Mantan Dubes Indonesia Ungkap Pengalamannya Jadi Diplomat 'Kesasar'
loading...
A
A
A
JAKARTA - Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman, Eddy Pratomo (2009-2013) meluncurkan buku autobiografi berjudul Diplomat Kesasar.
Peluncuran buku yang digelar secara daring pada Rabu 21 Oktober 2020 itu juga dalam rangka Dies Natalies Universitas Pancasila ke-54.
Dalam peluncuran tersebut, tampil 14 pembahas yang membedah buku tersebut dari berbagai perspektif. Mereka adalah Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Damos D Agusman, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Cahyo Muzhar, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi, dan Inspektur Jenderal Kemlu Ibnu Wahyutomo.
Pimpinan Universitas Pancasila yang Telah berikan testimoni adalah Dr (HC) Ir. Siswono Yudo Husodo, Ketua Pembina Yayasan Pendidikan dan Pembina Univeritas Pancasila (YPPUP), Prof D Edie Toet Hendratno, Ketua Pengurus YPPUP, Rektor Universitas Pancasil Prof Dr Wahono Sumaryono.
Acara dimoderatori Dubes Mulya Wirana, peluncuran buku terbitan Elex Media Komputindo yang disunting oleh Nanang Junaedi itu juga ditandai dengan penyerahan buku dari penerbit kepada penulis.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi saat memberikan pengantar pada peluncuran buku mengatakan, diplomat adalah profesi yang menuntut pelakunya tidak berhenti meng-update diri dan terus belajar. Tidak mengenal titik, karena semuanya masih koma.
“Hal itulah yang dicontohkan oleh Dubes Eddy Pratomo, sosok diplomat langka yang tak pernah lelah untuk terus bersekolah,” kata Retno, Rabu 21 Oktober 2020.( )
Menurut Menlu Retno, selain tekun belajar hingga meraih gelar doktor dan dikukuhkan sebagai guru besar hukum internasional, ada hal lain yang perlu dijadikan pembelajaran dari sosok Eddy Pratomo, yakni karier nonformal yang harus ditekuni, terutama setelah purnatugas dari Kemlu.
Di samping mengajar di sejumlah kampus, Eddy juga aktif sebagai konsultan hukum di berbagai perusahan dan perbankan nasional serta menjadi pelaku usaha. Mulai dari alat kesehatan, pertambangan hingga barang rongsokan, demikian komentar Dr Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri 2004- 2014).
“Autobiografi ini menarik dibaca, karena tidak hanya menampilkan ’karier formal’ Mas Eddy sebagai diplomat. Lebih jauh, buku ini juga menyajikan estafet perjalanan hidup beliau yang patut diteladani,” kata Retno yang mengaku telah mengenal Eddy Pratomo sejak 25 tahun lalu. ( )
Sementara itu, Dubes Eddy Pratomo menuturkan, autobiografinya tidak melulu bercerita tentang perjalanan karier diplomat yang ia tekuni selama 32 tahun. Di awal, dia mengajak pembaca mengembara ke era 1965-1966 dengan latar kampung halamannya di Kendal, Jawa Tengah.
“Banyak memori pribadi yang sangat membekas, terutama dipicu oleh sengkarut perpolitikan Tanah Air pada masa itu,” katanya.
Menurut Eddy, kehidupan pribadinya memang sarat diwarnai cerita kesasar. Setelah menamatkan pendidikan guru agama tingkat pertama di Kendal, dia melanjutkan sekolah calon penghulu di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta.
”Batal jadi naib, saya malah terdampar jadi mandor perusahaan kayu di pedalaman hutan Kalimantan, sebelum akhirnya ’kesasar’ masuk Kemenlu,” tuturnya.
Karier panjang Eddy Pratomo sebagai diplomat di New York, Jenewa, London dan Berlin, silih berganti dengan penugasan di birokrasi. Di antaranya sebagai Dirjen Hukum Perjanjian Internasional Kemenlu, Staf Khusus Ketua DPR, serta Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Malaysia (2015-2018). Di ranah akademik dan dunia usaha, Eddy bahkan kesasar ke mana-mana.
“Tanpa bermaksud sok-sokan, tidak banyak duta besar yang menjadi guru besar sekaligus produsen alat kesehatan, berbisnis barang rongsokan hingga pertambangan,”ucapnya.
Selepas pensiun dari Kemlu, Eddy bahkan masih "kesasar" menjadi birokrat kampus usai terpilih sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Mei lalu.
Saat ini, Eddy Pratomo juga masih mengemban amanah sebagai Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan bidang Penanggulangan Illegal Fishing dan Staf Ahli Kemenlu bidang Perundingan Batas Maritim antara Indonesia dengan Negara Tetangga.
Peluncuran buku yang digelar secara daring pada Rabu 21 Oktober 2020 itu juga dalam rangka Dies Natalies Universitas Pancasila ke-54.
Dalam peluncuran tersebut, tampil 14 pembahas yang membedah buku tersebut dari berbagai perspektif. Mereka adalah Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Damos D Agusman, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Cahyo Muzhar, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi, dan Inspektur Jenderal Kemlu Ibnu Wahyutomo.
Pimpinan Universitas Pancasila yang Telah berikan testimoni adalah Dr (HC) Ir. Siswono Yudo Husodo, Ketua Pembina Yayasan Pendidikan dan Pembina Univeritas Pancasila (YPPUP), Prof D Edie Toet Hendratno, Ketua Pengurus YPPUP, Rektor Universitas Pancasil Prof Dr Wahono Sumaryono.
Acara dimoderatori Dubes Mulya Wirana, peluncuran buku terbitan Elex Media Komputindo yang disunting oleh Nanang Junaedi itu juga ditandai dengan penyerahan buku dari penerbit kepada penulis.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi saat memberikan pengantar pada peluncuran buku mengatakan, diplomat adalah profesi yang menuntut pelakunya tidak berhenti meng-update diri dan terus belajar. Tidak mengenal titik, karena semuanya masih koma.
“Hal itulah yang dicontohkan oleh Dubes Eddy Pratomo, sosok diplomat langka yang tak pernah lelah untuk terus bersekolah,” kata Retno, Rabu 21 Oktober 2020.( )
Menurut Menlu Retno, selain tekun belajar hingga meraih gelar doktor dan dikukuhkan sebagai guru besar hukum internasional, ada hal lain yang perlu dijadikan pembelajaran dari sosok Eddy Pratomo, yakni karier nonformal yang harus ditekuni, terutama setelah purnatugas dari Kemlu.
Di samping mengajar di sejumlah kampus, Eddy juga aktif sebagai konsultan hukum di berbagai perusahan dan perbankan nasional serta menjadi pelaku usaha. Mulai dari alat kesehatan, pertambangan hingga barang rongsokan, demikian komentar Dr Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri 2004- 2014).
“Autobiografi ini menarik dibaca, karena tidak hanya menampilkan ’karier formal’ Mas Eddy sebagai diplomat. Lebih jauh, buku ini juga menyajikan estafet perjalanan hidup beliau yang patut diteladani,” kata Retno yang mengaku telah mengenal Eddy Pratomo sejak 25 tahun lalu. ( )
Sementara itu, Dubes Eddy Pratomo menuturkan, autobiografinya tidak melulu bercerita tentang perjalanan karier diplomat yang ia tekuni selama 32 tahun. Di awal, dia mengajak pembaca mengembara ke era 1965-1966 dengan latar kampung halamannya di Kendal, Jawa Tengah.
“Banyak memori pribadi yang sangat membekas, terutama dipicu oleh sengkarut perpolitikan Tanah Air pada masa itu,” katanya.
Menurut Eddy, kehidupan pribadinya memang sarat diwarnai cerita kesasar. Setelah menamatkan pendidikan guru agama tingkat pertama di Kendal, dia melanjutkan sekolah calon penghulu di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta.
”Batal jadi naib, saya malah terdampar jadi mandor perusahaan kayu di pedalaman hutan Kalimantan, sebelum akhirnya ’kesasar’ masuk Kemenlu,” tuturnya.
Karier panjang Eddy Pratomo sebagai diplomat di New York, Jenewa, London dan Berlin, silih berganti dengan penugasan di birokrasi. Di antaranya sebagai Dirjen Hukum Perjanjian Internasional Kemenlu, Staf Khusus Ketua DPR, serta Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Malaysia (2015-2018). Di ranah akademik dan dunia usaha, Eddy bahkan kesasar ke mana-mana.
“Tanpa bermaksud sok-sokan, tidak banyak duta besar yang menjadi guru besar sekaligus produsen alat kesehatan, berbisnis barang rongsokan hingga pertambangan,”ucapnya.
Selepas pensiun dari Kemlu, Eddy bahkan masih "kesasar" menjadi birokrat kampus usai terpilih sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Mei lalu.
Saat ini, Eddy Pratomo juga masih mengemban amanah sebagai Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan bidang Penanggulangan Illegal Fishing dan Staf Ahli Kemenlu bidang Perundingan Batas Maritim antara Indonesia dengan Negara Tetangga.
(dam)