Setahun Periode Ke-2 Jokowi
loading...
A
A
A
Agus Surono
Peneliti Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP)
"LIMA tahun ke depan, mohon maaf,saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apapun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan," Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Kamis (9/5/2019).
Pernyataan Jokowi di atas kiranya relevan untuk memotret perjalanan setahun periode kedua sebagai Presiden Indonesia. Setidaknya pernyataan tersebut melahirkan dua tafsir atau makna yang berbeda.
Tafsir pertama, Jokowi akan benar-benar mengartikulasikan kebijakan-kebijakannya ‘hanya” untuk kepentingan dan berpijak pada rakyat, bukan untuk yang lain. Artinya Jokowi sudah “los dol” tidak lagi berorientasi pada elektoral Pemilu karena batasan periode jabatan presiden.
Keputusan atau kebijakan politik tidak lagi sekadar untuk membangun dan menjaga citra personal karena berharap dipilih lagi. Tetapi setiap kebijakan yang diambil merupakan bagian upaya dari pelunasan janji politiknya, saat bersamaan juga menunjukkan pada upaya pembangunan politik jangka jangka panjang.
Tafsir kedua adalah kebalikan dari makna pertama, yakni, ketiadaan beban yang dimaksud oleh Jokowi justru abai pada pemihakan rakyat. Artinya, karena sudah tidak bisa lagi dicalonkan sebagai presiden, maka Jokowi tidak lagingrekenatau tidak peduli pada suara-suara kritis yang bisa jadi pada periode pertama pemerintahannya sangat ia dipudulikan.
Kebijakan dan pilihan programnya sangat mungkin memperlihatkan sisi-sisi yang ambigu. Tidak jelas gradasi pemihakannya. Tidak lagi peduli terhadap kritik dan cenderung tidak mau mendengar.
Lalu, bagaimana dengan faktanya? Merujuk pada dua isu besar dan stratgeis, yakni UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Omnibus Law , dua tafsir di atas menemukan justifikasi masing-masing. Bahwa tafsir pertama banyak didukung oleh sebagian besar pendukung loyal dan koalisi parlemen. Sementara tafsir kedua banyak dilakukan kelompok-kelompok kritis, seperti LSM dan akademisi.
Pergeseran Koalisi Politik
Pada periode pertama Jokowi bersama Jusuf Kalla didukung empat partai politik, yakni,Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Total kekuatan parlemen keempat partai politik tersebut sebesar 40,33%.
Sementara pada periode kedua Jokowi bersama Ma’ruf Amin didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar),Partai Nasional Demokrat (Nasdem, Partai Kebangkitan Bandgsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Total kekuatan koalisi parlemen yang dimilikisebesar 60,69%.
Peneliti Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP)
"LIMA tahun ke depan, mohon maaf,saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apapun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan," Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Kamis (9/5/2019).
Pernyataan Jokowi di atas kiranya relevan untuk memotret perjalanan setahun periode kedua sebagai Presiden Indonesia. Setidaknya pernyataan tersebut melahirkan dua tafsir atau makna yang berbeda.
Tafsir pertama, Jokowi akan benar-benar mengartikulasikan kebijakan-kebijakannya ‘hanya” untuk kepentingan dan berpijak pada rakyat, bukan untuk yang lain. Artinya Jokowi sudah “los dol” tidak lagi berorientasi pada elektoral Pemilu karena batasan periode jabatan presiden.
Keputusan atau kebijakan politik tidak lagi sekadar untuk membangun dan menjaga citra personal karena berharap dipilih lagi. Tetapi setiap kebijakan yang diambil merupakan bagian upaya dari pelunasan janji politiknya, saat bersamaan juga menunjukkan pada upaya pembangunan politik jangka jangka panjang.
Tafsir kedua adalah kebalikan dari makna pertama, yakni, ketiadaan beban yang dimaksud oleh Jokowi justru abai pada pemihakan rakyat. Artinya, karena sudah tidak bisa lagi dicalonkan sebagai presiden, maka Jokowi tidak lagingrekenatau tidak peduli pada suara-suara kritis yang bisa jadi pada periode pertama pemerintahannya sangat ia dipudulikan.
Kebijakan dan pilihan programnya sangat mungkin memperlihatkan sisi-sisi yang ambigu. Tidak jelas gradasi pemihakannya. Tidak lagi peduli terhadap kritik dan cenderung tidak mau mendengar.
Lalu, bagaimana dengan faktanya? Merujuk pada dua isu besar dan stratgeis, yakni UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Omnibus Law , dua tafsir di atas menemukan justifikasi masing-masing. Bahwa tafsir pertama banyak didukung oleh sebagian besar pendukung loyal dan koalisi parlemen. Sementara tafsir kedua banyak dilakukan kelompok-kelompok kritis, seperti LSM dan akademisi.
Pergeseran Koalisi Politik
Pada periode pertama Jokowi bersama Jusuf Kalla didukung empat partai politik, yakni,Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Total kekuatan parlemen keempat partai politik tersebut sebesar 40,33%.
Sementara pada periode kedua Jokowi bersama Ma’ruf Amin didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar),Partai Nasional Demokrat (Nasdem, Partai Kebangkitan Bandgsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Total kekuatan koalisi parlemen yang dimilikisebesar 60,69%.