumber Dr. Ibrahim selaku Hakim Agung RI, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Marcus Priyo Gunarto, serta Ketua Dewan Penilai MAPPI Dewi Smaragdina Pramudji.
“Penilai itu belum punya undang-undangnya, itu yang sekarang lagi kita minta kepada pemerintah. Karena kalau gak ada undang-undang itu dalam pemahaman kita salah satu kelemahannya, produk kita dipermasalahkan orang terus, itu masalahnya,” ujar Hamid di Ruang Boardroom Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Menurut Hamid, pentingnya RUU untuk Profesi Penilai dilatarbelakangi oleh masalah perlindungan hukum dalam beberapa tahun terakhir. Hamid mengatakan bahwa aduan terhadap masyarakat yang mengatakan Penilai melakukan kesalahan meningkat.
“Aduan itu menyangkut penilaian-penilaian misalnya di pengadaan tanah, jadi hampir 3-4 tahun ini ada 130 aduan pengadaan tanah. Artinya apa? Kan kalau pembangunan infrastruktur yang menentukan ganti ruginya Penilai, menurut undang-undang,” jelasnya.
Hamid menjelaskan pada saat Penilai menentukan nilai ganti kerugian terkait pengadaan tanah maka masyarakat menolak. Hal itulah yang kemudian terjadi pengaduan dari yang berskala kecil sampai skala besar.
Contoh lain menurut Hamid terkait lelang yang mana dalam setahun terakhir kredit macet meningkat. Sehingga persoalan kredit macet tersebut berujung pada agunan yang diambil alih oleh Bank dan kemudian dilelang. (Baca juga: Naskah RUU Cipta Kerja Disampaikan ke Presiden)
“Itu juga terjadi penolakan masyarakat terhadap hasil penilaian, sebagian penolakan masyarakat itu kadang-kadang masuk kepada gugatan hukum pidana dan perdata,” terangnya.
Karena profesi penilai sebenarnya hanya tunduk kepada kode etik dan standar. Hamid dalam webinar itu menegaskan bahwa MAPPI ingin melihat bagaimana perspektif pidana dan perdata serta apa yang harus dilakukan untuk memitigasi risiko hukum.
Hamid mengatakan profesi Penilai memang diatur dalam beberapa peraturah Menteri, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik. Selain itu, menyangkut pengadaan tanah juga diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah yang harus melibatkan Penilai. Namun, payung hukum untuk profesi Penilai sendiri juga dibutuhkan.
“Jadi memang harus ada RUU yang sebenarnya itu sudah dipersiapkan, itu harusnya inisiatif dari pemerintah dan DPR karena yang diatur bukan hanya profesinya tetapi kepastian terhadap opini nilai,” paparnya.
Lebih lanjut Hamid mengatakan kepastian proses melakukan pekerjaan penilaian juga memang harus diperlukan payung hukum. Hal itu agar semua masyarakat terikat dengan apa yang dilakukan oleh Penilai.
Hamid mengaku wacana RUU bagi Profesi Penilai yang sudah dibahas hampir 10 tahun terakhir itu belum ada tindak lanjut, baik dari pemerintah maupun DPR. Namun menyoal UU Omnibus Law, Hamid menuturkan ada beberapa kegiatan Penilai juga diatur seperti pengadaan tanah dan bank tanah yang berhubungan dengan investasi pemerintah pusat yang semua pengelolaan aset membutuhkan Penilai.
“Makanya kita mengharapkan kalau (UU Omnibus Law) sudah ditandatangani oleh Presiden, RPP-nya itu bisa juga mengatur hal-hal yang berhubungan kepada Penilai sebagai penguatan, di situlah nanti akan menjadi turunannya akan menghasilkan UU Penilai,” harapnya.
Melihat pentingnya RUU bagi profesi Penilai, MAPPI sendiri menargetkan proses pembahasan hingga pengesahannya sampai tahun 2023, bahkan Hamid berharap target paling cepat pada tahun 2022 nanti.
Direktur Eksekutif MAPPI, Julham Satria menambahkan pentingnya keberadaan UU Penilai tidak terlepas dari mengingat besarnya tanggung jawab Penilai serta pentingnya peran Penilai. Menurut Julham, hal ini dilakukan tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi arti Peraturan Menteri Keuangan RI No.101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik yang menjadi payung hukum tertinggi saat ini bagi Penilai di Indonesia.
"Satu hal lainnya, negara harus hadir untuk kepentingan masyarakat. Sebelum diperiksa oleh pihak-pihak di luar, maka baiknya Penilai lebih dulu harusnya dilakukan pemeriksaan oleh Dewan Penilai (DP)," kata Julham.
Di lain sisi, Julham menilai Penilai harus patuh terhadap KEPI dan SPI. Kepatuhan terhadap KEPI dan SPI ini, serta peraturan dan undang-undang yang berlaku, sangat berperan menjadi acuan mitigasi risiko sekaligus perlindungan hukum bagi Penilai.
(kri)