Seperti ini, Big Data Bisa Dongkrak Efisiensi BPJS Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Satu tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin , ramai dibahas di berbagai media, webinar maupun sosial media. Kinerja pemerintah memang selalu jadi sorotan publik, terlebih lagi di tahun pertama Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, bersamaan dengan merebaknya pandemi Covid 19.
Sektor Kesehatan pun jadi salah satu yang paling disorot dalam 12 bulan terakhir kinerja pemerintah. Terlepas dari masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah di sektor Kesehatan. Ada beberapa hal menarik yang bisa jadi catatan, khususnya dalam pelaksanaan Program JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat).
Program JKN-KIS selalu terkait dengan BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara program ini. Defisit yang terjadi di badan ini dan pelayanan yang dinilai masih kurang memadai, selalu jadi diskusi hangat terkait kinerja BPJS Kesehatan. Demikian juga saat momentum satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amien.
Baca Juga: BPJS Kesehatan defisitExpenditure BPJS Kesehatan masih akan terus meningkat, sebab belum 100% penduduk menjadi peserta dan memanfaatkan Program JKN-KIS,”katanya. Peningkatan expenditure (pengeluaran) ini akan lebih bear dari pada revenue yang bersumber dari iuran.
Dari data yang ada, Hasbullah memaparkan, saat ini peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 82% dari populasi. Belum mencapai 100%, tapi sudah defisit. Lalu dari data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2018, diketahui peserta BPJS Kesehatan yang memanfaatkan layanan rawat inap baru 5,5%. “Defisit di BPJS Kesehatan, masih akan terjadi,”ujar Hasbullah.
Oleh karena itu, selain ada upaya jangka pendek, harus pula dilakukan upaya jangka menengah dan jangka panjang untuk menanggulangi kekurangan darah di tubuh BPJS Kesehatan.
Untuk menanggulangi defisit BPJS Kesehatan dalam jangka panjang, The SMERU Research Institute (SMERU), lembaga penelitian yang bergerak di bidang penelitian dan studi kebijakan publik, mengusulkan untuk mulai memanfaatkan big data dalam pengelolaan BPJS Kesehatan.
Baca juga :Rektor Unhan Laksdya TNI A. Octavian Sebut Pentingnya Big Maritime Data
Nurmala Selly Saputri peneliti dari SMERU menjelaskan, dalam jangka panjang pendekatan know your customer (KYC) berbasis big data dapat diterapkan untuk menganalisa karateristik kesehatan peserta JKN. Termasuk juga dapat digunakan untuk mengontrol mutu dan mengendalikan biaya dalam bentuk pemantauan antipenipuan. “Pemanfatan big data sanggup mendongkrak efisiensi BPJS Kesehatan selaku pelaksana teknis program JKN, melalui kendali biaya,”ujarnya.
Ada 37 Miliar Data
Nurmala Selly menambahkan rekam medis pasien merupakan salah satu sumber data penting yang perlu diperhitungkan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan. Namun, saat ini sistem pencatatan data medis masih bersifat manual dan belum bersinergi dengan baik antara satu faskes dan faskes lainnya. Akibatnya, data yang sangat kaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ke depan, peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mendorong integrasi big data kesehatan di Indonesia. “Disertai dengan kerangka regulasi yang tepat guna menjamin privasi dan keamanan data masyarakat,” kata Nurmala Selly.
Terkait pemanfaatan big data, pada Juni 2020 lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bekerjasama dengan BPJS Kesehatan telah menerbitkan Buku Statistik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014-2018. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, data yang terekam dalam Program JKN-KIS merupakan aset berharga yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh negara untuk kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia.“Data yang kami miliki ini dapat digunakan untuk dasar perencanaan, penganggaran, proyeksi anggaran, operasional kegiatan, dan juga penelitian,” ujar Fachmi Idris.
Mundiharno, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan mengungkapkan hingga Maret 2020, pihaknya telah memiliki 37,58 miliar yang berasal dari pengelolaan Program JKN-KIS. Selama enam tahun ini, data tersebut sudah berbiak dengan cepat. Sebagai perbandingkan pada 2014 BPJS Kesehatan baru memiliki 1,29 miliar data.
Jadi data sample dan big data analysis, yang dimiliki BPJS Kesehatan sangat besar. Terdiri dari ratusan juta observasi, milyaran records dan ratusan variable. Data tersebut sangat kaya dan perlu dimanfaat secara optimal baik untuk kepentingan pengambilan keputusan internal manajemen. “Maupun sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan makro JKN-KIS, kata Mundiharno.
Di dalam data tersebut, juga merekam data kepesertaan JKN-KIS yang pada akhir tahun lalu berjumlah 224,1 juta orang. Dalam data yang dimiliki BPJS Kesehatan itu terdiri dari Data Kepesertaan, ada 117 variabel dengan 268 juta data observasi. Lalu Data Layanan Primer, ada 119 variabel dengan 756 juta data observasi. Serta Data Pelayanan Rujukan, yang terdiri dari 128 variabel dan 434 juta data observasi.
Dalam Data Kepersertaan itu terdapat data Jenis Peserta, Golongan, Alamat, serta Pusat Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dapat digunakan peserta. Data yang terekam dalam Layanan Primer, berupa Data Kunjungan, Data Pendaftaran dan Data Tindakan Dokter. Sementara pada Data Pelayanan Rujukan berisi data Surat Elijibilitas Peserta (SEP), Prsedur, Nomer Formulir Pengajuan Klaim, Verifikasi, serta data Diagnosa.
Hasbullah Thabrany mengatakan data-data seperti yang tersaji dalam Buku Statistik JKN 2014-2018, memang harus menjadi rujukan dalam pengelolaan JKN-KIS ke depan. Data itu tersaji dalam setiap provinsi. Sehingga bisa dianalisa, di provinsi tertentu berapa besar klaimnya. Bisa dibandingkannya dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan, yang ada di provinsi tersebut. Kelengkapan fasilitas kesehatan yang dimiliki. Kecendrungan jenis penyakit yang diderita penduduk, dan sebagainya.
Dari data tersebut juga bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana metode pengobatan yang dilakukan dapat membuat pasien sembuh. “Kita juga bisa melihat seberapa banyak sebenarnya pengobatan cuci darah dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien gagal ginjal, “ujar Hasbullah. Data-data seperti ini sangat diperlukan untuk merencankan dan mengestimasi pegeluaran BPJS Kesehatan, agar penyalit animea yang kini diderita badan ini bisa disembuhkan.
Baca juga: Kelas Perawatan Standar, Upaya Mengobati Animea di BPJS Kesehatan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Asih Eka Putri, angota Dewan Jaminan Kesehatan Nasional. Menurutnya melalui big data, dapat diketahui secara rinci, mengenai jenis penyakit yang didiagnosis yang diklaim ke BPJS dalam satu tahun.
Ini jadi sumber informasi penting dalam perencanaan Pemerintah, Pemda, maupun pihak swasta dalam penyediaan jenis-jenis layanan kesehatan khusus yang dibutuhkan sesuai pertumbuhan prevalensi suatu penyakit. “Sesunguhnya data penyakit menjadi sumber informasi penting dalam perencanaan obat, alat medis, sarana dan tenaga kesehatan,”ujar Asih Eka Putri yang juga berprofesi sebagai dokter ini.
Sektor Kesehatan pun jadi salah satu yang paling disorot dalam 12 bulan terakhir kinerja pemerintah. Terlepas dari masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah di sektor Kesehatan. Ada beberapa hal menarik yang bisa jadi catatan, khususnya dalam pelaksanaan Program JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat).
Program JKN-KIS selalu terkait dengan BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara program ini. Defisit yang terjadi di badan ini dan pelayanan yang dinilai masih kurang memadai, selalu jadi diskusi hangat terkait kinerja BPJS Kesehatan. Demikian juga saat momentum satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amien.
Baca Juga: BPJS Kesehatan defisitExpenditure BPJS Kesehatan masih akan terus meningkat, sebab belum 100% penduduk menjadi peserta dan memanfaatkan Program JKN-KIS,”katanya. Peningkatan expenditure (pengeluaran) ini akan lebih bear dari pada revenue yang bersumber dari iuran.
Dari data yang ada, Hasbullah memaparkan, saat ini peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 82% dari populasi. Belum mencapai 100%, tapi sudah defisit. Lalu dari data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2018, diketahui peserta BPJS Kesehatan yang memanfaatkan layanan rawat inap baru 5,5%. “Defisit di BPJS Kesehatan, masih akan terjadi,”ujar Hasbullah.
Oleh karena itu, selain ada upaya jangka pendek, harus pula dilakukan upaya jangka menengah dan jangka panjang untuk menanggulangi kekurangan darah di tubuh BPJS Kesehatan.
Untuk menanggulangi defisit BPJS Kesehatan dalam jangka panjang, The SMERU Research Institute (SMERU), lembaga penelitian yang bergerak di bidang penelitian dan studi kebijakan publik, mengusulkan untuk mulai memanfaatkan big data dalam pengelolaan BPJS Kesehatan.
Baca juga :Rektor Unhan Laksdya TNI A. Octavian Sebut Pentingnya Big Maritime Data
Nurmala Selly Saputri peneliti dari SMERU menjelaskan, dalam jangka panjang pendekatan know your customer (KYC) berbasis big data dapat diterapkan untuk menganalisa karateristik kesehatan peserta JKN. Termasuk juga dapat digunakan untuk mengontrol mutu dan mengendalikan biaya dalam bentuk pemantauan antipenipuan. “Pemanfatan big data sanggup mendongkrak efisiensi BPJS Kesehatan selaku pelaksana teknis program JKN, melalui kendali biaya,”ujarnya.
Ada 37 Miliar Data
Nurmala Selly menambahkan rekam medis pasien merupakan salah satu sumber data penting yang perlu diperhitungkan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan. Namun, saat ini sistem pencatatan data medis masih bersifat manual dan belum bersinergi dengan baik antara satu faskes dan faskes lainnya. Akibatnya, data yang sangat kaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Ke depan, peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mendorong integrasi big data kesehatan di Indonesia. “Disertai dengan kerangka regulasi yang tepat guna menjamin privasi dan keamanan data masyarakat,” kata Nurmala Selly.
Terkait pemanfaatan big data, pada Juni 2020 lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bekerjasama dengan BPJS Kesehatan telah menerbitkan Buku Statistik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014-2018. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, data yang terekam dalam Program JKN-KIS merupakan aset berharga yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh negara untuk kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia.“Data yang kami miliki ini dapat digunakan untuk dasar perencanaan, penganggaran, proyeksi anggaran, operasional kegiatan, dan juga penelitian,” ujar Fachmi Idris.
Mundiharno, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan mengungkapkan hingga Maret 2020, pihaknya telah memiliki 37,58 miliar yang berasal dari pengelolaan Program JKN-KIS. Selama enam tahun ini, data tersebut sudah berbiak dengan cepat. Sebagai perbandingkan pada 2014 BPJS Kesehatan baru memiliki 1,29 miliar data.
Jadi data sample dan big data analysis, yang dimiliki BPJS Kesehatan sangat besar. Terdiri dari ratusan juta observasi, milyaran records dan ratusan variable. Data tersebut sangat kaya dan perlu dimanfaat secara optimal baik untuk kepentingan pengambilan keputusan internal manajemen. “Maupun sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan makro JKN-KIS, kata Mundiharno.
Di dalam data tersebut, juga merekam data kepesertaan JKN-KIS yang pada akhir tahun lalu berjumlah 224,1 juta orang. Dalam data yang dimiliki BPJS Kesehatan itu terdiri dari Data Kepesertaan, ada 117 variabel dengan 268 juta data observasi. Lalu Data Layanan Primer, ada 119 variabel dengan 756 juta data observasi. Serta Data Pelayanan Rujukan, yang terdiri dari 128 variabel dan 434 juta data observasi.
Dalam Data Kepersertaan itu terdapat data Jenis Peserta, Golongan, Alamat, serta Pusat Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dapat digunakan peserta. Data yang terekam dalam Layanan Primer, berupa Data Kunjungan, Data Pendaftaran dan Data Tindakan Dokter. Sementara pada Data Pelayanan Rujukan berisi data Surat Elijibilitas Peserta (SEP), Prsedur, Nomer Formulir Pengajuan Klaim, Verifikasi, serta data Diagnosa.
Hasbullah Thabrany mengatakan data-data seperti yang tersaji dalam Buku Statistik JKN 2014-2018, memang harus menjadi rujukan dalam pengelolaan JKN-KIS ke depan. Data itu tersaji dalam setiap provinsi. Sehingga bisa dianalisa, di provinsi tertentu berapa besar klaimnya. Bisa dibandingkannya dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan, yang ada di provinsi tersebut. Kelengkapan fasilitas kesehatan yang dimiliki. Kecendrungan jenis penyakit yang diderita penduduk, dan sebagainya.
Dari data tersebut juga bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana metode pengobatan yang dilakukan dapat membuat pasien sembuh. “Kita juga bisa melihat seberapa banyak sebenarnya pengobatan cuci darah dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien gagal ginjal, “ujar Hasbullah. Data-data seperti ini sangat diperlukan untuk merencankan dan mengestimasi pegeluaran BPJS Kesehatan, agar penyalit animea yang kini diderita badan ini bisa disembuhkan.
Baca juga: Kelas Perawatan Standar, Upaya Mengobati Animea di BPJS Kesehatan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Asih Eka Putri, angota Dewan Jaminan Kesehatan Nasional. Menurutnya melalui big data, dapat diketahui secara rinci, mengenai jenis penyakit yang didiagnosis yang diklaim ke BPJS dalam satu tahun.
Ini jadi sumber informasi penting dalam perencanaan Pemerintah, Pemda, maupun pihak swasta dalam penyediaan jenis-jenis layanan kesehatan khusus yang dibutuhkan sesuai pertumbuhan prevalensi suatu penyakit. “Sesunguhnya data penyakit menjadi sumber informasi penting dalam perencanaan obat, alat medis, sarana dan tenaga kesehatan,”ujar Asih Eka Putri yang juga berprofesi sebagai dokter ini.
(eko)