Setahun Pertama Jokowi Melawan Arus

Selasa, 20 Oktober 2020 - 06:06 WIB
loading...
Setahun Pertama Jokowi...
Adi Prayitno
A A A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik


TAHUN pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin banyak disorot. Bukan hanya kinerja dalam penanganan Covid-19 yang terlihat kelimpungan, melainkan juga menyangkut sejumlah kebijakan yang kerap berlawanan dengan arus besar tuntutan publik. Jokowi tak seperti biasanya yang selalu menjadikan suara arus bawah sebagai referensi utama dalam mengambil kebijakan politik strategis.

Secara politik, setidaknya ada empat isu krusial yang layak dicermati tentang Jokowi yang terkesan melawan arus pada tahun pertama periode keduanya sebagai presiden. Pertama, isu penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimulai dari revisi Undang-Undang KPK yang penuh kontroversi. Publik berharap Jokowi menolak revisi regulasi yang dalam banyak hal ditengarai melemahkan komisi antirasuah. Protes, demonstrasi, dan petisi kelompok civil society tak bertuah. Pemerintah dan politisi Senayan tetap mengesahkan revisi peraturan yang penuh kontroversi tersebut.

Termasuk gelombang besar penolakan terhadap figur Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK karena rekam jejaknya yang dinilai sangat tidak ideal. Efeknya, marwah KPK sebagai lembaga superbody yang paling ditakuti koruptor ambyar total. Bahkan, KPK saat ini dinilai kurang bertaji jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang cukup powerfull.

Kedua, terkait penundaan Pilkada Serentak 2020. Gelombang permintaan penundaan pilkada masih berlanjut sampai saat ini. Sejumlah kalangan berharap Presiden Jokowi bisa mengeluarkan kebijakan extraordinary yang dapat menunda pilkada di tengah Pandemi. Namun, Jokowi bergeming. KPU tetap melanjutkan tahapan di tengah kekhawatiran akan muncul kluster baru Covid-19 dari proses pilkada.

Tak ayal, pilkada serentak kali ini terkesan sebatas menggugurkan kewajiban regulatif. Pemaparan visi misi pasangan calon tidak maksimal, ancaman golput yang tinggi, hingga momok politik uang sebagai alat mobilisasi dukungan. Pemerintah jalan terus menerabas rimbun belukar yang penuh dengan suara nyaring.

Ketiga, tentang politik dinasti. Publik berharap banyak Jokowi bisa menjadi presiden panutan. Memberi contoh dan teladan yang baik dengan tidak tergiur memajukan anak menantu di pilkada. Stigma publik soal dinasti politik masih negatif. Jokowi bakal menjadi presiden pertama yang merestui anak mantu maju di pilkada. Sesuatu yang tak pernah dilakukan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Jokowi makin menambah rekor elite yang memajukan keluarga intinya dalam pusaran politik elektoral.

Keempat, perihal UU Omnibus Law. UU sapu jagat yang dikebut cepat ini masih terus menuai polemik. Demo dan protes terus datang silih berganti dari berbagai penjuru mata angin. Namun, suara lantang publik tidak lagi didengar. Protes warga seolah hanya teriakan di pasang pasir, seperti buih di lautan lepas, laksana butiran debu yang tak berarti. Wajar jika regulasi bertajuk UU Cipta Kerja ini dinilai “rasa presiden” karena pernah disampaikan dalam janji politik 2019 silam.

Tahun Pembuktian
Secara umum, sepertinya publik tak terlampau puas dengan kinerja Jokowi di tahun pertama periode kedua pemerintahannya. Tiap hari bermunculan opini tidak berkesudahan, menilai kinerja pemerintah yang masih jauh dari ekspektasi. Ke depan, tak ada pilihan lain bagi Jokowi selain pembuktian di tahun berikutnya, terutama melakukan pembenahan di bidang kesehatan, ekonomi, dan politik.

Tahun pertama cukup menjadi cambuk yang bisa melecut kinerja lanjutan Jokowi. Dalam hal penanganan Covid-19 misalnya, pilihan menyelaraskan ekonomi dan kesehatan nyatanya tak efektif. Jumlah warga yang terpapar virus korona terus melonjak. Ekonomi juga dalam bayang-bayang resesi. Pemerintah mesti tegas memilih salah satu opsinya. Priotitas ekonomi atau kesehatan. Pilihannya terbatas. Hitam atau putih. Tak bisa memilih abu-abu.

Sementara di bidang ekonomi, UU Omnibus Law mesti mendatangkan banyak manfaat seperti yang dijanjikan Jokowi, yakni, investasi berlimpah serta membuka banyak lapangan kerja baru. Regulasi sapu jagat yang dikebut cepat itu harus mampu menjadi obat mujarab perbaikan ekonomi yang luluh lantak karena badai korona.

Begitupun di bidang politik. Jangan ada lagi kebijakan politik pemerintah yang justru melukai perasaan publik. Tak elok bagi demokrasi. Di saat semua orang dilanda ketakutan akibat pandemi virus korona, pemerintah dan DPR justru secara maraton membahas sejumlah regulasi yang selama ini disorot tajam. Terkesan mencari keuntungan dalam kesempitan hidup rakyat.

Oleh karena itu, masih banyak waktu tersisa bagi presiden untuk memperbaiki keadaan. Cukup sudah tahun pertama gagap menghadapi berbagai persoalan. Namun di tahun kedua dan seterusnya recovery di semua bidang mulai harus terlihat nyata. Tentu dengan segala prioritas yang ada.

Pemerintah punya segala instrumen melakukan banyak hal. Bermanuver membalikkan keadaan kembali baik dan normal. Dukungan partai politik dan parlemen yang berlimpah tentu saja menjadi bekal utama. Tidak ada lagi kerikil yang menghambat target bombastis pemerintah. Kini, oposisi di parlemen nyaris tak lagi ada. Kalaupun ada, suaranya nyaris tak terdengar. Karenanya, secara politik Jokowi cukup kuat dan bisa malakukan apa saja demi perbaikan bangsa ke depan.

Memaksimalkan Wapres
Di antara sekian banyak catatan kritis di tahun pertama Jokowi, ada satu hal yang selalu luput dari perhatian publik, yakni, soal peran Wakil Presiden (Wapres) yang dinilai belum maksimal. Tak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di lingkaran Istana. Publik sekadar ingin melihat Wapres diberikan ruang penuh untuk terlibat dalam berbagai persoalan kebangsaan. Sekaligus menunjukkan kepada khalayak bahwa posisi Wapres bukan sekadar membendung populisme agama yang kian pesat.

Publik menduga ruang gerak Wapres dibatasi semata urusan agama. Sebab, sudah mulai banyak aktor kunci lain yang masuk jejaring kekuasaan yang dalam banyak hal “mengambil alih” peran Wapres. Padahal, portofolio Ma’ruf Amin cukup meyakinkan untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Termasuk ekonomi, politik, dan hukum.

Sampai saat ini belum terlihat jelas pembagian peran Presiden dan Wapres. Bahkan yang terlihat lebih dominan peran “menteri andalan” yang dinilai mampu menyelesaikan berbagai urusan. Wapres mestinya diposisikan sebagian instrumen penting dalam mengambil kebijakan politik strategis pemerintah. Sebab, Wapres bukan ban serep yang hanya digunakan saat kondisi sedang darurat.

Wapres adalah jabatan politik konstitusional yang mendapatkan mandat penuh rakyat bersama presiden memperbaiki urusan bangsa. Wapres bukan pemanis wajah pluralisme politik. Atau semata tameng di tengah wabah kebangkitan puritanisme agama. Wapres, seperti halnya presiden, posisinya cukup sentral untuk terlibat dalam berbagai problem negara.

Maka, sangat berdosa jika ada pihak tertentu yang mencoba membatasi peran Wapres. Esensi Wapres sebagai penyambung lidah kepentingan rakyat yang dipilih langsung. Mandat rakyat bukan hanya ke presiden tapi juga ke Wapres. Itu artinya, keterlibatan Wapres dalam berbagai persoalan perkara wajib sesuai prosedur konstitusional.

Setidaknya itulah yang terekam dalam benak publik soal peran Wapres. Mungkin saja kesimpulan ini terlalu simplistis, namun yang tampak di permukaan demikian adanya. Wapres sangat jarang muncul ke permukaan merespons isu krusial seperti revisi UU KPK, polemik penundaan pilkada, maupun soal regulasi cipta kerja yang hingga saat ini masih riuh. Publik sangat merindukan peran Wapres yang lebih maksimal untuk urusan bangsa yang besar ini.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1672 seconds (0.1#10.140)