Setahun Periode Ke-2 Jokowi

Selasa, 20 Oktober 2020 - 10:48 WIB
loading...
A A A
Dari peta politik tersebut menegaskan ada tantangan yang berbeda bagi Jokowi dalam manajemen pemerintahannya. Tidak disangkal, bahwa pada periode pertama Jokowi secara kalkulatif mestinya lebih berat daripada periode kedua. Dan semestinya di periode saat ini Jokowi lebih bisa gaspol mewujudkan visinya.

Periode pertama, di awal-awal kekuasaanya, Jokowi lebih disibukkan oleh laku konsolidasi politik karena komposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kalah banyak. Maka tidak mengherankan di kemudian hari Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) mendukung Prabowo-Hatta terlibat dalam pemerintahannya. Di sinilah logika politik menguatkan parlemen menemukan jawabannya.

Sistem dan realitas politik meniscayakan postur koalisi parlemen yang kuat untuk menambah legitimasi, kekuatan dan efektifitas pemerintahan. Terlebih periode pertama Jokowi isu “pelengseran” cukup kuat. Menguatkan parlemen paling tidak menjadi kuncian agar parlemen tidak hiruk pikuk yang bisa menganggu dan mengancam kekuasaan.

Periode kedua, secara politik, Jokowi sudah sangat diuntungkan. Dominanya dukungan di parlemen, plus masuknya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) jelas menjadi modal politik yang sangat besar untuk memuluskan program dan janji politiknya. Persoalan konsolidasi politik sudah tuntas sedari awal, sehingga bisa lebih fokus.

Sayangnya dinamika politik bukan seperti kalkulasi ilmu pasti, bahwa banyak dukungan ternyata tidak selalu paralel dengan beragam kepentingan partai politik. Pun demikian, koalisi besar ternyata tidak selalu menjamin tata kelola politik menjadi mudah. Tuntutan-tuntutan akan kompromi pada kenyataannya juga semakin besar. Hal inilah yang sepertinya menjadi salah satu beban diperiode kedua Jokowi.

Hal yang paling nampak dari begitu besarnya kompromi politik yang dilakukan adalah perihal “jatah” menteri untuk masing-masing partai politik yang terlibat dalam koalisi. Meskipun hal ini juga akan berlaku bagi siapapun presidennya selama sistem politik masih sama seperti sekarang ini. Presidensial dengan multi partai sepertinya menjadi anomali yang tidak bisa dihindarkan.

Ekonomi Sentris
Tidak dimungkiri, sektor ekonomi menjadi indikator paling nyata untuk mengukur sebuah capaian atau keberhasilan bagi pemerintahan yang sedang berjalan. Betul, kesejahteraan hanya bisa diukur dari asumsi-asumsi ekonomi. Tapi terlalu fokus pada ekonomi dan mengabaikan sektor yang lainnya tentu juga langkah yang kurang bijak juga.

Periode pertama dan kedua Jokowi terlihat lebih menitikberatkan pada ekonomi. Sementara sektor-sektor lain, seperti isu Hak Asasi Manusia (HAM), kasus intoleransi kurang mendapat perhatian. Hal inilah yang menjadi PR besar Jokowi untuk 4 tahun kedepan.

Pembangunan atau infrastruktur yang masif jelas akan menjadi legacy luar biasa Jokowi. Tapi akan lebih komplit, jika ada legacy yang tidak sekadar fisik, yakni sebuah peradaban politik yang saling menghormati tentang hal-hal yang asasi yang dimiliki setiap manusia. Pembangunan fisik jelas sangat penting, tapi terus merawat moralitas dan nilai keadaban politik juga sama pentingnya.

Maka tantangan bagi Jokowi ke depan, selain ekonomi dan kesehatan akibat pandemi, juga mulai membuka diri pada isu-isu krusial dan sensitivitas di atas. Jokowi mesti memperlihatkan kehadirannya manakala sebuah peristiwa intoleransi mengusik keberagaman dan keberagamaan sesama warga negara.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1362 seconds (0.1#10.140)