Kemenag Siapkan Materi Khutbah Jumat, PKS Ingatkan Soal Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf menyambut baik program Kementerian Agama (Kemenag) yang hendak membuat materi khutbah Jumat bagi para khatib. Namun, dia mengingatkan agar program itu tidak berangkat dari asumsi negatif bahwa para khatib lah yang selama ini menyebarkan radikalisme.
"Kalau tentang materi khutbah itu sifatnya membantu para dai dan penceramah ya bagus. Tapi kalau berangkat dari tendensi bahwa khatib inilah yang menjadi penyebab radikalisme dan menjadi penyebab tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi, nah saya kira itu yang perlu dikoreksi. Jangan sampai hanya sebagai bentuk untuk membenturkan anak bangsa," kata Bukhori saat dihubungi SINDOnews, Kamis (22/10/2020).
Bukhori berpandangan, meskipun bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dan akademisi, tidak semua ormas Islam dan akademisi yang dilibatkan, dia yakin hanya ormas dan akademisi tertentu saja. Dan jika berangkat dari tujuan itu, tentu program ini bukan cara yang efektif untuk melakukan kontraradikalisme, bahkan justru memicu radikalisme yang lebih dalam karena ada pihak-pihak yang merasa ditekan dan dicurigai. ( )
"Meskipun bahwa apa yang dilakukan Kemenag itu tentu tidak sekedar ngarang, dia tentu punya data. Tetapi, dia harus paham data itu sumbernya dari mana dan arahnya itu ke mana. Dan kita harus tahu, yang disebut sebagai big picture-nya situasi sekarang ini," ujar Bukhori.
Legislator Dapil Jawa Tengah (Jateng) I ini melihat, Kemenag terlalu didominasi oleh pandangan tertentu saja dan tidak melihat dari semua sisi, jadi yang dilihat hanya soal radikalisme. Jika pendekatan terus seperti itu, maka Kemenag hanya akan menimbulkan luka yang makin dalam, sementara masyarakat Indonesia semakin pintar.
"Saya kasih contoh saja, dulu di awal tahun 90-an pemerintah sangat represif terhadap perempuan yang menggunakan jilbab, dan kasus anak-anak SMA negeri yang dikeluarkan hanya karena memakai jilbab, bukan hanya 1-2 orang, dan yang membela hanya beberapa ulama tertentu, tidak ada yang bisa memberikan pembelaan yang memadai, semua dikunci, semua diberi stigma," katanya. ( )
"Tetapi kemudian, kita lihat faktanya sekarang bahwa jilbab tidak lagi menjadi sebuah persoalan karena itu sebuah ajaran Islam, ajaran Islam yang murni, yang digali. Makin pinter masyarakat ya pakai sendiri. Sekarang akhirnya dia menjadi sebuah budaya bangsa, ini kan kecelek (salah) artinya," ujar Bukhori.
Menurut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini, ketika cara memerangi atau mengendalikan radikalisme dengan cara-cara yang tidak komprehensif, bahkan terkesan itu adalah semacam pesan dari pihak-pihak tertentu, masyarakat tentu akan mengingatnya. Para pejabat yang membuat itu pasti akan diingat oleh masyarakat sementara, jabatan itu tidak selamanya dan bekas pejabat pun akhirnya akan turun ke masyarakat.
Faktanya, sambung dia, radikalisme itu ada di sepanjang zaman ketika ada ketidakadilan, sehingga bukan karena sikap beragama seseorang. Justru agama akan menjadi sangat keras dan bertentangan dengan penguasa ketika muncul ketidakadilan. Fenomena radikal itu sumbernya ketidakadilan, baik dalam pembangunan, dalam mengakses informasi, kewenangan maupun kesempatan, perlakuan, penegakan hukum, perlakuan terhadap kehidupan dan utamanya masalah ekonomi. ( )
"Karena itu tindakan yang dilakukan bukan mendegradasi pemahaman Islam yang murni dan baik, tetapi ketidakadilannya yang harus diberantas. Dari situ sumbernya. Kalau itu masalah utamanya, solusinya bukan pakai khutbah, bukan pakai ceramah. Saya tidak meyakini itu meskipun pasti ada data. (Kalau) Ada data sandingan perlu disampaikan," katanya.
Dengan demikian, Bukhori menambahkan, kalau pun program itu berjalan, baiknya materi khutbah itu sebagai bentuk alternatif bagi para khatib untuk menjadi referensi. "Tapi ketika berangkat dari satu asumsi, konsepsi dalam rangka mendegradasi atau dalam rangka deradikalisasi dan seterusnya tadi saya kira nggak efektif. Hanya akan menimbulkan goresan-goresan yang dalam. Orang ini dicirikan, jadinya begitu," kata Bukhori.
"Kalau tentang materi khutbah itu sifatnya membantu para dai dan penceramah ya bagus. Tapi kalau berangkat dari tendensi bahwa khatib inilah yang menjadi penyebab radikalisme dan menjadi penyebab tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi, nah saya kira itu yang perlu dikoreksi. Jangan sampai hanya sebagai bentuk untuk membenturkan anak bangsa," kata Bukhori saat dihubungi SINDOnews, Kamis (22/10/2020).
Bukhori berpandangan, meskipun bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dan akademisi, tidak semua ormas Islam dan akademisi yang dilibatkan, dia yakin hanya ormas dan akademisi tertentu saja. Dan jika berangkat dari tujuan itu, tentu program ini bukan cara yang efektif untuk melakukan kontraradikalisme, bahkan justru memicu radikalisme yang lebih dalam karena ada pihak-pihak yang merasa ditekan dan dicurigai. ( )
"Meskipun bahwa apa yang dilakukan Kemenag itu tentu tidak sekedar ngarang, dia tentu punya data. Tetapi, dia harus paham data itu sumbernya dari mana dan arahnya itu ke mana. Dan kita harus tahu, yang disebut sebagai big picture-nya situasi sekarang ini," ujar Bukhori.
Legislator Dapil Jawa Tengah (Jateng) I ini melihat, Kemenag terlalu didominasi oleh pandangan tertentu saja dan tidak melihat dari semua sisi, jadi yang dilihat hanya soal radikalisme. Jika pendekatan terus seperti itu, maka Kemenag hanya akan menimbulkan luka yang makin dalam, sementara masyarakat Indonesia semakin pintar.
"Saya kasih contoh saja, dulu di awal tahun 90-an pemerintah sangat represif terhadap perempuan yang menggunakan jilbab, dan kasus anak-anak SMA negeri yang dikeluarkan hanya karena memakai jilbab, bukan hanya 1-2 orang, dan yang membela hanya beberapa ulama tertentu, tidak ada yang bisa memberikan pembelaan yang memadai, semua dikunci, semua diberi stigma," katanya. ( )
"Tetapi kemudian, kita lihat faktanya sekarang bahwa jilbab tidak lagi menjadi sebuah persoalan karena itu sebuah ajaran Islam, ajaran Islam yang murni, yang digali. Makin pinter masyarakat ya pakai sendiri. Sekarang akhirnya dia menjadi sebuah budaya bangsa, ini kan kecelek (salah) artinya," ujar Bukhori.
Menurut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini, ketika cara memerangi atau mengendalikan radikalisme dengan cara-cara yang tidak komprehensif, bahkan terkesan itu adalah semacam pesan dari pihak-pihak tertentu, masyarakat tentu akan mengingatnya. Para pejabat yang membuat itu pasti akan diingat oleh masyarakat sementara, jabatan itu tidak selamanya dan bekas pejabat pun akhirnya akan turun ke masyarakat.
Faktanya, sambung dia, radikalisme itu ada di sepanjang zaman ketika ada ketidakadilan, sehingga bukan karena sikap beragama seseorang. Justru agama akan menjadi sangat keras dan bertentangan dengan penguasa ketika muncul ketidakadilan. Fenomena radikal itu sumbernya ketidakadilan, baik dalam pembangunan, dalam mengakses informasi, kewenangan maupun kesempatan, perlakuan, penegakan hukum, perlakuan terhadap kehidupan dan utamanya masalah ekonomi. ( )
"Karena itu tindakan yang dilakukan bukan mendegradasi pemahaman Islam yang murni dan baik, tetapi ketidakadilannya yang harus diberantas. Dari situ sumbernya. Kalau itu masalah utamanya, solusinya bukan pakai khutbah, bukan pakai ceramah. Saya tidak meyakini itu meskipun pasti ada data. (Kalau) Ada data sandingan perlu disampaikan," katanya.
Dengan demikian, Bukhori menambahkan, kalau pun program itu berjalan, baiknya materi khutbah itu sebagai bentuk alternatif bagi para khatib untuk menjadi referensi. "Tapi ketika berangkat dari satu asumsi, konsepsi dalam rangka mendegradasi atau dalam rangka deradikalisasi dan seterusnya tadi saya kira nggak efektif. Hanya akan menimbulkan goresan-goresan yang dalam. Orang ini dicirikan, jadinya begitu," kata Bukhori.
(abd)