Setahun Pertama Jokowi Melawan Arus
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
TAHUN pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin banyak disorot. Bukan hanya kinerja dalam penanganan Covid-19 yang terlihat kelimpungan, melainkan juga menyangkut sejumlah kebijakan yang kerap berlawanan dengan arus besar tuntutan publik. Jokowi tak seperti biasanya yang selalu menjadikan suara arus bawah sebagai referensi utama dalam mengambil kebijakan politik strategis.
Secara politik, setidaknya ada empat isu krusial yang layak dicermati tentang Jokowi yang terkesan melawan arus pada tahun pertama periode keduanya sebagai presiden. Pertama, isu penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimulai dari revisi Undang-Undang KPK yang penuh kontroversi. Publik berharap Jokowi menolak revisi regulasi yang dalam banyak hal ditengarai melemahkan komisi antirasuah. Protes, demonstrasi, dan petisi kelompok civil society tak bertuah. Pemerintah dan politisi Senayan tetap mengesahkan revisi peraturan yang penuh kontroversi tersebut.
Termasuk gelombang besar penolakan terhadap figur Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK karena rekam jejaknya yang dinilai sangat tidak ideal. Efeknya, marwah KPK sebagai lembaga superbody yang paling ditakuti koruptor ambyar total. Bahkan, KPK saat ini dinilai kurang bertaji jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang cukup powerfull.
Kedua, terkait penundaan Pilkada Serentak 2020. Gelombang permintaan penundaan pilkada masih berlanjut sampai saat ini. Sejumlah kalangan berharap Presiden Jokowi bisa mengeluarkan kebijakan extraordinary yang dapat menunda pilkada di tengah Pandemi. Namun, Jokowi bergeming. KPU tetap melanjutkan tahapan di tengah kekhawatiran akan muncul kluster baru Covid-19 dari proses pilkada.
Tak ayal, pilkada serentak kali ini terkesan sebatas menggugurkan kewajiban regulatif. Pemaparan visi misi pasangan calon tidak maksimal, ancaman golput yang tinggi, hingga momok politik uang sebagai alat mobilisasi dukungan. Pemerintah jalan terus menerabas rimbun belukar yang penuh dengan suara nyaring.
Ketiga, tentang politik dinasti. Publik berharap banyak Jokowi bisa menjadi presiden panutan. Memberi contoh dan teladan yang baik dengan tidak tergiur memajukan anak menantu di pilkada. Stigma publik soal dinasti politik masih negatif. Jokowi bakal menjadi presiden pertama yang merestui anak mantu maju di pilkada. Sesuatu yang tak pernah dilakukan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Jokowi makin menambah rekor elite yang memajukan keluarga intinya dalam pusaran politik elektoral.
Keempat, perihal UU Omnibus Law. UU sapu jagat yang dikebut cepat ini masih terus menuai polemik. Demo dan protes terus datang silih berganti dari berbagai penjuru mata angin. Namun, suara lantang publik tidak lagi didengar. Protes warga seolah hanya teriakan di pasang pasir, seperti buih di lautan lepas, laksana butiran debu yang tak berarti. Wajar jika regulasi bertajuk UU Cipta Kerja ini dinilai “rasa presiden” karena pernah disampaikan dalam janji politik 2019 silam.
Tahun Pembuktian
Secara umum, sepertinya publik tak terlampau puas dengan kinerja Jokowi di tahun pertama periode kedua pemerintahannya. Tiap hari bermunculan opini tidak berkesudahan, menilai kinerja pemerintah yang masih jauh dari ekspektasi. Ke depan, tak ada pilihan lain bagi Jokowi selain pembuktian di tahun berikutnya, terutama melakukan pembenahan di bidang kesehatan, ekonomi, dan politik.
Tahun pertama cukup menjadi cambuk yang bisa melecut kinerja lanjutan Jokowi. Dalam hal penanganan Covid-19 misalnya, pilihan menyelaraskan ekonomi dan kesehatan nyatanya tak efektif. Jumlah warga yang terpapar virus korona terus melonjak. Ekonomi juga dalam bayang-bayang resesi. Pemerintah mesti tegas memilih salah satu opsinya. Priotitas ekonomi atau kesehatan. Pilihannya terbatas. Hitam atau putih. Tak bisa memilih abu-abu.
Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
TAHUN pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin banyak disorot. Bukan hanya kinerja dalam penanganan Covid-19 yang terlihat kelimpungan, melainkan juga menyangkut sejumlah kebijakan yang kerap berlawanan dengan arus besar tuntutan publik. Jokowi tak seperti biasanya yang selalu menjadikan suara arus bawah sebagai referensi utama dalam mengambil kebijakan politik strategis.
Secara politik, setidaknya ada empat isu krusial yang layak dicermati tentang Jokowi yang terkesan melawan arus pada tahun pertama periode keduanya sebagai presiden. Pertama, isu penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimulai dari revisi Undang-Undang KPK yang penuh kontroversi. Publik berharap Jokowi menolak revisi regulasi yang dalam banyak hal ditengarai melemahkan komisi antirasuah. Protes, demonstrasi, dan petisi kelompok civil society tak bertuah. Pemerintah dan politisi Senayan tetap mengesahkan revisi peraturan yang penuh kontroversi tersebut.
Termasuk gelombang besar penolakan terhadap figur Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK karena rekam jejaknya yang dinilai sangat tidak ideal. Efeknya, marwah KPK sebagai lembaga superbody yang paling ditakuti koruptor ambyar total. Bahkan, KPK saat ini dinilai kurang bertaji jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang cukup powerfull.
Kedua, terkait penundaan Pilkada Serentak 2020. Gelombang permintaan penundaan pilkada masih berlanjut sampai saat ini. Sejumlah kalangan berharap Presiden Jokowi bisa mengeluarkan kebijakan extraordinary yang dapat menunda pilkada di tengah Pandemi. Namun, Jokowi bergeming. KPU tetap melanjutkan tahapan di tengah kekhawatiran akan muncul kluster baru Covid-19 dari proses pilkada.
Tak ayal, pilkada serentak kali ini terkesan sebatas menggugurkan kewajiban regulatif. Pemaparan visi misi pasangan calon tidak maksimal, ancaman golput yang tinggi, hingga momok politik uang sebagai alat mobilisasi dukungan. Pemerintah jalan terus menerabas rimbun belukar yang penuh dengan suara nyaring.
Ketiga, tentang politik dinasti. Publik berharap banyak Jokowi bisa menjadi presiden panutan. Memberi contoh dan teladan yang baik dengan tidak tergiur memajukan anak menantu di pilkada. Stigma publik soal dinasti politik masih negatif. Jokowi bakal menjadi presiden pertama yang merestui anak mantu maju di pilkada. Sesuatu yang tak pernah dilakukan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Jokowi makin menambah rekor elite yang memajukan keluarga intinya dalam pusaran politik elektoral.
Keempat, perihal UU Omnibus Law. UU sapu jagat yang dikebut cepat ini masih terus menuai polemik. Demo dan protes terus datang silih berganti dari berbagai penjuru mata angin. Namun, suara lantang publik tidak lagi didengar. Protes warga seolah hanya teriakan di pasang pasir, seperti buih di lautan lepas, laksana butiran debu yang tak berarti. Wajar jika regulasi bertajuk UU Cipta Kerja ini dinilai “rasa presiden” karena pernah disampaikan dalam janji politik 2019 silam.
Tahun Pembuktian
Secara umum, sepertinya publik tak terlampau puas dengan kinerja Jokowi di tahun pertama periode kedua pemerintahannya. Tiap hari bermunculan opini tidak berkesudahan, menilai kinerja pemerintah yang masih jauh dari ekspektasi. Ke depan, tak ada pilihan lain bagi Jokowi selain pembuktian di tahun berikutnya, terutama melakukan pembenahan di bidang kesehatan, ekonomi, dan politik.
Tahun pertama cukup menjadi cambuk yang bisa melecut kinerja lanjutan Jokowi. Dalam hal penanganan Covid-19 misalnya, pilihan menyelaraskan ekonomi dan kesehatan nyatanya tak efektif. Jumlah warga yang terpapar virus korona terus melonjak. Ekonomi juga dalam bayang-bayang resesi. Pemerintah mesti tegas memilih salah satu opsinya. Priotitas ekonomi atau kesehatan. Pilihannya terbatas. Hitam atau putih. Tak bisa memilih abu-abu.