Setahun Pertama Jokowi Melawan Arus
loading...
A
A
A
Sementara di bidang ekonomi, UU Omnibus Law mesti mendatangkan banyak manfaat seperti yang dijanjikan Jokowi, yakni, investasi berlimpah serta membuka banyak lapangan kerja baru. Regulasi sapu jagat yang dikebut cepat itu harus mampu menjadi obat mujarab perbaikan ekonomi yang luluh lantak karena badai korona.
Begitupun di bidang politik. Jangan ada lagi kebijakan politik pemerintah yang justru melukai perasaan publik. Tak elok bagi demokrasi. Di saat semua orang dilanda ketakutan akibat pandemi virus korona, pemerintah dan DPR justru secara maraton membahas sejumlah regulasi yang selama ini disorot tajam. Terkesan mencari keuntungan dalam kesempitan hidup rakyat.
Oleh karena itu, masih banyak waktu tersisa bagi presiden untuk memperbaiki keadaan. Cukup sudah tahun pertama gagap menghadapi berbagai persoalan. Namun di tahun kedua dan seterusnya recovery di semua bidang mulai harus terlihat nyata. Tentu dengan segala prioritas yang ada.
Pemerintah punya segala instrumen melakukan banyak hal. Bermanuver membalikkan keadaan kembali baik dan normal. Dukungan partai politik dan parlemen yang berlimpah tentu saja menjadi bekal utama. Tidak ada lagi kerikil yang menghambat target bombastis pemerintah. Kini, oposisi di parlemen nyaris tak lagi ada. Kalaupun ada, suaranya nyaris tak terdengar. Karenanya, secara politik Jokowi cukup kuat dan bisa malakukan apa saja demi perbaikan bangsa ke depan.
Memaksimalkan Wapres
Di antara sekian banyak catatan kritis di tahun pertama Jokowi, ada satu hal yang selalu luput dari perhatian publik, yakni, soal peran Wakil Presiden (Wapres) yang dinilai belum maksimal. Tak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di lingkaran Istana. Publik sekadar ingin melihat Wapres diberikan ruang penuh untuk terlibat dalam berbagai persoalan kebangsaan. Sekaligus menunjukkan kepada khalayak bahwa posisi Wapres bukan sekadar membendung populisme agama yang kian pesat.
Publik menduga ruang gerak Wapres dibatasi semata urusan agama. Sebab, sudah mulai banyak aktor kunci lain yang masuk jejaring kekuasaan yang dalam banyak hal “mengambil alih” peran Wapres. Padahal, portofolio Ma’ruf Amin cukup meyakinkan untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Termasuk ekonomi, politik, dan hukum.
Sampai saat ini belum terlihat jelas pembagian peran Presiden dan Wapres. Bahkan yang terlihat lebih dominan peran “menteri andalan” yang dinilai mampu menyelesaikan berbagai urusan. Wapres mestinya diposisikan sebagian instrumen penting dalam mengambil kebijakan politik strategis pemerintah. Sebab, Wapres bukan ban serep yang hanya digunakan saat kondisi sedang darurat.
Wapres adalah jabatan politik konstitusional yang mendapatkan mandat penuh rakyat bersama presiden memperbaiki urusan bangsa. Wapres bukan pemanis wajah pluralisme politik. Atau semata tameng di tengah wabah kebangkitan puritanisme agama. Wapres, seperti halnya presiden, posisinya cukup sentral untuk terlibat dalam berbagai problem negara.
Maka, sangat berdosa jika ada pihak tertentu yang mencoba membatasi peran Wapres. Esensi Wapres sebagai penyambung lidah kepentingan rakyat yang dipilih langsung. Mandat rakyat bukan hanya ke presiden tapi juga ke Wapres. Itu artinya, keterlibatan Wapres dalam berbagai persoalan perkara wajib sesuai prosedur konstitusional.
Setidaknya itulah yang terekam dalam benak publik soal peran Wapres. Mungkin saja kesimpulan ini terlalu simplistis, namun yang tampak di permukaan demikian adanya. Wapres sangat jarang muncul ke permukaan merespons isu krusial seperti revisi UU KPK, polemik penundaan pilkada, maupun soal regulasi cipta kerja yang hingga saat ini masih riuh. Publik sangat merindukan peran Wapres yang lebih maksimal untuk urusan bangsa yang besar ini.
Begitupun di bidang politik. Jangan ada lagi kebijakan politik pemerintah yang justru melukai perasaan publik. Tak elok bagi demokrasi. Di saat semua orang dilanda ketakutan akibat pandemi virus korona, pemerintah dan DPR justru secara maraton membahas sejumlah regulasi yang selama ini disorot tajam. Terkesan mencari keuntungan dalam kesempitan hidup rakyat.
Oleh karena itu, masih banyak waktu tersisa bagi presiden untuk memperbaiki keadaan. Cukup sudah tahun pertama gagap menghadapi berbagai persoalan. Namun di tahun kedua dan seterusnya recovery di semua bidang mulai harus terlihat nyata. Tentu dengan segala prioritas yang ada.
Pemerintah punya segala instrumen melakukan banyak hal. Bermanuver membalikkan keadaan kembali baik dan normal. Dukungan partai politik dan parlemen yang berlimpah tentu saja menjadi bekal utama. Tidak ada lagi kerikil yang menghambat target bombastis pemerintah. Kini, oposisi di parlemen nyaris tak lagi ada. Kalaupun ada, suaranya nyaris tak terdengar. Karenanya, secara politik Jokowi cukup kuat dan bisa malakukan apa saja demi perbaikan bangsa ke depan.
Memaksimalkan Wapres
Di antara sekian banyak catatan kritis di tahun pertama Jokowi, ada satu hal yang selalu luput dari perhatian publik, yakni, soal peran Wakil Presiden (Wapres) yang dinilai belum maksimal. Tak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di lingkaran Istana. Publik sekadar ingin melihat Wapres diberikan ruang penuh untuk terlibat dalam berbagai persoalan kebangsaan. Sekaligus menunjukkan kepada khalayak bahwa posisi Wapres bukan sekadar membendung populisme agama yang kian pesat.
Publik menduga ruang gerak Wapres dibatasi semata urusan agama. Sebab, sudah mulai banyak aktor kunci lain yang masuk jejaring kekuasaan yang dalam banyak hal “mengambil alih” peran Wapres. Padahal, portofolio Ma’ruf Amin cukup meyakinkan untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Termasuk ekonomi, politik, dan hukum.
Sampai saat ini belum terlihat jelas pembagian peran Presiden dan Wapres. Bahkan yang terlihat lebih dominan peran “menteri andalan” yang dinilai mampu menyelesaikan berbagai urusan. Wapres mestinya diposisikan sebagian instrumen penting dalam mengambil kebijakan politik strategis pemerintah. Sebab, Wapres bukan ban serep yang hanya digunakan saat kondisi sedang darurat.
Wapres adalah jabatan politik konstitusional yang mendapatkan mandat penuh rakyat bersama presiden memperbaiki urusan bangsa. Wapres bukan pemanis wajah pluralisme politik. Atau semata tameng di tengah wabah kebangkitan puritanisme agama. Wapres, seperti halnya presiden, posisinya cukup sentral untuk terlibat dalam berbagai problem negara.
Maka, sangat berdosa jika ada pihak tertentu yang mencoba membatasi peran Wapres. Esensi Wapres sebagai penyambung lidah kepentingan rakyat yang dipilih langsung. Mandat rakyat bukan hanya ke presiden tapi juga ke Wapres. Itu artinya, keterlibatan Wapres dalam berbagai persoalan perkara wajib sesuai prosedur konstitusional.
Setidaknya itulah yang terekam dalam benak publik soal peran Wapres. Mungkin saja kesimpulan ini terlalu simplistis, namun yang tampak di permukaan demikian adanya. Wapres sangat jarang muncul ke permukaan merespons isu krusial seperti revisi UU KPK, polemik penundaan pilkada, maupun soal regulasi cipta kerja yang hingga saat ini masih riuh. Publik sangat merindukan peran Wapres yang lebih maksimal untuk urusan bangsa yang besar ini.